- MIND ID Perkuat Komitmen Transisi Energi Lewat Hilirisasi Bauksit
- Aktivis Ragu Soal Komitmen Pengakuan Hutan Adat 1,4 Juta Ha
- IDXCarbon Jajakan Unit Karbon 90 Juta Ton Co2e Hingga Ke Brazil
- OJK Dinilai Memble, Kini Hasil Penyelidikan Investasi Telkom Pada GOTO Ditunggu
- Suara yang Dikenal dan yang Tidak Dikenal
- Sampah Akan Jadi Rebutan Sebagai Sumber Bahan Bakar
- Tenun Persahabatan: Merajut Warisan India dan Indonesia dalam Heritage Threads
- Manfaat Membaca yang Penting Kamu Ketahui
- Kisah Hanako, Koi di Jepang yang Berumur Lebih dari 2 Abad
- Hadiri Pesta Rakyat 2 di Manado, AHY Tegaskan Pentingnya Pemerataan Pembangunan Kewilayahan
Peneliti BRIN Identifikasi Hama dan Penyakit Tanaman Hias Krisan, Begini Cara Mengatasinya!
.jpg)
CIBINONG – Krisan merupakan salah
satu bunga hias favorit di pasar domestik maupun ekspor, menghadapi tantangan
serius dari serangan hama dan penyakit tanaman. Temuan riset dari Peneliti
Pusat Riset Hortikultura, Organisasi Riset Pertanian dan Pangan (ORPP) Badan Riset
dan Inovasi Nasional (BRIN) di Kampung Bengkok, Cipanas, Cianjur,
mengidentifikasi sejumlah organisme pengganggu tanaman (OPT) yang dominan
menyerang krisan dan berpotensi menurunkan produktivitas serta kualitas bunga.
Peneliti Ahli Utama BRIN, Tonny Koestoni Mukasan menyebutkan
bahwa jenis hama yang banyak menyerang krisan meliputi trips, ulat grayak
(Spodoptera litura), kutu daun (Myzus persicae), dan kutu putih (Bemisia
tabaci). Dari pengamatan lapangan, hama trips dan pengorok daun (Liriomyza sp.)
ditemukan sebagai serangan dominan yang berpengaruh terhadap pertumbuhan
tanaman. Trips menyebabkan daun mengerut dan bunga tidak berkembang optimal,
sementara pengorok daun merusak jaringan daun hingga menimbulkan korokan.
Selain itu, kutu putih diketahui mengisap cairan tanaman
sekaligus berperan sebagai vektor penyakit virus. Kondisi ini menjadikan
pengendalian hama secara terpadu menjadi kebutuhan penting bagi petani krisan.
Tonny menegaskan bahwa upaya pengendalian tidak dapat dilakukan secara parsial,
melainkan harus dilakukan dengan pendekatan menyeluruh, mulai dari praktik
budidaya, pemeliharaan kebersihan lahan, hingga pemasangan perangkap hama.
Baca Lainnya :
- Panitia Pengarah Tetapkan Calon Direktur Eksekutif Nasional dan Calon Dewan Nasional 2025–20290
- Menko AHY Tegaskan Pembangunan Infrastruktur Dasar untuk Sinergi Industri dan Transmigrasi0
- Spirit Kebersamaan dan Kesederhanaan di HUT ke-17 Pandutani Indonesia (Patani)0
- Ribuan Masyarakat di Kecamatan Ini Hidup Dalam Wajan Raksasa0
- Relawan Tangguh Kampung Bungin Garda Terdepan Menghadapi Situasi Krisis dan Bencana Alam0
Dalam praktiknya, Tonny merekomendasikan penggunaan
perangkap warna biru untuk menekan populasi trips. Perangkap ini dipasang pada
kanopi tanaman dengan media plastik berlapis lem, yang perlu diganti setiap
minggu. Jika langkah mekanis belum cukup efektif, penggunaan pestisida
disarankan dengan memperhatikan dosis serta standar penggunaannya.
Riset juga menemukan bahwa efektivitas pestisida sangat
dipengaruhi oleh pH air pelarut. Pestisida bekerja optimal pada pH 4,5–5.
Apabila pH air melebihi batas tersebut, akan terjadi reaksi hidrolisa basa yang
menurunkan efikasi pestisida. Sayangnya, sebagian besar petani masih belum
mengukur pH air pelarut dan menggunakan alat takar sederhana seperti sendok
atau tutup botol, sehingga akurasi dosis tidak terjamin.
Faktor lain yang diperhatikan adalah waktu penyemprotan.
Tonny menjelaskan, pestisida memerlukan waktu sekitar dua jam untuk masuk ke
jaringan tanaman. Proses ini hanya maksimal jika suhu dan kelembaban stabil
atau menurun. Karena itu, penyemprotan di daerah tropis disarankan dilakukan
setelah pukul 15.00 agar efektivitasnya tetap terjaga.
Selain memberikan penjelasan teknis, Tonny juga melakukan
demonstrasi kepada petani terkait cara pencampuran dan pengadukan pestisida
yang benar. Proses ini bertujuan agar tidak terjadi endapan pada larutan dan
pestisida dapat bekerja dengan lebih baik di lapangan.
Dari sisi penyakit tanaman, Eli Korlina Edisaputra, Peneliti
Ahli Madya Pusat Riset Hortikultura BRIN, menemukan bahwa penyakit dominan pada
krisan di Cipanas adalah karat putih (Puccinia horiana), hawar daun, serta
infeksi virus. Menurut Eli, selama ini petani masih banyak mengandalkan
pestisida kimia. Ia merekomendasikan penggunaan agens hayati sejak tahap
persemaian, seperti Trichoderma dan Gliocladium, untuk memperkaya tanah dengan
mikroorganisme antagonis. Selain itu, biopestisida Beauveria bassiana dan
Metarhizium juga dapat dimanfaatkan untuk mengendalikan ulat, kutu putih, kutu
daun, dan trips dengan dampak lebih aman bagi lingkungan.
Sementara itu, Neni Gunaeni, Peneliti Ahli Madya Pusat Riset
Hortikultura ORPP BRIN, menyoroti temuan viroid pada tanaman krisan di Cipanas.
Viroid adalah partikel RNA sirkular yang sangat kecil, tidak memiliki kapsid
protein, dan hanya menyerang tanaman. Infeksi viroid pada krisan menyebabkan
tanaman menjadi kerdil dan menghasilkan bunga berukuran kecil. Viroid dapat
menular melalui benih maupun vektor tanaman.
Penyakit mosaik akibat infeksi virus juga ditemukan pada
krisan, ditandai dengan bercak kuning pada daun, daun menggulung, serta
pertumbuhan tanaman yang terhambat. Menurut Neni, penyakit ini bersifat
sistemik sehingga hingga kini belum tersedia obat maupun vaksin yang dapat
menyembuhkannya. Upaya yang dapat dilakukan adalah mencabut tanaman terinfeksi,
khususnya jika persentase serangan masih di bawah 10 persen, untuk mencegah
penyebaran lebih luas.
Rangkaian identifikasi hama dan penyakit pada krisan di
Cipanas ini menjadi bagian penting dari riset hortikultura BRIN untuk mendukung
upaya pengendalian hama terpadu, meningkatkan kapasitas petani dalam
pengelolaan OPT, dan menjaga keberlanjutan produksi krisan di Indonesia. (DNP/Ed:ade,jml)
.jpg)

.jpg)

.jpg)
.jpg)
.jpg)
.jpg)
.jpg)

.jpg)

