- Satu Langkah, Satu Kayuhan: Hentikan Polusi Plastik, Kembalikan Langit Biru
- 5 Tempat Wisata Augmented Reality di Indonesia
- Desakan Agenda Reforma Agraria Kepada Para Pemimpin Dunia dari Bogota
- Birding Bersama Ellena, Penulis Buku GET TO KNOW THEM: Introduction to Singapore Common Birds Folk
- Tahlil & Doa 7 Hari Wafatnya Hj Euis Nurlaila Binti KH Idam Damiri
- Atmosfer (Suasana) Belajar (Kok) Dicipta?
- Tim PkM Universitas Negeri Yogyakarta Sosialisasi Komunikasi Pendidikan di Era Digital
- Geber Bangku, Program Andalan Herawati Tanamkan Budaya Antikorupsi
- Pak Kambali: Sosok Inspiratif Penggerak Kemandirian Disabilitas Netra di Kabupaten Karanganyar
- Pertamina dan Seruni Buka Akses Air Bersih, Targetkan 1.280 Kepala Keluarga di Sragen
Perpustakaan: Biografi dan Birokrasi

Bandung Mawardi
Tukang kliping, bapak rumah tangga
MASA lalu berlakon kolonial. Kaum elite kolonial mengenalkan perubahan-perubahan di tanah dipaksa menuruti seribu perintah. Mereka mendatangkan beragam gagasan dan benda-benda. Konon, kolonialisme khas Barat terlihat melalui buku-buku sebagai benda dari pesona mesin cetak. Di tempat mereka berkuasa, sekolah-sekolah diadakan berpamrih kemajuan. Buku-buku (pelajaran) menentukan nasib kaum terjajah.
Tempat buku-buku tak cuma kelas-kelas di sekolah. Buku-buku memiliki tempat terhormat biasa mendapat sebutan perpustakaan. Orang-orang melihat itu bangunan atau gedung dihuni ribuan buku. Perpustakaan menjadi firdaus bagi kaum buku. Di tempat “keramat”, mereka menikmati pelbagai bacaan dan membentuk biografi.
Di buku kecil berjudul A Small Place (2006), Jamaica Kincaid berbagi cerita mengenai diri, perpustakaan, dan kolonialisme. Ia hidup di tempat memiliki jejak-jejak busuk kolonialisme dan nasib negara amburadul. Kolonialisme terkenang melalui warisan bangunan (perpustakaan) dan ketakjuban bacaan.
Pada masa berbeda, negara menjatuhkah derajat buku dengan penelantaran (gedung) perpustakaan. Masa depan negara sengaja terpuruk meski bermasa lalu penuh kemurungan dan kemarahan akibat kolonialisme. Perpustakaan itu warisan kolonial tapi kebodohan dan kesombongan justru mengakibatkan “neraka” bagi kaum buku.
Di Antigua, kita menikmati kemeranaan Jamaica Kincaid: “Bayangkan kegetiran dan rasa malu dalam diriku ketika menceritakan hal ini padamu. Aku sedang berdiri di Market Street di depan perpustakaan. Perpustakaan! Namun, mengapa perpustakaan berada di Market Street? Aku bertanya pada diriku sendiri. Mengapa gedung tua yang hancur akibat gempa bumi yang dahsyat beberapa tahun lalu dengan tulisan ‘gedung ini hancur dalam gempa bumi tahun 1974, perbaikan ditunda’ itu tidak pernah diperbaiki dan perpustakaan dikembalikan ke tempat semula?”
Ia marah tapi tak menemukan jawaban-jawaban. Perpustakaan itu “jantung” tapi remeh di mata pemerintah. Jamaica Kincaid tak kuasa membendung murka: “Mengapa bertahun-tahun setelah gempa bumi menghancurkan gedung perpustakaan tua, perpustakaan yang baru tidak dibangun? Mengapa perpustakaan berada di atas sebuah toko tekstil dalam gedung bertembok semen yang tak terawat?” Ia tak tega melihat nasib perpustakaan. Ia pun meratapi diri. Penghinaan atas nasib perpustakaan dianggap sebagai bukti korupsi dan kebebalan elite di Antigua.
Kita belum mendesak berimajinasi mengenai warisan kolonial dan nasib perpustakaan di Indonesia. Konon, perpustakaan bukan masalah terpenting di negara besar pernah “diperintah” Belanda dalam waktu lama. Negara mendapat pengaruh besar peradaban Barat belum memuliakan buku atau mengesahkan perpustakaan-perpustakaan di pelbagai kota sebagai firdaus. Kita sedang diajak mengenali nasib buruk Antigua, bukan Indonesia.
Jamaica Kincaid, sosok romantis merujuk perpustakaan. Ia berbagi cerita: “Tapi, jika kamu lihat perpustakaan tua itu, dalam kondisi seperti itu, dalam gedung besar, gedung tua yang terbuat dari kayu yang dicat warna kuning yang terlihat indah bagi orang sepertiku, dengan berandanya yang luas, jendela-jendelanya yang besar dan selalu terbuka, deretan-deretan dan barisan-barisan raknya yang penuh dengan buku, meja kayu dan kursinya yang nyaman untuk duduk dan membaca, jika kamu bisa mendengar suara kesunyiannya (keheningan di perpustakaan adalah suara tersendiri), aroma lautan (yang jaraknya hanya sepelemparan batu), panas matahari, keindahan kami duduk di sana seperti penerima komuni di altar…” Ia menginginkan kebahagiaan di perpustakaan. Di Antigua, perpustakaan justru sengaja dibiarkan hancur dan hina.
Pada abad XXI, kenangan atas perpustakaan-perpustakaan tua berkaitan warisan kolonial mungkin sekadar larik puisi menimbulkan kangen. Tempat itu nostalgia. Kita mengerti album nostalgia melampaui bacaan-bacaan. Perpustakaan itu martabat pengetahuan, kesusastraan, iman, dan kekuasaan. Kita mungkin menerima warisan kolonial dengan dilema-dilema meski tak pernah bersumpah merawat atau tanpa malu memilih penghancuran.
Kita mendingan bernostalgia jauh di negeri-negeri asing ketimbang kepikiran Indonesia. Nostalgia tetap perpustakaan. Kita menuju Yunani silam melalui pengisahan Ian FM dan Lisa Wolverton dalam buku berjudul Para Penjaga Ilmu: Dari Alexandria sampai Internet (2010). Pada masa para pemikir bermunculan dan bertarung, perpustakaan itu tempat terpenting. Kita mengenang: “Setiap perpustakaan memuat tulisan-tulisan dan secara berdampingan meletakkan ide-ide para pemikir yang malahan mungkin saja sangat bertentangan satu sama lain. Namun, ide-ide yang berderetan di rak-rak buku seolah-olah menanti para ilmuwan yang siap menghadapi pertentangan-pertentangan yang dikandungnya.” Peradaban ditentukan perpustakaan: konflik dan harmoni. Perpustakaan itu tempat menghidupkan beragam ide dengan segala bantahan, ralat, dan pembunuhan.
Di Indonesia, kita mengingat biografi kaum intelektual dan kaum pergerakan politik merujuk perpustakaan-perpustakaan. Mereka bercumbu dengan buku-buku. Raga dalam perpustakaan menikmati firdaus pengetahuan untuk terbawa dalam kecamuk modernitas dan kolonialisme. Mereka pun berlanjut menulis buku-buku mengisi rak-rak perpustakaan. Sejak awal abad XX, mereka sadar bakal terjadi keselarasan atau persengketaan ide melalui buku-buku bisa ditemukan dalam perpustakaan atau rumah-rumah memiliki lemari buku.
Masa lalu bukan lagi “milik” kita. Indonesia terlalu berubah. Tokoh dan perpustakaan tak lagi perkara menentukan nasib negara. Perpustakaan sekadar bangunan berisi buku-buku. Tempat biasa sepi. Tempat mudah ditelantarkan. Tempat bukan firdaus saat jumlah pembaca buku (cetak) cuma sedikit. Indonesia mungkin tak mau bernostalgia (indah) tentang perpustakaan dan belum ada gairah mencipta masa depan dengan perpustakaan.
Di pelbagai kota, kita justru menemukan “kebingungan” dan “keanehan” dalam mengurusi perpustakaan. Kita susah memberi pujian. Angan disampaikan para pejabat kadang diresmikan sebagai kebijakan (anggaran) meski mudah membikin tawa rasa sinis. Kita membaca berita di Solopos, 3 Mei 2025: “Dinas Perpustakaan dan Kearsipan Kota Solo berencana menambah layanan ruang perpustakaan sekitar Rp 4m5 miliar dan Rp 1 miliar untuk menambah sarana dan prasarana pada 2026 atau pembangunan tahap II. Sedangkan tahap berikutnya pembangunan kantor Dispersip Solo.” Kita keseringan mendapat berita “revitalisasi” gedung perpustakaan.
Berita menjemukan dan susah mendapat tepuk tangan. Berita jarang mengenai buku. Perpustakaan justru diberitakan selalu “lapar uang” berharap “membangun” dan “mengindahkan” tanpa perlu mementingkan pembaca dan buku. Berita agak menggelisahkan ketimbang kita membaca pengisahan biografis oleh Jamaica Kincaid. Konon, para pejabat perpustakaan di pelbagai kota dan kabupaten condong memikirkan laporan “keberhasilan-keberhasilan” program kepada atasan ketimbang memikirkan kebahagiaan kaum buku. Perpustakaan bernalar birokrasi.
Perpustakaan itu biografi. Keberakhiran kolonialisme meninggalkan warisan gedung dan bacaan membentuk pribadi-pribadi ketagihan buku. Mereka pun mengenang suasana dan jiwa perpustakaan, dari masa ke masa. Perpustakaan tak boleh hancur, telantar, atau hilang. Acuan biografi di Antigua dan sejarah di Yunani bergelimang buku tampak “bersimpangan” dengan nalar pejabat dan nasib perpustakaan di seantero Indonesia. Begitu.
