- Satu Langkah, Satu Kayuhan: Hentikan Polusi Plastik, Kembalikan Langit Biru
- 5 Tempat Wisata Augmented Reality di Indonesia
- Desakan Agenda Reforma Agraria Kepada Para Pemimpin Dunia dari Bogota
- Birding Bersama Ellena, Penulis Buku GET TO KNOW THEM: Introduction to Singapore Common Birds Folk
- Tahlil & Doa 7 Hari Wafatnya Hj Euis Nurlaila Binti KH Idam Damiri
- Atmosfer (Suasana) Belajar (Kok) Dicipta?
- Tim PkM Universitas Negeri Yogyakarta Sosialisasi Komunikasi Pendidikan di Era Digital
- Geber Bangku, Program Andalan Herawati Tanamkan Budaya Antikorupsi
- Pak Kambali: Sosok Inspiratif Penggerak Kemandirian Disabilitas Netra di Kabupaten Karanganyar
- Pertamina dan Seruni Buka Akses Air Bersih, Targetkan 1.280 Kepala Keluarga di Sragen
Pesan dari Galaksi Sebelah

Sekar Mayang
Tukang donat dan tukang gambar, hidup di Bali
AWAL perjalanan menjadi editor, saya begitu saklek dengan perkara teknis. Begitu gatal jika melihat sebiji saltik, atau saat menemukan penulis tidak bisa membedakan kata depan dan awalan, atau ketika mendapati detail ngawur pada naskah.
Saya sanggup mendebat penulis, mempermasalahkan mengapa banyak sekali kata sekedar alih-alih sekadar, atau mengapa ia tidak memakai huruf kapital untuk kata sapaan. Saya juga sanggup menerangkan sejelas-jelasnya mengapa penulis harus tahu bahwa bulan Desember di Australia tidak ada salju, atau menyuruh penulis berulang kali mengecek jadwal penerbangan agar fiksi realisnya lebih realis lagi.
Riset memang penting, paham pakem menulis juga sama pentingnya. Akan tetapi, semua perkara teknis itu membuat saya melewatkan satu hal yang tidak kalah pentingnya, yaitu pesan. Pembaca lain mungkin menyebutnya moral of story―moral dari cerita. Memang tidak jauh dari itu, tetapi pesan yang saya maksud jauh melampaui sekadar moral cerita.
Dalam kamus, pesan berarti perintah, nasihat, permintaan, amanat yang disampaikan lewat orang lain. (KBBI Daring, diakses 13 Mei 2024) Namun, di sini saya memaknai pesan sebagai pertanda atau simbol yang perlu disimak lebih intens, yang mengarahkan kita kepada hal lain yang jauh lebih penting untuk diperhatikan atau ditindaklanjuti, atau setidaknya sesuatu itu nanti akan berguna untuk diri kita.
Seorang sahabat pernah berkata bahwa segala hal di jagat ini memiliki kedalamannya sendiri. Ada yang memang dangkal dengan satu lapis tafsir, ada yang amat dalam dengan berlapis-lapis makna. Tafsir akan hadir sesuai porsi pemahaman si individu saat ia mengalami sebuah momen.
Arahnya tentu saja diversitas alias keberagaman. Bahwa benar hanya tergantikan oleh benar yang lain. Begitu pula ketika membaca sebuah karya tulis, khususnya fiksi, entah itu cerpen, novel, atau puisi. Antara pembaca satu dengan lainnya pastilah timbul perbedaan hasil pembacaan.
Saya senang menandai kalimat atau paragraf yang menarik dan kebetulan relate dengan kehidupan saya saat itu. Atau sekadar suka dengan makna yang terkandung di dalamnya. Atau, ya, kebetulan cocok untuk flexing di media sosial.
Namun, belakangan, terutama ketika membaca Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari, yang saya tandai tidak hanya kalimat-kalimat quote-able, tetapi juga hal-hal yang kala itu cukup menggelitik sesuatu di dalam sini. Contohnya ketika saya membaca pemangku naluri kelelakian. Saya membayangkan Srintil, sang ronggeng, memiliki kunci kotak Pandora seluruh laki-laki di jagat ini. Dan, sebagai pemegang kunci, Srintil mampu melakukan apa pun yang ia kehendaki. Ya, semacam representasi Sang Sumber sendiri.
Lainnya, ketika saya berjumpa kembali larut dalam keberadaan universal, rasanya seperti mampu melihat langsung proses terurainya unsur hara dari tubuh manusia. Bercampur dengan tanah, lalu terserap flora, masuk ke fauna, dan akhirnya, di ujung perjalanan panjang nan rumit, unsur-unsur itu menjelma ovum dan sperma. Bahwa ketika kita merawat wadah ini, tidak semata-mata memanjakan mata sendiri, atau bahkan menjadi people pleaser―memanjakan mata orang lain.
Tidak, tidak. Merawat wadah adalah bentuk penghargaan setinggi-tingginya kepada perjalanan sel yang panjang dan rumit tadi. Dan, keberadaan universal membuat kita tidak ada bedanya. We are one―kita adalah satu, dengan Sang Sumber sebagai rujukan. Lalu, ada mengolah emosi dan sarana batin. Oh, ini memiliki tingkat kepentingan lebih dari seribu persen. Menggelitik sampai ke palung terdalam, membangkitkan rasa lapar akan mi instan setengah matang yang sanggup menambah oksitosin dan menaikkan level kebahagiaan.
Betapa tidak? Sesiapa yang tidak sanggup mengolah emosi atau tidak memiliki sarana batin yang memadai, berpotensi menyenggol keberadaan individu lain. Sebagian besar kasus tentu saja mengacu kepada efek merusak yang cukup parah. Pembahasan bab ini mungkin akan menghasilkan satu atau lebih artikel lain.
Meriah, tetapi lain. Gempita, tetapi kering makna. Pada lapisan pertama mungkin pembaca mendapati perihal dualitas. Namun, di lapisan berikutnya, saya bertemu dengan keseimbangan. Konteksnya, kala itu Srintil dan kelompoknya sedang meronggeng di acara tujuh belasan. Penonton tentu saja membeludak.
Namun, karena tidak murni (alias ditunggangi kepentingan lain), sang dukun ronggeng menganggap aura pertunjukan itu kering dan kerontang. Keseimbangan yang saya maksudkan adalah perkara dinamika kehidupan. Bahwa bahagia tidak selamanya dan derita pun hanya sementara, begitu pula dengan jenis emosi lainnya, semua punya durasi terbatas. Sebab, sekali lagi, yang abadi adalah perubahan itu sendiri.
Terakhir, saya menjumpai peristiwa kecil namun baginya penuh makna. Ini cukup terang dan jelas tafsirnya. Pertanda-pertanda yang menyita perhatian belum tentu sesuatu yang besar atau jamak. Sama halnya dengan saya yang menemukan hal-hal random ketika membaca.
Acak, nyaris terlewat, tetapi berhasil membawa imajinasi saya melanglang buana ke mana-mana. Acak, nyaris tak quote-able, tetapi menghadirkan hal acak lainnya yang tak kalah menarik. Acak, nyaris tak terlihat, tetapi membawa pesan beyond dari galaksi sebelah. Sekian.
