- Pandutani Jajaki Kerja Sama dengan Perusahaan Eskavator Terbesar Asal China, PT Sany Perkasa
- JPO I Gusti Ngurah Rai Meningkatkan Kenyamanan Penumpang dan Aksesbilitas Bandara
- Menko AHY Dorong Digitalisasi dan Optimasi Bandara
- Menkop Resmikan Destinasi Wisata Bukit Manik Indonesia di Bogor
- Kemenkop Siap Fasilitasi Gakoptindo Jalin Kerja Sama dengan BGN Untuk Masuk Program MBG
- Mendes: Tidak Boleh Kurang, 20 Persen Dana Desa Digunakan Untuk Ketahanan Pangan
- Kejar Swasembada Pangan, Mentan dan Kapolri Tanam Jagung Serentak 1 Juta Hektare di 19 Provinsi
- Laporan Konflik Agraria Sepanjang 2024
- BRIN dan IRD Prancis Teliti Dampak Perikanan Rumpon Tuna Sirip Kuning
- Rekor Baru Bitcoin: Imbas dari Pelantikan Donald Trump?
Petani: Berita dan Puisi
Bandung Mawardi
Tukang Kliping dan Bapak Rumah Tangga
Baca Lainnya :
- Menko AHY Pastikan Semua Elemen Siap Layani Masyarakat Selama Libur Nataru0
- Dosen Ilkom UNY Beri Pelatihan Pelayanan Prima Bagi Pimpinan Cabang Muhammadiyah Depok0
- Kota dan Perkara Makan0
- Perpustakaan: Berita dan Nostalgia0
- Resmi Dilantik, DPC HIPPI Jakarta Timur Siap Berkolaborasi dengan Berbagai Pihak0
PEMANDANGAN sawah menghijau memberi
kesan-kesan kehidupan. Hijau itu tanaman padi bertumbuh dengan kerja petani dan
doa-doa. Hijau mengisahkan segar, subur, dan elok. Warna itu perlahan berubah.
Pada suatu hari, sawah itu kuning dan coklat. Orang-orang mengartikan panen.
Warna memberi kabar gembira tentang balasan kerja keras, ketabahan, dan
pengharapan. Sawah tentu tak sekadar hijau, kuning, dan coklat. Sawah memiliki
beragam warna.
Pameran warna itu makin berarti dengan petani menunaikan
peristiwa-peristiwa mengandung impian pangan dan kemakmuran. Mereka rela kulit
raga berubah warna akibat pancaran sinar matahari. “Warna” nasib pun turut
berubah akibat kebijakan-kebijakan pemerintah, pasar, bencana, dan lain-lain.
Kita sedang melihat warna pertanian (padi) di Indonesia.
Judul berita di Kompas, 28 Desember 2024, mengajak
kita berpikir (lagi) warna: “Karpet Merah bagi Petani Padi.” Kita terbiasa
mengingat karpet merah dalam hajatan film di Eropa dan Amerika Serikat. Karpet
berwarna merah itu kemeriahan, kehormatan, kebahagiaan, dan keberhasilan.
Karpet beragam warna di rumah dan tempat ibadah memberi pengertian berbeda
meski mengajarkan dampak warna. Di sawah, para petani padi tak menggelar karpet
untuk berdiri, duduk, atau tidur. Mereka mengenali lumpur, rumput, hamparan
padi, dan lain-lain.
Kita mengutip berita: “Karpet merah bagi petani padi
digelar. Harga gabah petani akan dinaikkan berkisar Rp 6.500-Rp 7.500 per kg.
Pupuk bersubsidi dijamin dapat ditebus per 1 Januari 2025… Pemerintah
menyiapkan karpet merah bagi petani padi tahun depan. Karpet merah itu antara
lain berua harga pembelian dan jaminan serapan gabah serta ketersediaan pupuk
bersubsidi tepat waktu, jumlah, dan sasaran.” Berita dimaksudkan membahagikan
di akhir tahun. Karpet merah sengaja dikabarkan berkaitan kemungkinan perubahan
nasib petani di Indonesia.
Pada masa lalu, publik sempat diajak mengandaikan atau
memikirkan pertanian melalui sebutan “petani berdasi”. F Rahardi dalam majalah Tempo,
9 Desember 1989, menjelaskan: “Petani berdasi sebenarnya hanyalah istilah
kiasan. Yang dimaksud adalah mereka yang berusaha di bidang pertanian, tetapi
tak pernah pegang cangkul.” Pembaca berpikir sosok-sosok berbeda derajat, cara
bekerja, dan pendapatan.
Sebutan “petani berdasi” bisa mendua bila dimengerti
dampak-dampak baik dan buruk untuk kemajuan pertanian di Indonesia bersumpah
swasembada pangan. Konon, “petani berdasi” dianggap berperan dalam pembangunan
nasional meski menimbulkan debat-debat rumit. Rahardi mengungkapkan: “Kenapa
para petani berdasi ini bisa bikin hati para pendekar pembela petani gurem jadi
geram?
Konon, alasan yang lazim dikemukakan untuk mendukung rasa
waswas adalah: cepat atau lambat, para petani berdasi pasti akan mendesak,
menggusur, dan akhirnya menelan para petani gurem. Padahal, petani gurem yang
bertelanjang dada inilah yang justru telah berjasa menyukseskan program
swasembada pangan.”
Keberadaan “petani berdasi” di Indonesia itu kewajaran.
Lakon besar rezim Orde Baru memerlukan pertanian dalam perwujudan janji-janji
melangit demi kemakmuran dan kesejahteraan. Nasib dan petani tetap pertaruhan
tak jelas dalam khotbah panjang bertema pembangunan nasional. Rahardi memberi
sindiran berlatar masa 1980-an: “Jadi, kalau para profesor kita bilang
bahwasanya para petani berdasi itu berbahaya, sebab dasinya bisa menjerat mati
para petani gurem yang telanjang dada, itu hanyalah sekadar omong kosong
daripada sepi.”
Kita membaca lagi sindiran lama saat pemerintah sedang
membuat tindakan-tindakan “cepat” dalam capaian swasembada pangan. Pertanian
menjadi tema besar di awal rezim Prabowo-Gibran. Kemunculan istilah “karpet
merah” mula-mula mengagetkan meski perlahan kita menginsafi itu siasat
“memuliakan” petani agar bergairah membuktikan isi pidato Prabowo Subianto saat
dilantik menjadi Presiden RI.
Pujian terhadap petani pernah berulang disampaikan para
penguasa di Indonesia. Pengamat pertanian dan kaum intelektual kadang
memerlukan memberi pembenaran atas jasa besar para penggerak dan pengisah
pertanian dalam kemajuan Indonesia, dari masa ke masa.
Mubyarto (1973) dalam babak awal pemajuan pertanian cap Orde
Baru mengingatkan: “Bahwa petani Indonesia berpikir dan bertindak secara
rasionil dan selalu ingin dan berusaha meningkatkan pendapatannya tidaklah
perlu diragukan lagi. Setiap ada kesempatan, petani Indonesia di Jawa maupun
luar Jawa selalu berusaha untuk menanam tanaman perdagangan yang kira-kira akan
dapat menjadi sumber kenaikan pendapatan.” Ia tentu tak cuma membahas etos
kerja para petani padi.
Pada abad XXI, para petani (padi) di Indonesia menjadi
penentu atas kebijakan akbar dinamakan swasembada. Kebijakan-kebijakan diadakan
dengan kepentingan agar petani sanggup bekerja dan memberi kabar gembira. Sawah
menjadi alamat terpenting. Segala kebutuhan petani diusahakan dicukupi
pemerintah. Impian panen memberi kebahagiaan mendapat janji ketetapan harga.
Pemberitaan kerja akbar para petani selama tahun-tahun penentuan swasembada
pangan terasa agak lumrah bila menggunakan istilah “karpet merah”. Kita mula-mula
kaget dan mengira berita-berita bertema pertanian (padi) itu berlebihan.
Kita mendingan mengingat dulu nasib petani dalam lakon Orde
Baru. F Rahardi (1985) menggubah puisi berjudul “Matahari, Wereng, dan Sol
Sepatu”. Puisi memuat peran pemerintah, sarjana, tentara, petani, dan lain-lain
dalam pemahaman sawah, swasembada beras, dan negara.
Rahardi dalam ingatan dan kritik mengandung nestapa: Langit
tambah sempoyongan/ matahari ditelan gumpalan sekam/ udara mabuk pestisida/
wereng biotipe baru lepas dari/ laboratorium balai penelitian/ dan
bergulung-gulung jadi mendung/ bergelayutan/ hujan dimuntahkan duahari
duamalam/ menghanyutkan gabah VUTW yang akan/ disetor ke KUD. Dulu, cerita
dan berita mengenai petani padi diinginkan indah tapi mengandung
masalah-masalah serius sulit terselesaikan.
Rezim Orde Baru pernah bertepuk tangan panjang atas
keberhasilan swasembada pangan. Pengakuan dari dunia menjadikan Indonesia ingin
langgeng disebutb “negara beras”. Usaha-usaha besar diadakan meski keinginan
“langgeng” sulit terwujud. Indonesia lekas menghadapi lagi masalah-masalah
produksi dna ketersediaan beras agar tak malu gara-gara impor.
Swasembada pangan menjadi berita besar cuma sebentar.
Rahardi menulis lagak pejabat pemerintah di hadapan para petani: Udara
tambah dingin tapi pak tani makin/ kegerahan/ kipas angin dipasang di balai
desa/ “Tenang saudara-saudara, tenang/ bersama ini saya umumken berita gembira/
berkat keringat dan dedikasi pak tani/ yang sangat tinggi/ sekarang kita sudah
bisa swasembada beras/ tak ada lagi kelaparan, tak ada lagi jurang gizi/ stok
pangan nasional melimpahruah.”
Ingatan dari masa Orde Baru itu boleh terbaca lagi sambil
kita menanti berita-berita gembira melanjutkan dampak makna “karpet merah”
untuk para petani (padi) di Indonesia. Begitu.