Petani: Berita dan Puisi

By PorosBumi 03 Jan 2025, 07:56:22 WIB Tilikan
Petani: Berita dan Puisi

Bandung Mawardi

Tukang Kliping dan Bapak Rumah Tangga

 

Baca Lainnya :

PEMANDANGAN sawah menghijau memberi kesan-kesan kehidupan. Hijau itu tanaman padi bertumbuh dengan kerja petani dan doa-doa. Hijau mengisahkan segar, subur, dan elok. Warna itu perlahan berubah. Pada suatu hari, sawah itu kuning dan coklat. Orang-orang mengartikan panen. Warna memberi kabar gembira tentang balasan kerja keras, ketabahan, dan pengharapan. Sawah tentu tak sekadar hijau, kuning, dan coklat. Sawah memiliki beragam warna.

Pameran warna itu makin berarti dengan petani menunaikan peristiwa-peristiwa mengandung impian pangan dan kemakmuran. Mereka rela kulit raga berubah warna akibat pancaran sinar matahari. “Warna” nasib pun turut berubah akibat kebijakan-kebijakan pemerintah, pasar, bencana, dan lain-lain. Kita sedang melihat warna pertanian (padi) di Indonesia.

Judul berita di Kompas, 28 Desember 2024, mengajak kita berpikir (lagi) warna: “Karpet Merah bagi Petani Padi.” Kita terbiasa mengingat karpet merah dalam hajatan film di Eropa dan Amerika Serikat. Karpet berwarna merah itu kemeriahan, kehormatan, kebahagiaan, dan keberhasilan. Karpet beragam warna di rumah dan tempat ibadah memberi pengertian berbeda meski mengajarkan dampak warna. Di sawah, para petani padi tak menggelar karpet untuk berdiri, duduk, atau tidur. Mereka mengenali lumpur, rumput, hamparan padi, dan lain-lain.

Kita mengutip berita: “Karpet merah bagi petani padi digelar. Harga gabah petani akan dinaikkan berkisar Rp 6.500-Rp 7.500 per kg. Pupuk bersubsidi dijamin dapat ditebus per 1 Januari 2025… Pemerintah menyiapkan karpet merah bagi petani padi tahun depan. Karpet merah itu antara lain berua harga pembelian dan jaminan serapan gabah serta ketersediaan pupuk bersubsidi tepat waktu, jumlah, dan sasaran.” Berita dimaksudkan membahagikan di akhir tahun. Karpet merah sengaja dikabarkan berkaitan kemungkinan perubahan nasib petani di Indonesia.

Pada masa lalu, publik sempat diajak mengandaikan atau memikirkan pertanian melalui sebutan “petani berdasi”. F Rahardi dalam majalah Tempo, 9 Desember 1989, menjelaskan: “Petani berdasi sebenarnya hanyalah istilah kiasan. Yang dimaksud adalah mereka yang berusaha di bidang pertanian, tetapi tak pernah pegang cangkul.” Pembaca berpikir sosok-sosok berbeda derajat, cara bekerja, dan pendapatan.

Sebutan “petani berdasi” bisa mendua bila dimengerti dampak-dampak baik dan buruk untuk kemajuan pertanian di Indonesia bersumpah swasembada pangan. Konon, “petani berdasi” dianggap berperan dalam pembangunan nasional meski menimbulkan debat-debat rumit. Rahardi mengungkapkan: “Kenapa para petani berdasi ini bisa bikin hati para pendekar pembela petani gurem jadi geram?

Konon, alasan yang lazim dikemukakan untuk mendukung rasa waswas adalah: cepat atau lambat, para petani berdasi pasti akan mendesak, menggusur, dan akhirnya menelan para petani gurem. Padahal, petani gurem yang bertelanjang dada inilah yang justru telah berjasa menyukseskan program swasembada pangan.”

Keberadaan “petani berdasi” di Indonesia itu kewajaran. Lakon besar rezim Orde Baru memerlukan pertanian dalam perwujudan janji-janji melangit demi kemakmuran dan kesejahteraan. Nasib dan petani tetap pertaruhan tak jelas dalam khotbah panjang bertema pembangunan nasional. Rahardi memberi sindiran berlatar masa 1980-an: “Jadi, kalau para profesor kita bilang bahwasanya para petani berdasi itu berbahaya, sebab dasinya bisa menjerat mati para petani gurem yang telanjang dada, itu hanyalah sekadar omong kosong daripada sepi.”

Kita membaca lagi sindiran lama saat pemerintah sedang membuat tindakan-tindakan “cepat” dalam capaian swasembada pangan. Pertanian menjadi tema besar di awal rezim Prabowo-Gibran. Kemunculan istilah “karpet merah” mula-mula mengagetkan meski perlahan kita menginsafi itu siasat “memuliakan” petani agar bergairah membuktikan isi pidato Prabowo Subianto saat dilantik menjadi Presiden RI.

Pujian terhadap petani pernah berulang disampaikan para penguasa di Indonesia. Pengamat pertanian dan kaum intelektual kadang memerlukan memberi pembenaran atas jasa besar para penggerak dan pengisah pertanian dalam kemajuan Indonesia, dari masa ke masa.

Mubyarto (1973) dalam babak awal pemajuan pertanian cap Orde Baru mengingatkan: “Bahwa petani Indonesia berpikir dan bertindak secara rasionil dan selalu ingin dan berusaha meningkatkan pendapatannya tidaklah perlu diragukan lagi. Setiap ada kesempatan, petani Indonesia di Jawa maupun luar Jawa selalu berusaha untuk menanam tanaman perdagangan yang kira-kira akan dapat menjadi sumber kenaikan pendapatan.” Ia tentu tak cuma membahas etos kerja para petani padi.

Pada abad XXI, para petani (padi) di Indonesia menjadi penentu atas kebijakan akbar dinamakan swasembada. Kebijakan-kebijakan diadakan dengan kepentingan agar petani sanggup bekerja dan memberi kabar gembira. Sawah menjadi alamat terpenting. Segala kebutuhan petani diusahakan dicukupi pemerintah. Impian panen memberi kebahagiaan mendapat janji ketetapan harga. Pemberitaan kerja akbar para petani selama tahun-tahun penentuan swasembada pangan terasa agak lumrah bila menggunakan istilah “karpet merah”. Kita mula-mula kaget dan mengira berita-berita bertema pertanian (padi) itu berlebihan.

Kita mendingan mengingat dulu nasib petani dalam lakon Orde Baru. F Rahardi (1985) menggubah puisi berjudul “Matahari, Wereng, dan Sol Sepatu”. Puisi memuat peran pemerintah, sarjana, tentara, petani, dan lain-lain dalam pemahaman sawah, swasembada beras, dan negara.

Rahardi dalam ingatan dan kritik mengandung nestapa: Langit tambah sempoyongan/ matahari ditelan gumpalan sekam/ udara mabuk pestisida/ wereng biotipe baru lepas dari/ laboratorium balai penelitian/ dan bergulung-gulung jadi mendung/ bergelayutan/ hujan dimuntahkan duahari duamalam/ menghanyutkan gabah VUTW yang akan/ disetor ke KUD. Dulu, cerita dan berita mengenai petani padi diinginkan indah tapi mengandung masalah-masalah serius sulit terselesaikan.

Rezim Orde Baru pernah bertepuk tangan panjang atas keberhasilan swasembada pangan. Pengakuan dari dunia menjadikan Indonesia ingin langgeng disebutb “negara beras”. Usaha-usaha besar diadakan meski keinginan “langgeng” sulit terwujud. Indonesia lekas menghadapi lagi masalah-masalah produksi dna ketersediaan beras agar tak malu gara-gara impor.

Swasembada pangan menjadi berita besar cuma sebentar. Rahardi menulis lagak pejabat pemerintah di hadapan para petani: Udara tambah dingin tapi pak tani makin/ kegerahan/ kipas angin dipasang di balai desa/ “Tenang saudara-saudara, tenang/ bersama ini saya umumken berita gembira/ berkat keringat dan dedikasi pak tani/ yang sangat tinggi/ sekarang kita sudah bisa swasembada beras/ tak ada lagi kelaparan, tak ada lagi jurang gizi/ stok pangan nasional melimpahruah.”

Ingatan dari masa Orde Baru itu boleh terbaca lagi sambil kita menanti berita-berita gembira melanjutkan dampak makna “karpet merah” untuk para petani (padi) di Indonesia. Begitu.




Write a Facebook Comment

Tuliskan Komentar anda dari account Facebook

View all comments

Write a comment