- Anggota ASPAI Se-Indonesia Uji Kompetensi Budidaya Anggur
- Mengintip Cara Anak Mengakrabi Kaki Seribu di Pemakaman
- 100 Tahun Pramoedya Ananta Toer (1925-2025): Petani dan Biografi
- Pagar
- Mau Kuliah Gratis? Beasiswa Bank Indonesia 2025 Telah Dibuka, Ini Syaratnya!
- Air Terjun Weekacura, Hidden Gem di Sumba yang Punya Pesona Memanjakan Mata
- DWP Kemenkop dan LPDB Gelar Sosialisasi Perkoperasian dan Akses Pembiayaan Dana Bergulir di Cirebon
- Menakar Kunci Sukses Swasembada Pangan
- Patrick Pantera Negra Kluivert dan Memori Stadion Ernst Happel
- Pangan, Gizi dan Harapan
100 Tahun Pramoedya Ananta Toer (1925-2025): Petani dan Biografi
Bandung Mawardi
Tukang Kliping, Bapak Rumah Tangga
Baca Lainnya :
- Pagar0
- Mau Kuliah Gratis? Beasiswa Bank Indonesia 2025 Telah Dibuka, Ini Syaratnya!0
- Pangan, Gizi dan Harapan0
- Imlek: Puisi dan Biografi0
- Referensi Daftar SNBP 2025, Ini 5 PTN dengan Jurusan Akuntansi Terbaik0
SEJAK masa awal mengarang cerita,
Pramoedya Ananta Toer tak bermaksud menekuni tema pertanian. Para pembaca tetap
saja menemukan masalah-masalah berkaitan pertanian dan agraris. Di cerita
berjudul “Jang Sudah Hilang”, Pram (1950) memberi ingatan peristiwa-peristiwa
pertanian.
Pram menulis: “Bunda biasa mentjangkul di ladang. Dan, di
waktu-waktu seperti itu, kalau aku tak sedang bermain-main, pasti ikut
dengannja. Dalam waktu-waktu seperti itu biasa meluntjur dari mulut bunda
dongeng-dongeng jang semua berisi pendidikan. Pendidikan agar anaknja
mentjintai alam, mentjintai sesuatu pekerdjaan jang tertentu dan bekerdja
bersungguh-sungguh.”
Kita berimajinasi tentang kekuatan orang-orang bersama
tanah. Hasil dari bercocok tanam untuk hidup dengan segala keterbatasan dan
capaian. Di situ, kita melihat sosok perempuan mencangkul. Pada masa berbeda,
Pram saat diburu pun diharuskan memegang cangkul. Ia merasa susah dan terluka
gara-gara tak terbiasa mencangkul. Di buku berjudul Nyanyi Sunyi Seorang
Bisu (2000), Pram mengingat keputusan saat berada di Buru. Ia memilih ikut
kelompok pembuat jalan ketimbang di kubu bertani.
Di cerita pendek, kita menemukan lagi ketangguhan nenek:
“Kadang-kadang nenek datang ke tempat kami membawa buah-buahan. Penghasilan
nenek ialah mendjual sajur-sajuran. Pagi-pagi ia mentjegat petani jang membawa
sajur-majurnya jang mau dibawanja ke pasar. Ia membeli dagangannja dari mereka
dan mendjualnja ke rumah-rumah para prijaji….” Pram sedang bertaruh
memasalahkan pertanian meski tak sebesar minat dalam sejarah.
Pada masa 1950-an, terbit buku serial berjudul Pedoman
Bertjotjok Tanam susunan Kaslan A Tohir. Buku cukup laris saat Indonesia
sedang dilanda revolusi. Soekarno pun berseru tentang pertanian dan sokoguru
revolusi. Buku itu mungkin bacaan Pram atau kalangan pengarang di Indonesia.
Pertanian memerlukan bacaan-bacaan. Sastra kadang turut
mengisahkan pertanian. Kaslan A Tohir menjelaskan maksud penulisan buku:
“Guru-guru desa jang dididik dalam hal-ihwal pertanian dan jang kemudian turut
menjiarkan soal pertanian. Mereka membutuhkan buku-buku jang dapat dipergunakan
sebagai pegangan… Umum jang hendak turut serta menjumbangkan tenaga dan
pikirannja untuk memperbaiki pertanian.” Pada masa 1950-an, Pram getol menulis
cerita-cerita menguak revolusi, belum memberi perhatian besar terhadap pertanian.
Di novel berjudul Sekali Peristiwa di Banten Selatan
(1958), Pram memberi keterangan latar penulisan cerita: “Tjerita ini adalah
hasil kundjunganku beberapa waktu lamanja pada akhir 1957 di Banten Selatan.
Perpaduan antara alam jang masih perawan dan tipisnja penduduk serta subur dan
kajanja bumi, letak tanahnja jang landai kaja akan gunung dan djurang,
menimbulkan banjak ide tentang hari depan. Disamping itu melahirkan pula banjak
masalah jang segera harus dipetjahkan dan digarap, terutama dalam hal
penambahan bahan makanan dan kesedjahteraan hidup…” Cerita memuat masalah
derita dan pengharapan orang-orang bercocok tanam dan menjual hasil bumi.
Pram bercerita: “Tak lama kemudian, datang Ranta. Ia berumur
kurang lebih tigapuluh sembilan tahun. Tubuhnja tinggi lagi besar, penuh dengan
otot-otot kasar, menandakan bahwa ia banjak bekerdja keras tapi sebaliknja
kurang mendapat makan jang baik.” Ia sedang mengisahkan kehidupan berat
ditanggungkan para petani (singkong) dan tatanan hidup desa dalam seribu
tekanan.
Masalah-masalah pertanian perlahan makin menguat saat Pram
berada di Buru. Para tapol diperintah mengolah tanah. Pada masa bocah, Pram
mengingat petuah ibu bila ia tak bakal mau menjadi petani. Permasalahan tanah
dan petani menautkan dengan epos dianut di Jawa.
Pram memberi protes: “Dan para dewa di tengah-tengah pesta
para petani ini hanya punya urusan dengan sesama dewa, brahmana dan satria
saja. Dewa, brahmana dan satria sama sekali tak punya urusan dengan petani.
Tapi, para petani menganggap diri punya urusan dengan mereka, mencintai mereka
seperti mencintai nenek moyang sedniri, yang sudah lama mati, sudah tak diingat
dan sudah tak dapat dikenalinya lagi. Betapa mengibakan cinta petani yang
sepihak, bertepuk sebelah tangan itu.” Pram mengatakan itu tragis.
Pram berduka atas nasib petani. Pada saat dihukum rezim Orde
Baru, Pram dan orang-orang di Buru diwajibkan mencangkul. Masalah besar bagi
Pram. Ia tak berniat menjadi petani tapi sanggup membahas masalah agraria atau
pertanian melalui tulisan-tulisan. Pram tetap pengarang, bukan petani.
Hari-hari awal di Buru, Pram mengaku: “Aku sendiri tidak
punya pengalaman mencangkul sebagai mata pencaharian, hanya sebagai hiburan dan
sport. Dihadapkan pada kenyataan bertani seperti ini memang
menggelisahkan. Seluruh pendidikan yang kuterima dari sekolah, dari orang tua
maupun dari usaha sendiri, tidak pernah ditujukan menjadi petani…” Pram malah
bergerak dari Blora ke Jakarta. Di kota besar, ia sadar pekerjaan dan pencarian
nafkah tapi bukan bersumber (tanah) pertanian.
Di biografi kepengarangan, Pram tetap bisa membuktikan ia
memberi perhatian kepada petani. Ia memang berbeda dengan para pengarang masa
lalu sanggup menceritakan petani, revolusi, dan impian kemakmuran. Para pembaca
novel atau cerita pendek gubahan Pram berhak menandai hal-hal menghubungkan
dengan masalah-masalah pertanian. Di peringatan 100 tahun Pramoedya Ananta
Toer, kita bisa memberikan tempat atas pengisahan dan pengakuan berpijak
pertanian. Begitu.