100 Tahun Pramoedya Ananta Toer (1925-2025): Petani dan Biografi

By PorosBumi 04 Feb 2025, 08:40:18 WIB Tilikan
100 Tahun Pramoedya Ananta Toer (1925-2025): Petani dan Biografi

Bandung Mawardi

Tukang Kliping, Bapak Rumah Tangga

 

Baca Lainnya :

SEJAK masa awal mengarang cerita, Pramoedya Ananta Toer tak bermaksud menekuni tema pertanian. Para pembaca tetap saja menemukan masalah-masalah berkaitan pertanian dan agraris. Di cerita berjudul “Jang Sudah Hilang”, Pram (1950) memberi ingatan peristiwa-peristiwa pertanian.

Pram menulis: “Bunda biasa mentjangkul di ladang. Dan, di waktu-waktu seperti itu, kalau aku tak sedang bermain-main, pasti ikut dengannja. Dalam waktu-waktu seperti itu biasa meluntjur dari mulut bunda dongeng-dongeng jang semua berisi pendidikan. Pendidikan agar anaknja mentjintai alam, mentjintai sesuatu pekerdjaan jang tertentu dan bekerdja bersungguh-sungguh.”

Kita berimajinasi tentang kekuatan orang-orang bersama tanah. Hasil dari bercocok tanam untuk hidup dengan segala keterbatasan dan capaian. Di situ, kita melihat sosok perempuan mencangkul. Pada masa berbeda, Pram saat diburu pun diharuskan memegang cangkul. Ia merasa susah dan terluka gara-gara tak terbiasa mencangkul. Di buku berjudul Nyanyi Sunyi Seorang Bisu (2000), Pram mengingat keputusan saat berada di Buru. Ia memilih ikut kelompok pembuat jalan ketimbang di kubu bertani.

Di cerita pendek, kita menemukan lagi ketangguhan nenek: “Kadang-kadang nenek datang ke tempat kami membawa buah-buahan. Penghasilan nenek ialah mendjual sajur-sajuran. Pagi-pagi ia mentjegat petani jang membawa sajur-majurnya jang mau dibawanja ke pasar. Ia membeli dagangannja dari mereka dan mendjualnja ke rumah-rumah para prijaji….” Pram sedang bertaruh memasalahkan pertanian meski tak sebesar minat dalam sejarah.

Pada masa 1950-an, terbit buku serial berjudul Pedoman Bertjotjok Tanam susunan Kaslan A Tohir. Buku cukup laris saat Indonesia sedang dilanda revolusi. Soekarno pun berseru tentang pertanian dan sokoguru revolusi. Buku itu mungkin bacaan Pram atau kalangan pengarang di Indonesia.

Pertanian memerlukan bacaan-bacaan. Sastra kadang turut mengisahkan pertanian. Kaslan A Tohir menjelaskan maksud penulisan buku: “Guru-guru desa jang dididik dalam hal-ihwal pertanian dan jang kemudian turut menjiarkan soal pertanian. Mereka membutuhkan buku-buku jang dapat dipergunakan sebagai pegangan… Umum jang hendak turut serta menjumbangkan tenaga dan pikirannja untuk memperbaiki pertanian.” Pada masa 1950-an, Pram getol menulis cerita-cerita menguak revolusi, belum memberi perhatian besar terhadap pertanian.

Di novel berjudul Sekali Peristiwa di Banten Selatan (1958), Pram memberi keterangan latar penulisan cerita: “Tjerita ini adalah hasil kundjunganku beberapa waktu lamanja pada akhir 1957 di Banten Selatan. Perpaduan antara alam jang masih perawan dan tipisnja penduduk serta subur dan kajanja bumi, letak tanahnja jang landai kaja akan gunung dan djurang, menimbulkan banjak ide tentang hari depan. Disamping itu melahirkan pula banjak masalah jang segera harus dipetjahkan dan digarap, terutama dalam hal penambahan bahan makanan dan kesedjahteraan hidup…” Cerita memuat masalah derita dan pengharapan orang-orang bercocok tanam dan menjual hasil bumi.

Pram bercerita: “Tak lama kemudian, datang Ranta. Ia berumur kurang lebih tigapuluh sembilan tahun. Tubuhnja tinggi lagi besar, penuh dengan otot-otot kasar, menandakan bahwa ia banjak bekerdja keras tapi sebaliknja kurang mendapat makan jang baik.” Ia sedang mengisahkan kehidupan berat ditanggungkan para petani (singkong) dan tatanan hidup desa dalam seribu tekanan.

Masalah-masalah pertanian perlahan makin menguat saat Pram berada di Buru. Para tapol diperintah mengolah tanah. Pada masa bocah, Pram mengingat petuah ibu bila ia tak bakal mau menjadi petani. Permasalahan tanah dan petani menautkan dengan epos dianut di Jawa.

Pram memberi protes: “Dan para dewa di tengah-tengah pesta para petani ini hanya punya urusan dengan sesama dewa, brahmana dan satria saja. Dewa, brahmana dan satria sama sekali tak punya urusan dengan petani. Tapi, para petani menganggap diri punya urusan dengan mereka, mencintai mereka seperti mencintai nenek moyang sedniri, yang sudah lama mati, sudah tak diingat dan sudah tak dapat dikenalinya lagi. Betapa mengibakan cinta petani yang sepihak, bertepuk sebelah tangan itu.” Pram mengatakan itu tragis.

Pram berduka atas nasib petani. Pada saat dihukum rezim Orde Baru, Pram dan orang-orang di Buru diwajibkan mencangkul. Masalah besar bagi Pram. Ia tak berniat menjadi petani tapi sanggup membahas masalah agraria atau pertanian melalui tulisan-tulisan. Pram tetap pengarang, bukan petani.

Hari-hari awal di Buru, Pram mengaku: “Aku sendiri tidak punya pengalaman mencangkul sebagai mata pencaharian, hanya sebagai hiburan dan sport. Dihadapkan pada kenyataan bertani seperti ini memang menggelisahkan. Seluruh pendidikan yang kuterima dari sekolah, dari orang tua maupun dari usaha sendiri, tidak pernah ditujukan menjadi petani…” Pram malah bergerak dari Blora ke Jakarta. Di kota besar, ia sadar pekerjaan dan pencarian nafkah tapi bukan bersumber (tanah) pertanian.

Di biografi kepengarangan, Pram tetap bisa membuktikan ia memberi perhatian kepada petani. Ia memang berbeda dengan para pengarang masa lalu sanggup menceritakan petani, revolusi, dan impian kemakmuran. Para pembaca novel atau cerita pendek gubahan Pram berhak menandai hal-hal menghubungkan dengan masalah-masalah pertanian. Di peringatan 100 tahun Pramoedya Ananta Toer, kita bisa memberikan tempat atas pengisahan dan pengakuan berpijak pertanian. Begitu.




Write a Facebook Comment

Tuliskan Komentar anda dari account Facebook

View all comments

Write a comment