Semesta Sains

By PorosBumi 19 Des 2024, 06:45:55 WIB Tilikan
Semesta Sains

Joko Priyono

Fisikawan Partikelir dan Budayawan. Menulis Buku Sekadar Mengamati: Tentang Anak, Bacaan, dan Keilmuan (2022), dan Bersandar pada Sains (2022)

 

Baca Lainnya :

BARANGKALI satu hal yang membuat sains terus berkesan adalah sifat keindahan yang melekat di dalamnya. Ini berhubungan dengan hakikat sains yang menjadi perangkat bagi manusia untuk melakukan telaah terhadap peristiwa yang ada di lingkungan sekitarnya. Munculnya pelangi setelah hujan adalah sebuah keindahan. Jika ditelaah dengan sains, peristiwa itu mengantarkan kita pada kesadaran mengenai optik atau pengetahuan tentang cahaya.

Logika tersebut mengingatkan apa yang diungkap oleh Richard Dawkins dalam karyanya The Magic of Reality (2011). Ia mendefinisikan akan ketakjuban dan kerinduan terhadap fenomena yang sarat mengenai ilmu sebagai “sihir puitis”. Konsep itu menjadi puncak kesadaran untuk memahami banyak peristiwa di lingkungan sekitar dengan acuan ilmu dan pengetahuan. Hal tersebut juga melebihi ketakjuban yang sebatas pada “sihir supranatural” dan “sihir panggung”.

Definisi di atas kiranya penting bagi kita untuk membangun ulang kesadaran dan kerinduan terhadap sains. Itu pula yang perlu menjadikan fondasi kita saat meneroka bagaimana pemerintah, melalui Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah akan menjadikan sains dan teknologi sebagai salah satu program prioritas. Jangkauan itu mendasar, dengan arti lain, negara memiliki kepentingan mempersiapkan sumber daya manusia, sejak anak-anak untuk memiliki kecakapan akan sains.

Metodologi ilmiah adalah tulang punggung yang menunjang pengembangan sains. Dalam perjalannnya, kehadirannya senantiasa mengandaikan proses (menjadi) lengkap dan sempurna dengan tujuan menggambarkan realitas. Sains tidaklah berurusan mengenai cocok atau tidaknya dalam membaca dan meneroka fenomena. Itu menegaskan bahwa yang paling terpenting di sana adalah proses, untuk menyajikan pemahaman yang komprehensif dan holistik.

Maka, tak sedikit anggapan, sebagaimana diungkapkan oleh banyak saintis memberi penegasan bahwa keberjalanan sains senantiasa membutuhkan dialog. Dialog itu yang kemudian mendefinisikan pada beberapa aspek keterhubungan, seperti manusia dan alam semesta. Proses pendefinisian itu yang dalam aspek praktik pengajaran menjadi tanggung jawab dari keberadaan pendidikan sains, yang diberikan ketika anak-anak di dalam tahapan proses yang mereka lalui.

Pendidikan Sains

Jika kemudian kita menilik lanskap akan bagaimana anak-anak mendapatkan hak dalam mengerti sains, maka pendidikan sains setidaknya mengacu pada sekolah dan rumah—sebagai proses alami yang dijalani oleh mereka. Di sekolah, tentu membutuhkan kehadiran guru yang memupuk akan kerinduan terhadap ilmu dan pengetahuan. Para guru itu menjadikan sains sebagai perangai ilmiah dengan memantik pertanyaan kepada murid dan membuka ruang seluas mungkin jikalau para murid itu mengajukan banyak pertanyaan atas rasa penasaran terhadap beragam hal.

Begitu pula faktor keluarga. Mereka memiliki peranan mendasar dalam tumbuh dan kembang perjalanan anak untuk menjemput masa depannya. Kendati tak dapat digeneralisir, untuk membuat kesadaran terhadap kemauan akan sains, setidaknya keluarga membutuhkan perangkat seperti pegenalan secara bertahap mengenai literasi sains dasar dan melatih imajinasi dari lingkungan sekitar. Tiada lain, dengan keterbukaan yang ada, itu membangun kebiasaan dan melatih kemauan dalam menelaah berbagai peristiwa yang menyaratkan ilmu dan pengetahuan.

Oleh sebab itu, sebagaimana pernah diajukan kosmolog Premana W Premadi (2013), tujuan pendidikan sains itu mengacu pada dua hal. Pertama, pendidikan menyiapkan generasi ilmuwan yang kompeten untuk pengembangan sains dalam semangatnya untuk mencari kebenaran. Sementara kedua, pendidikan sains kemudian memotivasi mereka—ilmuwan terdidik dan terlatih berperan konstruktif dalam pendewasaan masyarakat. Itu berhubungan bahwa pengetahuan saintifik menjadi modal penting dalam pengambilan kebijakan.

Perangai Ilmiah

Keberhasilan pendidikan sains bergantung pada fondasi mendasar yang menyaratkan metode, rancang bangun kesadaran terhadap pencarian, hingga kebijakan dari politik. Anggapan bahwa pengarusutamaan sains terkadang masih menjadi perdebatan banyak kalangan dengan kekhawatiran penyingkiran keilmuan lain, semacam ilmu humaniora perlu menjadi refleksi dan evaluasi bersama untuk menemukan jalan tengah.

Betapa pun diperlukan kerendahan hati dan keterbukaan dalam mengunyah strategi guna memikirkan masa depan peradaban. Kekhawatiran dari tak sedikit kalangan itu bersandar pada satu hal: jika sains bergerak cepat dan menginisiasi kemunculan teknologi baru, kadang sarat dengan masalah humanisme. Inilah yang membuat keyakinan bahwa salah satu jalan yang perlu ditempuh dalam pendidikan sains adalah tidak mendikotomikan keilmuan lainnya, tak terkecuali pada aspek sosial dan humaniora.

Benar apa yang pernah diungkapkan ahli astronomi Bambang Hidayat dalam buku Kepalungan Budaya: Batas Pengetahuan, Pemberdayaan Iptek, dan Ilmuwan Masa Depan (2022). Ia menekankan pendidikan sains memerlukan korelasi pada upaya penyelarasan terhadap seni dan budaya serta agama. Dalam acuan mutakhir, tentu relevan dengan konsep STEAM. Di sana meletakkan arts (kesenian) pada lingkup luas, meliputi kebudayaan dan kemanusiaan. Dengan demikian, pendidikan sains dalam konteks kurikulum menjadi proses penting transformasi bangsa untuk membentuk sebuah perangai ilmiah.

Pendidikan sains membutuhkan daya dukung dari lainnya sebagai bahan pertimbangan untuk membangun kerangka etis. Itu berhubungan konsep sains yang dalam praktiknya senantiasa mendekatkan pada gejala maupun fenomena yang dihadapi. Pertimbangan yang didasarkan pada sains sebagai perangai ilmiah itu memungkinkan kita dapat membangun peradaban yang senantiasa mengedepankan objektivitas, tindakan masuk akal, serta semangat pencerahan sebagai tugas kemanusiaan.

 

 

 

 




Write a Facebook Comment

Tuliskan Komentar anda dari account Facebook

View all comments

Write a comment