- Swasembada Pangan Optimistis Cepat Terwujud dengan Kolaborasi NFA dan Kementrans
- Konsisten Meliput Sampah Demi Edukasi dan Solusi
- BBM Aman, Menteri ESDM Apresiasi Kesiapan Satgas Nataru Pertamina
- Dorong Energi Terbarukan, Pertamina Tampung Minyak Jelantah di Wilayah Jabodetabek dan Bandung
- Tangkap Pelaku Penganiayaan Aktivis Pembela HAM Lingkungan Hidup di Teluk Bintuni, Papua Barat
- Mentan Amran dan Panglima TNI Perkuat Kolaborasi Wujudkan Swasembada Pangan
- Gateway of Java, Menjelajah Indahnya Panorama Yogyakarta
- Resmi Dilantik, DPC HIPPI Jakarta Timur Siap Berkolaborasi dengan Berbagai Pihak
- Ketum Pandutani: Pemaafan Koruptor yang Kembalikan Uang Korupsi Efektif Memulihkan Keuangan Negara
- Kemenekraf Dorong Penguatan Ekonomi Perempuan Melalui \'Emak-Emak Matic\'
Semesta Sains
Joko Priyono
Fisikawan Partikelir dan Budayawan. Menulis Buku
Sekadar Mengamati: Tentang Anak, Bacaan, dan Keilmuan (2022), dan Bersandar
pada Sains (2022)
Baca Lainnya :
- Mahasiswa Universitas Andalas Ciptakan Inovasi Teknologi Desa Wisata 0
- Sobat Disabilitas Pertamina Berdaya Melalui Difel Cafe0
- Butuh Penguatan Soft Skill dalam Pembelajaran AI dan Coding di SMK0
- FISIP UIN Raden Fatah dan Promedia Teknologi Indonesia Asah Skill Mahasiswa di Bidang Digitalisasi0
- Lebih dari 50 Universitas dengan 1.500 Mahasiswa & Akademisi Terlibat Proyek BRIGHT CPA Australia0
BARANGKALI satu hal yang membuat
sains terus berkesan adalah sifat keindahan yang melekat di dalamnya. Ini
berhubungan dengan hakikat sains yang menjadi perangkat bagi manusia untuk
melakukan telaah terhadap peristiwa yang ada di lingkungan sekitarnya.
Munculnya pelangi setelah hujan adalah sebuah keindahan. Jika ditelaah dengan
sains, peristiwa itu mengantarkan kita pada kesadaran mengenai optik atau
pengetahuan tentang cahaya.
Logika tersebut mengingatkan apa yang diungkap oleh Richard
Dawkins dalam karyanya The Magic of Reality (2011). Ia mendefinisikan
akan ketakjuban dan kerinduan terhadap fenomena yang sarat mengenai ilmu
sebagai “sihir puitis”. Konsep itu menjadi puncak kesadaran untuk memahami
banyak peristiwa di lingkungan sekitar dengan acuan ilmu dan pengetahuan. Hal tersebut
juga melebihi ketakjuban yang sebatas pada “sihir supranatural” dan “sihir
panggung”.
Definisi di atas kiranya penting bagi kita untuk membangun
ulang kesadaran dan kerinduan terhadap sains. Itu pula yang perlu menjadikan
fondasi kita saat meneroka bagaimana pemerintah, melalui Kementerian Pendidikan
Dasar dan Menengah akan menjadikan sains dan teknologi sebagai salah satu
program prioritas. Jangkauan itu mendasar, dengan arti lain, negara memiliki
kepentingan mempersiapkan sumber daya manusia, sejak anak-anak untuk memiliki
kecakapan akan sains.
Metodologi ilmiah adalah tulang punggung yang menunjang
pengembangan sains. Dalam perjalannnya, kehadirannya senantiasa mengandaikan
proses (menjadi) lengkap dan sempurna dengan tujuan menggambarkan realitas.
Sains tidaklah berurusan mengenai cocok atau tidaknya dalam membaca dan
meneroka fenomena. Itu menegaskan bahwa yang paling terpenting di sana adalah
proses, untuk menyajikan pemahaman yang komprehensif dan holistik.
Maka, tak sedikit anggapan, sebagaimana diungkapkan oleh
banyak saintis memberi penegasan bahwa keberjalanan sains senantiasa
membutuhkan dialog. Dialog itu yang kemudian mendefinisikan pada beberapa aspek
keterhubungan, seperti manusia dan alam semesta. Proses pendefinisian itu yang
dalam aspek praktik pengajaran menjadi tanggung jawab dari keberadaan
pendidikan sains, yang diberikan ketika anak-anak di dalam tahapan proses yang
mereka lalui.
Pendidikan Sains
Jika kemudian kita menilik lanskap akan bagaimana anak-anak
mendapatkan hak dalam mengerti sains, maka pendidikan sains setidaknya mengacu
pada sekolah dan rumah—sebagai proses alami yang dijalani oleh mereka. Di
sekolah, tentu membutuhkan kehadiran guru yang memupuk akan kerinduan terhadap
ilmu dan pengetahuan. Para guru itu menjadikan sains sebagai perangai ilmiah
dengan memantik pertanyaan kepada murid dan membuka ruang seluas mungkin
jikalau para murid itu mengajukan banyak pertanyaan atas rasa penasaran
terhadap beragam hal.
Begitu pula faktor keluarga. Mereka memiliki peranan
mendasar dalam tumbuh dan kembang perjalanan anak untuk menjemput masa
depannya. Kendati tak dapat digeneralisir, untuk membuat kesadaran terhadap
kemauan akan sains, setidaknya keluarga membutuhkan perangkat seperti pegenalan
secara bertahap mengenai literasi sains dasar dan melatih imajinasi dari
lingkungan sekitar. Tiada lain, dengan keterbukaan yang ada, itu membangun
kebiasaan dan melatih kemauan dalam menelaah berbagai peristiwa yang
menyaratkan ilmu dan pengetahuan.
Oleh sebab itu, sebagaimana pernah diajukan kosmolog Premana
W Premadi (2013), tujuan pendidikan sains itu mengacu pada dua hal. Pertama,
pendidikan menyiapkan generasi ilmuwan yang kompeten untuk pengembangan sains
dalam semangatnya untuk mencari kebenaran. Sementara kedua, pendidikan
sains kemudian memotivasi mereka—ilmuwan terdidik dan terlatih berperan
konstruktif dalam pendewasaan masyarakat. Itu berhubungan bahwa pengetahuan
saintifik menjadi modal penting dalam pengambilan kebijakan.
Perangai Ilmiah
Keberhasilan pendidikan sains bergantung pada fondasi
mendasar yang menyaratkan metode, rancang bangun kesadaran terhadap pencarian,
hingga kebijakan dari politik. Anggapan bahwa pengarusutamaan sains terkadang
masih menjadi perdebatan banyak kalangan dengan kekhawatiran penyingkiran
keilmuan lain, semacam ilmu humaniora perlu menjadi refleksi dan evaluasi
bersama untuk menemukan jalan tengah.
Betapa pun diperlukan kerendahan hati dan keterbukaan dalam
mengunyah strategi guna memikirkan masa depan peradaban. Kekhawatiran dari tak
sedikit kalangan itu bersandar pada satu hal: jika sains bergerak cepat dan
menginisiasi kemunculan teknologi baru, kadang sarat dengan masalah humanisme.
Inilah yang membuat keyakinan bahwa salah satu jalan yang perlu ditempuh dalam
pendidikan sains adalah tidak mendikotomikan keilmuan lainnya, tak terkecuali
pada aspek sosial dan humaniora.
Benar apa yang pernah diungkapkan ahli astronomi Bambang
Hidayat dalam buku Kepalungan Budaya: Batas Pengetahuan, Pemberdayaan Iptek,
dan Ilmuwan Masa Depan (2022). Ia menekankan pendidikan sains memerlukan
korelasi pada upaya penyelarasan terhadap seni dan budaya serta agama. Dalam
acuan mutakhir, tentu relevan dengan konsep STEAM. Di sana meletakkan arts
(kesenian) pada lingkup luas, meliputi kebudayaan dan kemanusiaan. Dengan
demikian, pendidikan sains dalam konteks kurikulum menjadi proses penting
transformasi bangsa untuk membentuk sebuah perangai ilmiah.
Pendidikan sains membutuhkan daya dukung dari lainnya
sebagai bahan pertimbangan untuk membangun kerangka etis. Itu berhubungan
konsep sains yang dalam praktiknya senantiasa mendekatkan pada gejala maupun
fenomena yang dihadapi. Pertimbangan yang didasarkan pada sains sebagai
perangai ilmiah itu memungkinkan kita dapat membangun peradaban yang senantiasa
mengedepankan objektivitas, tindakan masuk akal, serta semangat pencerahan
sebagai tugas kemanusiaan.