- Menkeu, Teori dan Kebijakan Tarif
- Uji Kelayakan Lokasi PLTN, BRIN dan BMKG Lakukan Kajian Potensi Tsunami di Pantai Gosong
- Perjalanan Jatuh Bangun Ali Sarbani, Anak Petani Sukses Berbisnis Properti
- KAI Daop 8 Pelajari Media Percontohan Pembelajaran Pencegahan Krisis Planet
- Pemerintah Perkuat Infrastruktur Pengelolaan Sampah Lewat Teknologi
- Kakek 103 Tahun Sukses Jualan di Tiktok Shop
- Asal-Usul Bubur Ayam Jakarta 46
- Foto Itu...
- Gubernur Pramono Anung Apresiasi Kiprah Muhammadiyah DKI Jakarta
- Huawei Mate XT, Smartphone Lipat Tiga Pertama Hadir di Indonesia
Bercerita Tentara

Bandung Mawardi
Tukang kliping, bapak rumah tangga
Baca Lainnya :
- Selamat Mengemban Amanah Kepada Bapak Sarjan Tahir1
- 5 Jalur Masuk Jalur Mandiri UGM 2025 Beserta Jadwal Pendaftaranya, Cek Sebelum Daftar! 0
- Mau Kuliah PTN Top di Bogor? Cek 10 Jurusan Terketat IPB di SNBP 2025 Berikut Ini0
- FAST Tel-U Dukung Astacita Pendidikan Tinggi0
- Fishipol Universitas Negeri Yogyakarta Luncurkan Buku Eulogi untuk Prof Supardi 0
PADA saat masih muda, YB
Mangunwijaya mendapat kesempatan untuk menjadi tentara. Ia sudah terlibat dalam
revolusi. Predikat sebagai pelajar diselingi keberanian dalam misi-misi
menegakkan kedaulatan Indonesia. Di godaan militer dan politik, ia melihat masa
depan diri dan Indonesia. Pemuda itu memilih kembali ke sekolah untuk belajar,
bukan berlanjut menjadi pemuda bersenjata dan berpakaian militer.
Tahun-tahun berlalu, ia bertumbuh menjadi pendakwah,
arsitek, dan pengarang. Pada masa Orde Baru, ia memahami Indonesia bukan negara
“selesai” dan berhasil mulia. Seribu perkara masih memberatkan perwujudan
impian-impian Indonesia berpijak 1945. Ia ingin turut memberi pengisahan
Indonesia agar sejarah teringat dan masa depan terpikirkan.
Suguhan dua novel berjudul Burung-Burung Manyar dan Burung-Burung
Rantau membuktikan kesungguhan mengartikan Indonesia. Ia tak melupakan masa
lalu. Dua novel merekam sosok dan pemaknaan militer di Indonesia, sejak masa
kolonial sampai Orde Baru. Pengarang biasa dipanggil Romo Mangun itu
menghadirkan tentara dalam novel untuk mengingatkan: sejarah Indonesia dalam
arus (pemaknaan) militer dan berkembang makin menguat saat Orde Baru.
Siasat bercerita dan pengajuan pendapat mengenai tentara
oleh Romo Mangun berbeda dengan cerita-cerita gubahan Pramoedya Ananta Toer. Di
arus biografi, Pram terbiasa berhadapan dengan tentara atau “nalar” militer. Ia
makin paham nasib Indonesia saat melakukan kerja dokumentasi dan pengisahan
tentara dalam babak-babak sejarah Indonesia. Di buku berjudul Nyanyi Sunyi
Seorang Bisu, kita mengetahui Pram sering bermasalah dengan tentara. Ia
berhak memberi tanda seru atas militerisme dan pembesaran kuasa militer di
Indonesia masa Orde Baru.
Di kubu berbeda, imajinasi tentara diperoleh pembaca melalui
novel berjudul Ronggeng Dukuh Paruk gubahan Ahmad Tohari. Ia tak sekadar
mengisahkan ronggeng. Tokoh tentara dihadirkan berkaitan malapetaka 1965 dan
prolog penciptaan rezim Orde Baru. Tentara dalam jalinan politik, identitas,
asmara, keamanan, dan lain-lain. Pembaca telanjur mengingat ronggeng ketimbang
mau memasalahkan tentara.
Tiga pengarang besar itu teringat saat kita berada dalam
keributan mengenai peran tentara dalam politik dan bisnis. Debat-debat sengit
terbaca di media sosial. Berita-berita memuat penjelasan para narasumber
menimbulkan bingung dan ruwet. Publik telanjur membuat tuduhan-tuduhan besar.
Kliping-kliping masa Orde Baru dibuka kembali untuk mengingatkan nasib
Indonesia jika terlalu diperintah oleh para tentara.
Kliping tak selalu berita atau opini. Kita membuka album
kliping masa lalu agar ingatan-ingatan tetap terjaga. Kliping-kliping pun bisa
meenjadi rujuan perbandingan agar usaha-usaha mendadak dan tergesa oleh
pelbagai pihak dalam mengurusi undang-undang bertajuk TNI mendapat perhatian
serius dan beralas argumentasi.
Kini, kita memilih acuan ingatan itu puisi. Pada 1 Oktober
1995, KH A Mustofa Bisri (Gus Mus) menggubah puisi berjudul “Abriku”. Pada masa
lalu, orang-orang mengerti ABRI itu Angkatan Bersenjata Republik Indonesia.
Sebutan mentereng meski orang-orang mudah mengucap tentara. Di pihak berbeda,
sebutan-sebutan lain bermunculan: prajurit dan serdadu. Gus Mus berani memberi
peringatan saat Indonesia dikuasai presiden beridentitas militer: Soeharto.
Puisi di hadapan lakon para tentara berpolitik.
Kita membaca berkesadaran masa Orde Baru: Abriku bukanlah
pengawal/ para preman berdasi/ yang pinter berkolusi. Gus Mus paham jika
tentara memiliki “pekerjaan lain” berkaitan kecurangan pihak-pihak dalam
menunaikan amanah politik tapi tergiur duit. Tentara dalam godaan permainan
kekuasaan bergelimang uang. Seruan penuh keberanian: Abriku bukanlah raksasa
bermuka ganda/ yang menyembunyikan muslihat-muslihat/ dalam setiap situasi yang
berbeda. Kita mengerti Gus Mus tak cuma membuat larik-larik dalam puisi. Ia
mengerti risiko Indonesia bila terlalu diurusi tentara.
Gus Mus tentu tak selesai dengan peringatan. Ia membuat
bait-bait mengandung pujian dan pengharapan: Abriku adalah/ senjata kaum
lemah yang menuntut keadilan/ yang menghantam kezaliman tanpa sungkan// Abriku
adalah/ saputangan kasih penyeka airmata/ pengusap peluh para pekerja// Abriku
adalah matahari yang apabila/ tidak menembakkan cahayanya/ maka kegelapan pun
akan menyapu semesta.
Kita pastikan puisi itu tidak dibacakan atau teringat oleh
orang-orang penting sedang rapat di hotel. Mereka sedang memikirkan nasib
tentara atau TNI: mengharuskan “mengubah” undang-undang. Urusan mereka bukan
menafsir puisi gubahan Gus Mus atau memerlukan khatam novel-novel persembahan
Romo Mangun, Pram, dan Ahmad Tohari.
Pengisahan tentara di Indonesia sering memiliki latar 1965
dan 1998. Ribuan puisi sudah ditulis dan diterbitkan. Ratusan cerita pendek
tersaji di koran dan majalah. Puluhan novel menjadi bacaan mengharukan dan
menguak marah. Kita memiliki waktu senggang atau mau memikirkan Indonesia bisa
membaca lagi teks-teks sastra untuk menggenapi kemunculan berita-berita bertema
tentara. Kita di hadapan teks-teks sastra berharap makin mengerti tentara di
Indonesia, dari masa ke masa. Begitu.
