Bercerita Tentara

By PorosBumi 25 Mar 2025, 06:04:41 WIB Tilikan
Bercerita Tentara

Bandung Mawardi

Tukang kliping, bapak rumah tangga

 

Baca Lainnya :

PADA saat masih muda, YB Mangunwijaya mendapat kesempatan untuk menjadi tentara. Ia sudah terlibat dalam revolusi. Predikat sebagai pelajar diselingi keberanian dalam misi-misi menegakkan kedaulatan Indonesia. Di godaan militer dan politik, ia melihat masa depan diri dan Indonesia. Pemuda itu memilih kembali ke sekolah untuk belajar, bukan berlanjut menjadi pemuda bersenjata dan berpakaian militer.

Tahun-tahun berlalu, ia bertumbuh menjadi pendakwah, arsitek, dan pengarang. Pada masa Orde Baru, ia memahami Indonesia bukan negara “selesai” dan berhasil mulia. Seribu perkara masih memberatkan perwujudan impian-impian Indonesia berpijak 1945. Ia ingin turut memberi pengisahan Indonesia agar sejarah teringat dan masa depan terpikirkan.

Suguhan dua novel berjudul Burung-Burung Manyar dan Burung-Burung Rantau membuktikan kesungguhan mengartikan Indonesia. Ia tak melupakan masa lalu. Dua novel merekam sosok dan pemaknaan militer di Indonesia, sejak masa kolonial sampai Orde Baru. Pengarang biasa dipanggil Romo Mangun itu menghadirkan tentara dalam novel untuk mengingatkan: sejarah Indonesia dalam arus (pemaknaan) militer dan berkembang makin menguat saat Orde Baru.

Siasat bercerita dan pengajuan pendapat mengenai tentara oleh Romo Mangun berbeda dengan cerita-cerita gubahan Pramoedya Ananta Toer. Di arus biografi, Pram terbiasa berhadapan dengan tentara atau “nalar” militer. Ia makin paham nasib Indonesia saat melakukan kerja dokumentasi dan pengisahan tentara dalam babak-babak sejarah Indonesia. Di buku berjudul Nyanyi Sunyi Seorang Bisu, kita mengetahui Pram sering bermasalah dengan tentara. Ia berhak memberi tanda seru atas militerisme dan pembesaran kuasa militer di Indonesia masa Orde Baru.

Di kubu berbeda, imajinasi tentara diperoleh pembaca melalui novel berjudul Ronggeng Dukuh Paruk gubahan Ahmad Tohari. Ia tak sekadar mengisahkan ronggeng. Tokoh tentara dihadirkan berkaitan malapetaka 1965 dan prolog penciptaan rezim Orde Baru. Tentara dalam jalinan politik, identitas, asmara, keamanan, dan lain-lain. Pembaca telanjur mengingat ronggeng ketimbang mau memasalahkan tentara.

Tiga pengarang besar itu teringat saat kita berada dalam keributan mengenai peran tentara dalam politik dan bisnis. Debat-debat sengit terbaca di media sosial. Berita-berita memuat penjelasan para narasumber menimbulkan bingung dan ruwet. Publik telanjur membuat tuduhan-tuduhan besar. Kliping-kliping masa Orde Baru dibuka kembali untuk mengingatkan nasib Indonesia jika terlalu diperintah oleh para tentara.

Kliping tak selalu berita atau opini. Kita membuka album kliping masa lalu agar ingatan-ingatan tetap terjaga. Kliping-kliping pun bisa meenjadi rujuan perbandingan agar usaha-usaha mendadak dan tergesa oleh pelbagai pihak dalam mengurusi undang-undang bertajuk TNI mendapat perhatian serius dan beralas argumentasi.

Kini, kita memilih acuan ingatan itu puisi. Pada 1 Oktober 1995, KH A Mustofa Bisri (Gus Mus) menggubah puisi berjudul “Abriku”. Pada masa lalu, orang-orang mengerti ABRI itu Angkatan Bersenjata Republik Indonesia. Sebutan mentereng meski orang-orang mudah mengucap tentara. Di pihak berbeda, sebutan-sebutan lain bermunculan: prajurit dan serdadu. Gus Mus berani memberi peringatan saat Indonesia dikuasai presiden beridentitas militer: Soeharto. Puisi di hadapan lakon para tentara berpolitik.

Kita membaca berkesadaran masa Orde Baru: Abriku bukanlah pengawal/ para preman berdasi/ yang pinter berkolusi. Gus Mus paham jika tentara memiliki “pekerjaan lain” berkaitan kecurangan pihak-pihak dalam menunaikan amanah politik tapi tergiur duit. Tentara dalam godaan permainan kekuasaan bergelimang uang. Seruan penuh keberanian: Abriku bukanlah raksasa bermuka ganda/ yang menyembunyikan muslihat-muslihat/ dalam setiap situasi yang berbeda. Kita mengerti Gus Mus tak cuma membuat larik-larik dalam puisi. Ia mengerti risiko Indonesia bila terlalu diurusi tentara.

Gus Mus tentu tak selesai dengan peringatan. Ia membuat bait-bait mengandung pujian dan pengharapan: Abriku adalah/ senjata kaum lemah yang menuntut keadilan/ yang menghantam kezaliman tanpa sungkan// Abriku adalah/ saputangan kasih penyeka airmata/ pengusap peluh para pekerja// Abriku adalah matahari yang apabila/ tidak menembakkan cahayanya/ maka kegelapan pun akan menyapu semesta.

Kita pastikan puisi itu tidak dibacakan atau teringat oleh orang-orang penting sedang rapat di hotel. Mereka sedang memikirkan nasib tentara atau TNI: mengharuskan “mengubah” undang-undang. Urusan mereka bukan menafsir puisi gubahan Gus Mus atau memerlukan khatam novel-novel persembahan Romo Mangun, Pram, dan Ahmad Tohari.

Pengisahan tentara di Indonesia sering memiliki latar 1965 dan 1998. Ribuan puisi sudah ditulis dan diterbitkan. Ratusan cerita pendek tersaji di koran dan majalah. Puluhan novel menjadi bacaan mengharukan dan menguak marah. Kita memiliki waktu senggang atau mau memikirkan Indonesia bisa membaca lagi teks-teks sastra untuk menggenapi kemunculan berita-berita bertema tentara. Kita di hadapan teks-teks sastra berharap makin mengerti tentara di Indonesia, dari masa ke masa. Begitu.




Write a Facebook Comment

Tuliskan Komentar anda dari account Facebook

View all comments

Write a comment