- Perry Warjiyo Dkk Tahan BI Rate di 4,75 Persen
- OJK Cap Dormant Bila Rekening Tak Aktif Lebih 1800 Hari
- Genjot Nilai Tambah dan Manfaat, MIND ID Perkuat Tata Kelola Produksi dan Penjualan
- Bobibos dari Jerami: Inovasi atau Ilusi Energi?
- Indonesia Belum Layak Jual Karbon, Jika Belum Cukup Berkomitmen Menurunkan Emisi
- Romantisme Kedatangan Queen Maxima: N4APS, Masa Depan Seni & Identitas Budaya melalui Art Blockchain
- Perkuat Ketahanan Energi, Tambahan Produksi Gas Medco dari Sumur Suban Jauh Lampaui Target
- Negara Berkembang Butuh USD1,4 Triliun Tekan Karbon, Negara Maju Hanya Janjikan USD300 Miliar
- BI Laporkan Utang Indonesia Menyusut 0,6% Pada Triwulan III 2025
- Pelaku Pasar Yakin Bank Indonesia Pangkas Suku Bunga Lagi
Indonesia Belum Layak Jual Karbon, Jika Belum Cukup Berkomitmen Menurunkan Emisi
.jpg)
JAKARTA — Ambisi Indonesia untuk
menjadi pemain utama dalam perdagangan karbon tampaknya perlu ditinjau ulang.
Di tengah sorotan dunia pada Konferensi Iklim COP30 di Belem, Brasil, kalangan
masyarakat sipil mengingatkan bahwa Indonesia belum layak menjual karbon di
bawah Article 6 Perjanjian Paris.
Direktur Eksekutif Madani Berkelanjutan, Nadia Hadad,
menegaskan bahwa sebelum menjual kredit karbon ke luar negeri, pemerintah harus
memastikan pencapaian target penurunan emisi nasional (NDC) terlebih dahulu.
“Kalau target nasional belum tercapai, menjual kredit karbon ke luar negeri
justru bisa membuat kita kehilangan kesempatan untuk menurunkan emisi sendiri,”
ujarnya, Senin (13/11/2025).
Baca Lainnya :
- Romantisme Kedatangan Queen Maxima: N4APS, Masa Depan Seni & Identitas Budaya melalui Art Blockchain0
- Negara Berkembang Butuh USD1,4 Triliun Tekan Karbon, Negara Maju Hanya Janjikan USD300 Miliar0
- Resmikan Cold Stroge Berkapasitas 30 Ribu Ton, BEEF Kian Nyata Sokong Program MBG0
- Aktivis Ragu Soal Komitmen Pengakuan Hutan Adat 1,4 Juta Ha 0
- IDXCarbon Jajakan Unit Karbon 90 Juta Ton Co2e Hingga Ke Brazil 0
Sumber: Indonesia First Biennial Transparancy
Report (2024), halaman 35
Nadia mengutip Indonesia First Biennial Transparency Report
(2024) yang diterbitkan pada 6 Mei 2025. Laporan itu menunjukkan bahwa capaian
penurunan emisi Indonesia pada 2019 masih berada di atas target penurunan emisi
yang seharusnya (Countermeasure 1).
“Emisi sempat sejajar dengan target (Countermeasure 2) pada
tahun 2020 saat pandemi COVID-19, namun kembali meningkat setelahnya. Artinya,
kita bahkan belum sepenuhnya berada di jalur yang tepat dalam penurunan emisi,”
kata Nadia.
Sementara itu, di arena COP30, pemerintah justru tampil
percaya diri. Pada hari pembukaan konferensi, Paviliun Indonesia menggelar
forum Sellers Meet Buyers yang mempertemukan calon penjual dan pembeli kredit
karbon internasional. Dalam forum tersebut, pemerintah memperkenalkan 44 proyek
karbon dengan potensi total sekitar 90 juta ton setara karbondioksida (CO₂e).
“COP30 adalah momentum pembuktian bahwa kredit karbon berintegritas
menghadirkan nilai ganda—menurunkan emisi dan mendorong ekonomi,” ujar Menteri
Lingkungan Hidup Hanif Faisol Nurofiq saat itu. “Dengan dukungan sektor
perbankan dan dunia usaha, Indonesia siap memimpin pasar dengan standar tinggi
serta manfaat yang inklusif.”
Namun menurut Nadia, perdagangan karbon tidak boleh
dijadikan jalan pintas. Article 6.1 Perjanjian Paris dengan jelas menyatakan
bahwa mekanisme kerja sama internasional ini seharusnya digunakan untuk
meningkatkan ambisi iklim, bukan sekadar mencari efisiensi biaya atau
melonggarkan target nasional. Prinsip ini sejalan dengan Oxford Principles for
Responsible Engagement with Article 6, yang menegaskan bahwa negara hanya layak
terlibat jika telah berada di jalur net-zero berbasis sains.
Jika kondisi NDC Indonesia masih jauh dari sains iklim,
penjualan kredit karbon justru berisiko menjadi bentuk greenwashing
internasional—di mana negara maju membeli karbon murah tanpa benar-benar
meningkatkan ambisi global.
Penilaian serupa juga datang dari Climate Action Tracker
(CAT) yang menilai komitmen iklim Indonesia masih dalam kategori critically
insufficient untuk menjaga pemanasan global di bawah 1,5°C. Dengan target saat
ini, kontribusi Indonesia bahkan mengarah pada scenario pemanasan hingga 4°C.
Iqbal Damanik dari Greenpeace menilai situasi ini
mencerminkan paradoks. “Pasar karbon terus dipromosikan, sementara di dalam
negeri kita masih berkutat dengan masalah FPIC (Free, Prior, and Informed
Consent), hak masyarakat adat, deforestasi, dan ketergantungan energi fosil,”
ujarnya.
“Selama NDC kita masih critically insufficient, Article 6
hanya menutupi kekurangan kebijakan domestik (implementation gap), bukan
meningkatkan ambisi iklim (ambition gap).”
Selain itu, ketimpangan struktural antara negara penjual dan
pembeli juga menjadi persoalan serius. Negara maju memiliki sumber daya dan
kapasitas teknis jauh lebih besar, sementara negara berkembang seperti
Indonesia berada dalam posisi tawar yang lemah.
Kondisi ini berpotensi menimbulkan “race to the
bottom”—negara berlomba menawarkan harga karbon serendah mungkin untuk menarik
pembeli, dengan risiko mengorbankan standar sosial dan lingkungan. Akibatnya,
masyarakat adat dan lokal yang menjaga ekosistem justru terpinggirkan.
Apalagi, hingga kini Rancangan Undang-Undang (RUU)
Masyarakat Adat belum juga disahkan. Padahal, masyarakat adat adalah garda
terdepan dalam menjaga hutan dan ekosistem penyerap karbon. “Pemerintah
terlihat lebih sibuk menyiapkan mekanisme perdagangan karbon dan NEK (Nilai Ekonomi
Karbon) yang katanya inklusif, daripada menuntaskan perlindungan hukum bagi masyarakat
adat yang selama ini menjaga karbonnya,” kata Iqbal.
Ketiadaan payung hukum ini membuat posisi masyarakat adat
tetap rentan—baik terhadap perampasan wilayah, maupun terhadap proyek karbon
yang bisa tumpang tindih dengan hak kelola tradisional mereka. Pemerintah
Indonesia memang telah menyiapkan perangkat regulasi untuk mendukung perdagangan
karbon, termasuk Perpres No. 110/2023 tentang Nilai Ekonomi Karbon dan system registri
nasional karbon (SRN-PPI).
Wakil delegasi Indonesia di COP30, Eddy Soeparno, menilai
sistem pasar karbon Indonesia “sudah sangat aplikatif” dan siap menarik
investor internasional. Namun, banyak tantangan mendasar yang belum
terselesaikan—mulai dari lemahnya koordinasi antar instansi, belum kuatnya
integritas data emisi, hingga minimnya pelibatan masyarakat adat dan lokal.
Di sisi lain, Nadia mengingatkan bahwa “karbon berkualitas
tinggi” juga harus memenuhi kriteria seperti additionality, permanence, dapat
diverifikasi, bebas dari perhitungan ganda (double counting) dan kebocoran
(leakage), serta transparan dan akuntabel.
“Proses untuk memastikan semua kriteria ini tidak sederhana
dan memakan waktu Panjang. Jadi, tidak mudah bagi kita untuk mengklaim bahwa
karbon Indonesia sudah berkualitas tinggi,” ujarnya.
Kekhawatiran lain datang dari munculnya pasar karbon abu-abu
yang rawan dimasuki makelar, rent-seeker, dan korporasi besar yang hanya
mengejar keuntungan finansial. Lemahnya pengawasan serta minimnya pembagian
manfaat bagi komunitas penjaga hutan bisa menjadikan mekanisme ini jebakan
baru, bukan solusi iklim.
Pada akhirnya, sesuai semangat Article 6 Perjanjian Paris,
kerja sama internasional hanya layak dilakukan jika benar-benar bertujuan
meningkatkan ambisi iklim dan menjaga integritas lingkungan, bukan sekadar
mengejar keuntungan ekonomi.
Indonesia perlu memperkuat target iklim nasional agar
sejalan dengan jalur 1,5°C, mempercepat transisi energi bersih, menghentikan
deforestasi, serta memastikan hak masyarakat adat dan lokal diakui dan
dilindungi. Menjual karbon sebelum mencapai ambisi iklim nasional bukan hanya
langkah prematur, tetapi juga berisiko melemahkan komitmen global menuju
keadilan iklim. (rel)
.jpg)

.jpg)



.jpg)
.jpg)
.jpg)

.jpg)

