Indonesia dan Makan(An)

By PorosBumi 19 Feb 2025, 09:30:15 WIB Tilikan
Indonesia dan Makan(An)

Bandung Mawardi

Tukang kliping, bapak rumah tangga

 

Baca Lainnya :

PADA masa pendudukan Jepang (1942-1945), masalah terbesar: makan. Orang-orang kesulitan mendapat makanan. Lapar menjadi lakon terburuk. Makan itu peristiwa dambaan. Sulit mencari makanan mengakibatkan derita bercampur marah, kecewa, dendam, pasrah, dan murung. Tahun-tahun lapar itu mengukuhkan kemauan besar menegakkan revolusi. Keberanian dalam perlawanan mendapat pembenaran lapar dan impian merdeka.

Di novel berjudul Larasati gubahan Pramoedya Ananta Toer, kita menemukan percakapan-percakapan mengenai lapar dan revolusi. Masa lalu dihadirkan lagi agar pembaca mengerti hak untuk makan dan kedaulatan. Sejarah berkaitan makan memunculkan para pengkhianat, oportunis, dan penjilat. Makan terdapat dalam kegagalan atau keberhasilan revolusi.

Pada masa berbeda, Pram mengajukan novel berjudul Gadis Pantai agar pembaca melihat ulang akhir abad XIX dan awal abad XX mengenai feodalisme dan kecamuk modernitas. Di situ, ada masalah makanan (modern) dan kebingungan dalam menentukan sikap atas jeratan hidup. Perubahan-perubahan terjadi dipengaruhi makanan dan kesanggupan makan saat mengetahui “kutukan” kemiskinan dan pameran keserakahan. Pram sedang membentuk alur sejarah di Indonesia itu disahkan makan(an).

Penulisan novel-novel mengandung ingatan-ingatan sejarah disempurnakan dengan penulisan Nyanyi Sunyi Seorang Bisu. Pengalaman berada di Buru mengabarkan derita-derita bertajuk makan. Kita membaca biografi Pram dalam alur sejarah berlatar Orde Baru dipicu malapetaka 1965. Hukuman ditanggungkan di Buru terbukti dalam masalah makan.

Pram mengingat: “Peraturan baru datang; bukan lagi 600 gram beras tapi 500 gram. Yang seratus untuk tabungan! Sejak itu yang 100 gram bukan saja tidak kunjung muncul, tanpa pengumuman yang 500 gram pun beringsut-ingsut mengempes. Tembakau hilang. Gula hilang. Yang agak bertahan adalah ikan asin itupun sudah pahit seperti jamu. Mau tak mau aku teringat pada jatah makan di kapal, yang mengangkut kami kemari. Pada mulanya cukup baik dengan daging atau telur atau ikan dan sambal cair. Setelah empat hari berlayar tinggal nasi yang kurang dan air cabe.” Ia mengerti rezim Orde Baru memberi hukuman berat melalui keterbatasan makanan atau ketiadaan makanan.

Kini, Indonesia sedang bertema makan (bergizi) berbarengan kita mengenang Pramoedya Anantar Toer (1925-2006). Penguasa mendefinisikan makan. Peristiwa akbar makan digelar di desa dan kota. Indonesia harus makan! Indonesia tak boleh lapar! Indonesia sadar gizi! Seruan-seruan itu membentuk angan masa depan Indonesia: kemakmuran, kebahagiaan, dan kecerdasan.

Pram justru mengalami seribu masalah tentang makan, sejak masa kolonial sampai Indonesia dalam drama berjudul Orde Baru. Di teks-teks sastra gubahan Pram, kita bakal mudah menemukan masalah-masalah makan(an) dengan perbedaan latar waktu dan tempat. Ia seperti sedang melakukan pendokumentasian makan(an) di Indonesia dan nasib manusia tak selalu beruntung.

Di buku Nyanyi Sunyi Seorang Bisu, kita diajak Pram belajar lagi masalah hidup dan jawaban-jawaban untuk bisa makan. Biografi itu berhak masuk dalam arus sejarah. Pada masa hidup di Jakarta, Pram menanggung kehadiran adik-adik dari Blora. Deru revolusi di Indonesia memuat masalah Pram bersaudara.

Pram mengatakan kepada adik-adik: “Kalian di sini hanya dapat makan dan atap. Uang sekolah, keperluan sekolah dan pakaian, kalian harus belajar berusaha sendiri.” Kita diingatkan kerja keras, keberanian, dan sadar risiko bagi orang-orang melakoni hidup setelah Perang Dunia II dan gejolak revolusi.

Kemauan membaca kembali sekian cerita memudahkan kita mengetahui sejarah Indonesia dipengaruhi makan(an). Pram tampil sebagai pencerita. Ia pun mengisahkan diri dalam masa-masa berbeda saat makan itu pernah memunculkan tuduhan: “mengarang demi sesuap nasi”. Pram mengaku biasa mengalami masa sulit untuk bisa makan.

Di tatapan mata, Indonesia mencipta “drama” kelaparan pada masa kekuasaan Soekarno dan “bualan” swasembada pangan di naungan kekuasan Soeharto. Pram melalui tokoh-tokoh dalam cerita bisa menjadi referensi makan(an) menguak sejarah Indonesia. Kini, album sejarah itu mungkin tak terbaca saat negara sibuk membesarkan masalah makan (bergizi) dibingungkan anggaran dan jaminan mutu.

Di Star Weekly, 12 Januari 1957, Pram mengingatkan kondisi ditanggungkan para pengarang Indonesia. Mereka menulis dan berbagi makna melalui puisi, cerita pendek, dan novel. Kesanggupan menceritakan beragam tema tetap menuntut jawaban: makan. Mereka ingin mendapat honor untuk kebutuhan-kebutuhan hidup. Pram memberi sindiran: “honor jang didapatkan hanja tjukup untuk makan belaka.” Di kalangan berbeda, makan itu mencipta keberanian menunaikan kerja dan ketabahan tak berujung.

Pram (1950) melalui cerita “Hidup jang Tak Diharapkan” membuka lembaran masa silam Indonesia. Ia bercerita: “Kemudian daerah kami jang tadinja kaja dinamai dengan jang termiskin di tanah Djawa. Dan, kemiskinan itu mentjapai puntjaknja: Djepang datang… Tapi orang beranak dan beranak djuga. Dan, anak-anak jang dilahirkan itu hidup djuga, dan mereka menghendaki makan djuga.” Pada masa lalu, urusan terpenting tersedia makanan, belum berdebat masalah kandungan gizi.

Kemampuan menulis cerita-cerita mengandung makan(an) membuktikan kepekaan Pram dalam menilik feodalisme, modernitas, dan revolusi. Makan selalu masalah meski mendapat penjelasan atau jawaban samar. Buku-buku Pram bisa menjadi rujukan bagi kita mengadakan album makan(an) dalam sejarah Indonesia. Album terbaca sambil mengingat pelbagai kebijakan diterapkan pada masa kolonial Belanda, pendudukan Jepang, kekuasaan Soekarno, dan pembesaran Orde Baru. Begitu. 




Write a Facebook Comment

Tuliskan Komentar anda dari account Facebook

View all comments

Write a comment