- Terobos Genangan Banjir, Prabowo Tegaskan Pemerintah Senantiasa Hadir dan Membantu Masyarakat
- Mudik Lebaran PT KAI Sediakan 4,5 Juta Tiket, Sebanyak 2,7 Juta Kelas Ekonomi Tarif Terjangkau
- Mengangkat Lerak dari Tanah Cepu ke Panggung Global, Perkuat Ekonomi Petani Melalui Alira Alura
- KKP Luncurkan Dua Buku Kehidupan Masyarakat Pesisir
- KKP Genjot Produksi Perikanan Budi Daya Penuhi Kebutuhan Ramadan hingga Lebaran
- Kementerian PU Gerak Cepat Tangani Jalan Amblas di Lintas Jambi-Sumbar
- Percepat Swasembada Pangan, Mentan Amran Bidik Sumsel Jadi Tiga Besar Produsen Beras Nasional
- Banjir Jabodetabek Bukti Nyata Rentannya Indonesia dalam Ancaman Krisis Iklim
- Teknologi China Mencengkram Dunia, Kuasai 37 dari 44 Sektor Sains
- Keterlibatan Masyarakat Diperlukan dalam Membangun Lintasan Ikan
Indonesia dan Makan(An)

Bandung Mawardi
Tukang kliping, bapak rumah tangga
Baca Lainnya :
- Pengukuhan 2 Guru Besar UPN Veteran Jakarta, Prof Anter Venus: Komunikasi Berpusat pada Hati0
- Gaya Asyik Budiman Sudjatmiko Ngobrol Seru Dengan Wartawan Soal Pengentasan Kemiskinan di Indonesia0
- Libur Kecil Kaum Kusam, Hangat Reuni Pemuda RW 08, Petamburan, Jakarta di Cigamea Bogor0
- Warmindo Teman Setia Depok, Tempat Nongkrong Asyik Tidak Membuat Dompet Tipis0
- KEHATI dan Eyang Memet Kembali Tanam 100 Pohon Endemik Jawa Barat0
PADA masa pendudukan Jepang
(1942-1945), masalah terbesar: makan. Orang-orang kesulitan mendapat makanan.
Lapar menjadi lakon terburuk. Makan itu peristiwa dambaan. Sulit mencari
makanan mengakibatkan derita bercampur marah, kecewa, dendam, pasrah, dan murung.
Tahun-tahun lapar itu mengukuhkan kemauan besar menegakkan revolusi. Keberanian
dalam perlawanan mendapat pembenaran lapar dan impian merdeka.
Di novel berjudul Larasati gubahan Pramoedya Ananta
Toer, kita menemukan percakapan-percakapan mengenai lapar dan revolusi. Masa
lalu dihadirkan lagi agar pembaca mengerti hak untuk makan dan kedaulatan.
Sejarah berkaitan makan memunculkan para pengkhianat, oportunis, dan penjilat.
Makan terdapat dalam kegagalan atau keberhasilan revolusi.
Pada masa berbeda, Pram mengajukan novel berjudul Gadis
Pantai agar pembaca melihat ulang akhir abad XIX dan awal abad XX mengenai
feodalisme dan kecamuk modernitas. Di situ, ada masalah makanan (modern) dan
kebingungan dalam menentukan sikap atas jeratan hidup. Perubahan-perubahan
terjadi dipengaruhi makanan dan kesanggupan makan saat mengetahui “kutukan”
kemiskinan dan pameran keserakahan. Pram sedang membentuk alur sejarah di
Indonesia itu disahkan makan(an).
Penulisan novel-novel mengandung ingatan-ingatan sejarah
disempurnakan dengan penulisan Nyanyi Sunyi Seorang Bisu. Pengalaman
berada di Buru mengabarkan derita-derita bertajuk makan. Kita membaca biografi
Pram dalam alur sejarah berlatar Orde Baru dipicu malapetaka 1965. Hukuman
ditanggungkan di Buru terbukti dalam masalah makan.
Pram mengingat: “Peraturan baru datang; bukan lagi 600 gram
beras tapi 500 gram. Yang seratus untuk tabungan! Sejak itu yang 100 gram bukan
saja tidak kunjung muncul, tanpa pengumuman yang 500 gram pun beringsut-ingsut
mengempes. Tembakau hilang. Gula hilang. Yang agak bertahan adalah ikan asin
itupun sudah pahit seperti jamu. Mau tak mau aku teringat pada jatah makan di
kapal, yang mengangkut kami kemari. Pada mulanya cukup baik dengan daging atau
telur atau ikan dan sambal cair. Setelah empat hari berlayar tinggal nasi yang
kurang dan air cabe.” Ia mengerti rezim Orde Baru memberi hukuman berat melalui
keterbatasan makanan atau ketiadaan makanan.
Kini, Indonesia sedang bertema makan (bergizi) berbarengan
kita mengenang Pramoedya Anantar Toer (1925-2006). Penguasa mendefinisikan
makan. Peristiwa akbar makan digelar di desa dan kota. Indonesia harus makan!
Indonesia tak boleh lapar! Indonesia sadar gizi! Seruan-seruan itu membentuk
angan masa depan Indonesia: kemakmuran, kebahagiaan, dan kecerdasan.
Pram justru mengalami seribu masalah tentang makan, sejak
masa kolonial sampai Indonesia dalam drama berjudul Orde Baru. Di teks-teks
sastra gubahan Pram, kita bakal mudah menemukan masalah-masalah makan(an)
dengan perbedaan latar waktu dan tempat. Ia seperti sedang melakukan
pendokumentasian makan(an) di Indonesia dan nasib manusia tak selalu beruntung.
Di buku Nyanyi Sunyi Seorang Bisu, kita diajak Pram
belajar lagi masalah hidup dan jawaban-jawaban untuk bisa makan. Biografi itu
berhak masuk dalam arus sejarah. Pada masa hidup di Jakarta, Pram menanggung
kehadiran adik-adik dari Blora. Deru revolusi di Indonesia memuat masalah Pram
bersaudara.
Pram mengatakan kepada adik-adik: “Kalian di sini hanya
dapat makan dan atap. Uang sekolah, keperluan sekolah dan pakaian, kalian harus
belajar berusaha sendiri.” Kita diingatkan kerja keras, keberanian, dan sadar
risiko bagi orang-orang melakoni hidup setelah Perang Dunia II dan gejolak
revolusi.
Kemauan membaca kembali sekian cerita memudahkan kita
mengetahui sejarah Indonesia dipengaruhi makan(an). Pram tampil sebagai
pencerita. Ia pun mengisahkan diri dalam masa-masa berbeda saat makan itu
pernah memunculkan tuduhan: “mengarang demi sesuap nasi”. Pram mengaku biasa
mengalami masa sulit untuk bisa makan.
Di tatapan mata, Indonesia mencipta “drama” kelaparan pada
masa kekuasaan Soekarno dan “bualan” swasembada pangan di naungan kekuasan
Soeharto. Pram melalui tokoh-tokoh dalam cerita bisa menjadi referensi
makan(an) menguak sejarah Indonesia. Kini, album sejarah itu mungkin tak
terbaca saat negara sibuk membesarkan masalah makan (bergizi) dibingungkan
anggaran dan jaminan mutu.
Di Star Weekly, 12 Januari 1957, Pram mengingatkan
kondisi ditanggungkan para pengarang Indonesia. Mereka menulis dan berbagi
makna melalui puisi, cerita pendek, dan novel. Kesanggupan menceritakan beragam
tema tetap menuntut jawaban: makan. Mereka ingin mendapat honor untuk
kebutuhan-kebutuhan hidup. Pram memberi sindiran: “honor jang didapatkan hanja
tjukup untuk makan belaka.” Di kalangan berbeda, makan itu mencipta keberanian
menunaikan kerja dan ketabahan tak berujung.
Pram (1950) melalui cerita “Hidup jang Tak Diharapkan”
membuka lembaran masa silam Indonesia. Ia bercerita: “Kemudian daerah kami jang
tadinja kaja dinamai dengan jang termiskin di tanah Djawa. Dan, kemiskinan itu
mentjapai puntjaknja: Djepang datang… Tapi orang beranak dan beranak djuga.
Dan, anak-anak jang dilahirkan itu hidup djuga, dan mereka menghendaki makan
djuga.” Pada masa lalu, urusan terpenting tersedia makanan, belum berdebat
masalah kandungan gizi.
Kemampuan menulis cerita-cerita mengandung makan(an) membuktikan kepekaan Pram dalam menilik feodalisme, modernitas, dan revolusi. Makan selalu masalah meski mendapat penjelasan atau jawaban samar. Buku-buku Pram bisa menjadi rujukan bagi kita mengadakan album makan(an) dalam sejarah Indonesia. Album terbaca sambil mengingat pelbagai kebijakan diterapkan pada masa kolonial Belanda, pendudukan Jepang, kekuasaan Soekarno, dan pembesaran Orde Baru. Begitu.
