Maaf Itu...

By PorosBumi 09 Apr 2025, 05:59:55 WIB Tilikan
Maaf Itu...

Bandung Mawardi

Tukang kliping, bapak rumah tangga

 

Baca Lainnya :

PADA saat Lebaran, orang-orang biasa bepergian ke tempat piknik, gedung bioskop, pusat perbelanjaan, atau pusat kuliner. Mereka bersuka cita. Ikhtiar mencari hiburan secara berjamaah mengabarkan harmonis, indah, dan gembira. Lebaran seolah mengarahkan orang-orang dalam peristiwa enteng tanpa kesibukan-kesibukan bikin pusing.

Lebaran itu cerita akbar bagi jutaan orang di seantero Indonesia. Kita mengandaikan ada satu orang menikmati Lebaran dengan membaca buku. Ia memilih sepi. Ia berlindung dari keramaian dan menghindari pesta konsumsi dalam jumlah besar.

Di hadapan buku, ia menjadi pembaca “berpahala” mumpung Lebaran. Kita mengartikan “pahala” itu pemerolehan makna-makna. Kesanggupan menjadi pembaca buku mengartikan kemauan merenung ketimbang terlibat dalam peristiwa-peristiwa klise.

Ia membaca novel berjudul Balada Rosid dan Delia (2010) gubahan Ben Sohib. Novel romantis meski mengandung sedih-sedih. Novel tak terlalu sulit dikhatamkan saat Lebarang berlimpah maaf. Pembaca menemukan masalah salah, sengketa, bimbang, jengkel, benci, dan pengharapan.

Di situ, ada persoalan meminta maaf dan memberi maaf. Novel cocok terbaca saat Lebaran. Rosid sering berselisih dengan bapak dipicu asmara. Rosid mencintai Delia tapi restu tak kunjung diberikan bapak. Kata dan sikap dua tokoh itu malah mengesankan pertentangan menimbulkan sakit hati, kangen, kedurhakaan, kasih, dan sangsi.

Novel mengenai asmara. Novel menguak konflik dalam keluarga. Di keramaian orang-orang mengartikan Lebaran, pilihan menjadi pembaca buku justru “menjerumuskan” dalam pemaknaan maaf. Novel menjadi pemicu memikirkan maaaf ketimbang pemborosan “mohon maaf lahir dan batin” di pelbagai tempat, sejak pagi sampai malam. Kata terlaris selama Lebaran memang “maaf”. Pembaca novel berhak menerima pengajaran maaf melalui Balada Rosid dan Delia.

Pengajaran itu bertambah kesan bila pembaca sambil mendengarkan lagu dibawakan Nora. Lagu kenangan berjudul “Di Persimpangan Dilema” itu mencakup masalah maaf dan doa. Di telinga, lagu itu lirih terdengar: “Aku tetap memaafkan dan berdoa kau kembali sebelum diri melangkah pergi.” Kekuatan memaafkan dipadukan dengan doa itu ketulusan. Kita berada dalam pemahaman manunggal, bukan dua hal terpisah: maaf dan doa.

Novel saja tak memadai dalam pemaknaan maaf. Novel telah rampung tapi pembaca menginginkan penjelasan maaf melampaui urusan asmara. Maaf terlalu penting dalam Lebaran tapi keberanian membuka buku-buku bertema Lebaran bukan pilihan jutaan orang.

Mereka memilih membuka kaleng roti, menikmati sepiring opor, merokok, atau minum sirup. Kesungguhan mengesahkan Lebaran dengan membaca buku-buku mudah mendapat “cibiran”. Di tatapan mata, pembaca buku mungkin angkuh, terasing, murung, atau melawan.

Orang merasa beruntung membaca buku berjudul Effective Apology garapan John Kador. Buku bertema besar maaf. Bacaan selaras bagi orang-orang mengalami Lebaran memiliki kebiasaan mengucap permohonan maaf atau mengedarkan tulisang tentang maaf melalui pesan di ponsel dan media sosial. Lebaran menjadi hari bergelimang maaf. Orang-orang menganggap wajar, tak gampang menimbulkan ajakan “berdialog” atau “berdebat” agar maaf tak sekadar kata terucap atau tertulis.

John Kador (2011) menjelaskan: “Permintaan maaf adalah perbuatan mengulurkan diri kita karena kita lebih mementingkan hubungan yang kita bina ketimbang kebutuhan untuk menjadi benar.” Ia tak terlalu merujuk kamus. Pembaca bakal tergoda membuka halaman demi halaman untuk memahami maaf.

Bacaan berasal dari negeri asing tapi sesuai saat Lebaran: “Permintaan maaf tulus tidak mencari pembenaran, membela diri, atau berusaha membuat kesalahan yang telah dilakukan tampak lebih ringan.” Salah tetap salah. Perkara mencipta damai, rukun, dan rekonsiliasi mengajak orang-orang dalam “kesepahaman” meminta dan memberi maaf.

Di Indonesia, usaha meminta maaf atau mengukuhkan maaf terjadi dengan kunjungan. Individu, keluarga, atau komunitas bergerak ke rumah-rumah bermisi pengakuan salah (sengaja atau tak sengaja) dan meminta maaf. Di percakapan rutin dan “baku”, pihak pemberi maaf justru melanjutkan pamrih mendoakan.

Lebaran di Indonesia mempertemukan “maaf” dan “doa”. Adegan salaman atau sungkem mengusung misi maaf terjadi sebentar. Orang-orang tak sempat bermain ingatan atau mengadakan pemaknaan bersama. Lebaran itu urusan “kecepatan” dan “keberuntungan” saat berkunjung menemui pihak-pihak dianggap pantas terhubung dalam selebrasi maaf.

Kehadiran buku John Kader memang tak dimaksudkan terbit dalam edisi Lebaran. Ia melakukan pengamatan di Barat mengenai perkembangan maaf berkaitan tata kehidupan global mudah berubah. Pengertian lama tentang bertemu untuk permintaan maaf mulai menjadi sejenis “tontonan” saat menimbulkan keramaian di media sosial.

John Kader membahasakan: “Perang maaf sedang digelar di ruang publik.” Kita mendingan mengikuti sodoran renungan: “Permintaan maaf memungkinkan kita untuk menyelesaikan ganjalan hati dan meredakan konflik tanpa menggunakan kekerasan atau balasa dendam.” Pengertian kadang samar saat “dipermainkan” di media sosial berisiko menghapus batas-batas urusan pribadi dan publik.

Buku “tepat” dibaca saat Lebaran sebagai lanjutan dari uraian-uraian John Kader disajikan oleh Afthonul Afif. Ia menulis buku berjudul Forgiving the Unforbivable: Menyembuhkan Luka, Memupuk Welas Asih (2019). Penjelasan penting: “Sebelum menjadi isu keilmuan yang semakin luas dikaji belakangan ini, pemaafan sebenarnya telah diterima sebagai salah satu ajaran terpenting dalam tradisi agama-agama besar (Yahudi, Kristen, Islam, Hindu, dan Buddha). Hal ini mengindikasikan bahwa pemaafan sebenarnya telah menjadi problem mendasar kehidupan yang senantiasa muncul dalam setiap periode peradaban manusia.”

Pada saat orang mengalami Lebaran dan berani membuka halaman-halaman buku Forgiving the Unforbivable bakal terangsang kesadaran memilih merenung ketimbang mengikuti nafsu makan, minum, piknik, dan tidur. Kalimat bisa dikutip saat Lebaran: “Permintaan maaf dan penyesalan ibarat obat dan dibutuhkan oleh batin yang menderita luka akibat sebuah pelanggaran.”

Lebaran mendingan menjadi pembaca buku-buku agar kemauan mengajukan permintaan maaf dan pemberian maaf tak sekadar “omong kosong” atau “sandiwara akbar”. Kita pun insaf jika menjadi pembaca buku saat Lebaran itu seperti “salah waktu” dan “salah tempat” jika mengikuti tradisi-tradisi “bergerak” dan “berkumpul” di seantero Indonesia. Begitu.




Write a Facebook Comment

Tuliskan Komentar anda dari account Facebook

View all comments

Write a comment