- AHY: Terminal Ferry International Gold Coast Untuk Memperkuat Konektivitas
- Petani Bahagia, Harga Gabah Rp6.500/Kg Dorong Produktivitas dan TIngkatkan Pendapatan
- Maaf Itu...
- Surplus Perdagangan Beruntun Dimotori Industri Agro dan Manufaktur
- Panen Raya Serentak di 14 Provinsi, Prabowo: Petani Produsen Pangan, Tanpa Pangan Tidak Ada NKRI
- Dampak Kebijakan Tarif Impor AS Terhadap Indonesia
- Ledakan Ekonomi Indonesia Menciptakan Peluang Baru bagi Profesional Lokal
- Cara Efektif Mengatasi Bau Tak Sedap dari Kotoran Kucing
- Masa Lalu: (Industri) Film dan Ketokohan
- The Dream Team Danantara
Maaf Itu...

Bandung Mawardi
Tukang kliping, bapak rumah tangga
Baca Lainnya :
- Cara Efektif Mengatasi Bau Tak Sedap dari Kotoran Kucing0
- Masa Lalu: (Industri) Film dan Ketokohan0
- 8 Tempat Menarik Penuh Aksi untuk Liburan Lebaran di Jawa Tengah0
- Masyarakat di 131 Daerah Ini Tak Lagi Khawatir Kekeringan Air0
- Ukiran Batu Berusia Lebih 9 Abad di Tebing Gunung Taishan0
PADA saat Lebaran, orang-orang biasa
bepergian ke tempat piknik, gedung bioskop, pusat perbelanjaan, atau pusat
kuliner. Mereka bersuka cita. Ikhtiar mencari hiburan secara berjamaah
mengabarkan harmonis, indah, dan gembira. Lebaran seolah mengarahkan orang-orang
dalam peristiwa enteng tanpa kesibukan-kesibukan bikin pusing.
Lebaran itu cerita akbar bagi jutaan orang di seantero
Indonesia. Kita mengandaikan ada satu orang menikmati Lebaran dengan membaca
buku. Ia memilih sepi. Ia berlindung dari keramaian dan menghindari pesta
konsumsi dalam jumlah besar.
Di hadapan buku, ia menjadi pembaca “berpahala” mumpung
Lebaran. Kita mengartikan “pahala” itu pemerolehan makna-makna. Kesanggupan
menjadi pembaca buku mengartikan kemauan merenung ketimbang terlibat dalam
peristiwa-peristiwa klise.
Ia membaca novel berjudul Balada Rosid dan Delia
(2010) gubahan Ben Sohib. Novel romantis meski mengandung sedih-sedih. Novel
tak terlalu sulit dikhatamkan saat Lebarang berlimpah maaf. Pembaca menemukan
masalah salah, sengketa, bimbang, jengkel, benci, dan pengharapan.
Di situ, ada persoalan meminta maaf dan memberi maaf. Novel
cocok terbaca saat Lebaran. Rosid sering berselisih dengan bapak dipicu asmara.
Rosid mencintai Delia tapi restu tak kunjung diberikan bapak. Kata dan sikap
dua tokoh itu malah mengesankan pertentangan menimbulkan sakit hati, kangen,
kedurhakaan, kasih, dan sangsi.
Novel mengenai asmara. Novel menguak konflik dalam keluarga.
Di keramaian orang-orang mengartikan Lebaran, pilihan menjadi pembaca buku
justru “menjerumuskan” dalam pemaknaan maaf. Novel menjadi pemicu memikirkan
maaaf ketimbang pemborosan “mohon maaf lahir dan batin” di pelbagai tempat,
sejak pagi sampai malam. Kata terlaris selama Lebaran memang “maaf”. Pembaca
novel berhak menerima pengajaran maaf melalui Balada Rosid dan Delia.
Pengajaran itu bertambah kesan bila pembaca sambil
mendengarkan lagu dibawakan Nora. Lagu kenangan berjudul “Di Persimpangan
Dilema” itu mencakup masalah maaf dan doa. Di telinga, lagu itu lirih
terdengar: “Aku tetap memaafkan dan berdoa kau kembali sebelum diri melangkah
pergi.” Kekuatan memaafkan dipadukan dengan doa itu ketulusan. Kita berada
dalam pemahaman manunggal, bukan dua hal terpisah: maaf dan doa.
Novel saja tak memadai dalam pemaknaan maaf. Novel telah
rampung tapi pembaca menginginkan penjelasan maaf melampaui urusan asmara. Maaf
terlalu penting dalam Lebaran tapi keberanian membuka buku-buku bertema Lebaran
bukan pilihan jutaan orang.
Mereka memilih membuka kaleng roti, menikmati sepiring opor,
merokok, atau minum sirup. Kesungguhan mengesahkan Lebaran dengan membaca
buku-buku mudah mendapat “cibiran”. Di tatapan mata, pembaca buku mungkin
angkuh, terasing, murung, atau melawan.
Orang merasa beruntung membaca buku berjudul Effective
Apology garapan John Kador. Buku bertema besar maaf. Bacaan selaras bagi
orang-orang mengalami Lebaran memiliki kebiasaan mengucap permohonan maaf atau
mengedarkan tulisang tentang maaf melalui pesan di ponsel dan media sosial.
Lebaran menjadi hari bergelimang maaf. Orang-orang menganggap wajar, tak
gampang menimbulkan ajakan “berdialog” atau “berdebat” agar maaf tak sekadar
kata terucap atau tertulis.
John Kador (2011) menjelaskan: “Permintaan maaf adalah
perbuatan mengulurkan diri kita karena kita lebih mementingkan hubungan yang
kita bina ketimbang kebutuhan untuk menjadi benar.” Ia tak terlalu merujuk
kamus. Pembaca bakal tergoda membuka halaman demi halaman untuk memahami maaf.
Bacaan berasal dari negeri asing tapi sesuai saat Lebaran:
“Permintaan maaf tulus tidak mencari pembenaran, membela diri, atau berusaha
membuat kesalahan yang telah dilakukan tampak lebih ringan.” Salah tetap salah.
Perkara mencipta damai, rukun, dan rekonsiliasi mengajak orang-orang dalam
“kesepahaman” meminta dan memberi maaf.
Di Indonesia, usaha meminta maaf atau mengukuhkan maaf
terjadi dengan kunjungan. Individu, keluarga, atau komunitas bergerak ke
rumah-rumah bermisi pengakuan salah (sengaja atau tak sengaja) dan meminta
maaf. Di percakapan rutin dan “baku”, pihak pemberi maaf justru melanjutkan
pamrih mendoakan.
Lebaran di Indonesia mempertemukan “maaf” dan “doa”. Adegan
salaman atau sungkem mengusung misi maaf terjadi sebentar. Orang-orang tak
sempat bermain ingatan atau mengadakan pemaknaan bersama. Lebaran itu urusan
“kecepatan” dan “keberuntungan” saat berkunjung menemui pihak-pihak dianggap
pantas terhubung dalam selebrasi maaf.
Kehadiran buku John Kader memang tak dimaksudkan terbit
dalam edisi Lebaran. Ia melakukan pengamatan di Barat mengenai perkembangan
maaf berkaitan tata kehidupan global mudah berubah. Pengertian lama tentang
bertemu untuk permintaan maaf mulai menjadi sejenis “tontonan” saat menimbulkan
keramaian di media sosial.
John Kader membahasakan: “Perang maaf sedang digelar di
ruang publik.” Kita mendingan mengikuti sodoran renungan: “Permintaan maaf
memungkinkan kita untuk menyelesaikan ganjalan hati dan meredakan konflik tanpa
menggunakan kekerasan atau balasa dendam.” Pengertian kadang samar saat
“dipermainkan” di media sosial berisiko menghapus batas-batas urusan pribadi
dan publik.
Buku “tepat” dibaca saat Lebaran sebagai lanjutan dari
uraian-uraian John Kader disajikan oleh Afthonul Afif. Ia menulis buku berjudul
Forgiving the Unforbivable: Menyembuhkan Luka, Memupuk Welas Asih
(2019). Penjelasan penting: “Sebelum menjadi isu keilmuan yang semakin luas
dikaji belakangan ini, pemaafan sebenarnya telah diterima sebagai salah satu
ajaran terpenting dalam tradisi agama-agama besar (Yahudi, Kristen, Islam,
Hindu, dan Buddha). Hal ini mengindikasikan bahwa pemaafan sebenarnya telah
menjadi problem mendasar kehidupan yang senantiasa muncul dalam setiap periode
peradaban manusia.”
Pada saat orang mengalami Lebaran dan berani membuka
halaman-halaman buku Forgiving the Unforbivable bakal terangsang
kesadaran memilih merenung ketimbang mengikuti nafsu makan, minum, piknik, dan
tidur. Kalimat bisa dikutip saat Lebaran: “Permintaan maaf dan penyesalan
ibarat obat dan dibutuhkan oleh batin yang menderita luka akibat sebuah
pelanggaran.”
Lebaran mendingan menjadi pembaca buku-buku agar kemauan
mengajukan permintaan maaf dan pemberian maaf tak sekadar “omong kosong” atau
“sandiwara akbar”. Kita pun insaf jika menjadi pembaca buku saat Lebaran itu
seperti “salah waktu” dan “salah tempat” jika mengikuti tradisi-tradisi
“bergerak” dan “berkumpul” di seantero Indonesia. Begitu.
