IDCI Soroti Lemahnya Peran TNI dalam Pertahanan Siber Nasional

By PorosBumi 25 Mar 2025, 06:40:22 WIB Nadi Negeri
IDCI Soroti Lemahnya Peran TNI dalam Pertahanan Siber Nasional

JAKARTA - Indonesia Digital and Cyber Institute (IDCI) mengkritisi hasil revisi Undang-Undang TNI yang disahkan DPR RI, yang hanya menempatkan TNI sebagai pelengkap atau "membantu" dalam pertahanan siber. Direktur Eksekutif IDCI, Yayang Ruzaldy, menyebut hal ini bertentangan dengan Pasal 30 ayat 3 UUD 1945 yang menegaskan peran TNI sebagai alat utama pertahanan negara.

Menurut Yayang, seharusnya TNI tidak hanya menjadi pendukung, tetapi komponen utama dalam menghadapi ancaman di ruang siber. Ancaman siber modern, yang mencakup sabotase digital, pencurian intelijen, hingga konflik geopolitik, sudah setara dengan ancaman militer lainnya. Karena itu, TNI harus diberikan mandat yang jelas untuk menangani serangan siber strategis, seperti halnya yang dilakukan oleh US Cyber Command, Unit 8200 Israel, dan NATO.

Ia juga mengkritisi Perpres No. 8 Tahun 2021 yang tidak mengklasifikasikan ancaman siber sebagai ancaman militer. Padahal, lembaga-lembaga seperti BSSN dan Kemenkominfo tidak memiliki otoritas komando militer yang diperlukan untuk merespons serangan siber terhadap infrastruktur kritis.

Baca Lainnya :

IDCI memperingatkan bahwa membiarkan TNI hanya berdiri di pinggir arena siber akan menimbulkan kekacauan komando dan memperlemah pertahanan negara. “Serangan ke pusat data nasional dan bank yang hanya ditangani oleh lembaga sipil dengan koordinasi sektoral justru membuka potensi kekosongan komando,” tegas Yayang.

IDCI merekomendasikan agar UU TNI direvisi lebih lanjut untuk menjadikan pertahanan siber sebagai tugas pokok TNI, membentuk Komando Siber Nasional di bawah TNI, dan mengintegrasikan doktrin active cyber defense ke dalam sistem pertahanan negara.

“Ancaman siber sudah menjadi bagian dari peperangan modern yang tidak hanya dapat ditangani oleh lembaga sipil. Sabotase digital, pencurian data intelijen, hingga serangan terhadap infrastruktur kritis adalah ancaman yang membutuhkan respons militer secara strategis dan real time,” ujar Yayang.

Yayang menilai, saat ini Indonesia tertinggal dari negara-negara lain yang sudah menempatkan militer sebagai pusat kendali siber. Amerika Serikat memiliki US Cyber Command, Israel dengan Unit 8200, dan NATO dengan doktrin pertahanan sibernya.

Ia juga menyoroti ketidakjelasan komando dalam penanganan insiden siber di Indonesia. Perpres No. 28 Tahun 2021 memberikan peran kepada BSSN dalam kebijakan teknis, sedangkan Kemenkominfo mengatur ruang digital melalui Perpres No. 174 Tahun 2024. Namun, keduanya tidak memiliki struktur militer yang dapat menangani serangan strategis.

“Ruang siber adalah fifth domain of warfare, setara dengan darat, laut, udara, dan antariksa. Maka sudah saatnya Indonesia memiliki Komando Siber Nasional di bawah TNI dengan otoritas strategis, operasional, dan taktis,” jelas Yayang.

IDCI merekomendasikan tiga langkah ke depan: mengatur secara eksplisit dalam UU TNI bahwa pertahanan siber adalah tugas utama TNI; membentuk Komando Siber Nasional; dan mengintegrasikan active cyber defense dalam doktrin pertahanan negara. Tanpa langkah konkret ini, Indonesia berisiko menghadapi krisis kepercayaan institusional dan kerentanan terhadap ancaman digital global.




Write a Facebook Comment

Tuliskan Komentar anda dari account Facebook

View all comments

Write a comment