- IDXCarbon Jajakan Unit Karbon 90 Juta Ton Co2e Hingga Ke Brazil
- OJK Dinilai Memble, Kini Hasil Penyelidikan Investasi Telkom Pada GOTO Ditunggu
- Suara yang Dikenal dan yang Tidak Dikenal
- Sampah Akan Jadi Rebutan Sebagai Sumber Bahan Bakar
- Tenun Persahabatan: Merajut Warisan India dan Indonesia dalam Heritage Threads
- Manfaat Membaca yang Penting Kamu Ketahui
- Kisah Hanako, Koi di Jepang yang Berumur Lebih dari 2 Abad
- Hadiri Pesta Rakyat 2 di Manado, AHY Tegaskan Pentingnya Pemerataan Pembangunan Kewilayahan
- PFI Kepri Sambangi KSOP Batam, Perkuat Sinergi dan Semangat Foto Jurnalistik Maritim
- Belajar dari Makkah: Potensi Bio-Energi di Balik Sistem Pengolahan Limbah Modern
Tolak Inisiatif AZEC, Masyarakat Sipil Indonesia Desak Transisi Energi yang Demokratis & Berkeadilan
.jpg)
JAKARTA –
Menanggapi Konferensi Tingkat Tinggi Asia Zero Emission Community (AZEC)
yang digelar di Kuala Lumpur pada 28 Oktober 2025, jaringan organisasi
masyarakat sipil di Indonesia menyatakan penolakannya terhadap inisiatif AZEC
yang justru memperpanjang ketergantungan pada energi fosil melalui solusi palsu
yang membahayakan lingkungan, mengancam keselamatan komunitas, dan berisiko
menimbulkan pelanggaran Hak Asasi Manusia.
Jaringan masyarakat sipil juga mendesak pemerintah Jepang
dan Indonesia untuk berkomitmen pada transisi energi yang cepat, adil, dan
merata. Transisi tersebut harus menjamin partisipasi yang bermakna dari
masyarakat lokal dan kelompok masyarakat sipil sebagai bagian dari proses
demokratis yang berpihak pada keadilan iklim.
Sejak awal, jaringan organisasi masyarakat sipil di
Indonesia telah menyuarakan keprihatinan mendalam terhadap inisiatif AZEC yang
dipimpin oleh Jepang melalui Strategi Green Transformation (GX),
di mana sebagian besar proyeknya direncanakan akan dijalankan di Indonesia.
Pada 20 Agustus 2024, bertepatan dengan Pertemuan Tingkat Menteri AZEC ke-2 di
Jakarta, sebanyak 41 organisasi masyarakat sipil menyampaikan petisi yang
menolak arah dan isi inisiatif tersebut.
Baca Lainnya :
- MIND ID Sabet Penghargaan ESG Berkat Efisiensi Energi dan Komitmen Keberlanjutan0
- Warga Negara Asing di Indonesia Hadapi Aturan Baru Dokumen Kependudukan 20250
- Mau Tahu Perkembangan Proyek Abadi Masela, Ini Updatenya!0
- Bukan Sekadar Jargon, Hilirisasi Langkah Nyata Wujudkan Asta Cita0
- Belantara Foundation Dorong Koeksistensi Manusia-Gajah di IUCN World Conservation Congress 0
Jaringan organisasi masyarakat sipil di Indonesia menyoroti
bahwa pelaksanaan AZEC telah melanggar prinsip-prinsip demokrasi karena
minimnya transparansi dan keterbukaan informasi, serta tiadanya partisipasi
yang bermakna dari masyarakat lokal maupun kelompok masyarakat sipil. AZEC
justru mendorong penggunaan teknologi yang memperpanjang ketergantungan pada
energi fosil, yang tidak akan menyelesaikan krisis iklim dan malah memperburuk
penderitaan masyarakat terdampak.
Selain itu, AZEC mempromosikan solusi palsu yang berisiko
tinggi terhadap keselamatan lingkungan dan komunitas, serta serta menyebabkan
pelanggaran terhadap Hak Asasi Manusia. Lebih jauh lagi, AZEC mendukung
proyek-proyek yang berpotensi mendorong perampasan lahan dan ruang laut, serta
mempercepat deforestasi di berbagai wilayah Indonesia. Di tengah ketidakpastian
ekonomi, inisiatif AZEC juga bisa meningkatkan risiko kegagalan utang (debt
distress) yang akan membebani negara dan generasi mendatang.
Dwi Sawung, Manajer
Kampanye isu Infrastruktur dan Tata Ruang WALHI menyebut AZEC bukan
solusi transisi energi yang adil, melainkan bentuk baru kolonialisme energi
yang mengabaikan hak-hak masyarakat dan keberlanjutan lingkungan.
“Kami menolak AZEC karena ia menyamarkan kepentingan
korporasi dan negara industri sebagai upaya dekarbonisasi, padahal yang terjadi
adalah greenwashing yang sistemik. Transisi energi harus berangkat dari
kebutuhan dan hak masyarakat, bukan dari skema investasi yang mengekalkan
ketimpangan dan kerusakan ekologis” terang Sawung.
Riski Saputra, Peneliti
Lingkungan dari AEER, menegaskan bahwa jika AZEC
benar-benar serius mendukung agenda transisi energi di Indonesia, maka fokus
pengembangan proyek harus diarahkan pada sistem yang lebih berkelanjutan.
“Jika AZEC serius dalam mendukung agenda transisi energi
di Indonesia, seharusnya pengembangan proyek diarahkan untuk smart grid dan
pengembangan terhadap sumber-sumber energi bersih seperti surya dan angin.
Selain itu, AZEC juga seharusnya mendukung pensiun dini PLTU, bukan malah
memperpanjangnya dengan solusi palsu seperti co-firing dan CCS/CCUS yang justru
memperburuk keadaan,” jelas Riski.
Al Farhat Kasman, Juru
Kampanye JATAM, menyampaikan kritik tajam terhadap peran AZEC dalam lanskap
energi Indonesia. “AZEC tidak hadir sebagai solusi atas krisis yang sedang
terjadi, dia hadir justru sebagai wajah baru dari kolonialisme ekstraktif,”
tegasnya. Menurut Farhat, investasi yang dibawa AZEC atas nama rendah karbon
menyimpan berbagai konsekuensi yang merugikan masyarakat dan lingkungan.
“Menanamkan investasi atas nama rendah karbon yang
didalamnya tersembunyi jebakan utang, kerusakan lingkungan akibat masifnya
ekstraksi sumber daya seperti geothermal dan komoditas mineral kritis lainnya,
melahirkan penderitaan dan memperpanjang tunggakan utang sosial-ekologis yang
harus dirasakan oleh warga di tapak-tapak operasinya. Kesepakatan yang dibuat
pemerintah Indonesia di bawah AZEC adalah wujud nyata bahwa negara hanya
berpihak kepada para pemodal,” pungkas Farhat.
Wishnu Utomo, Direktur
Advokasi Tambang CELIOS, menilai pendekatan AZEC dalam memitigasi krisis
iklim keliru dan berpotensi memperburuk keadaan. “AZEC menggunakan
pendekatan yang salah dalam memitigasi krisis iklim. Terbukti dengan banyaknya
proyek solusi palsu yang berbahaya bagi lingkungan hidup dan sosial yang mereka
danai,” tegas Wishnu.
Menurutnya, transisi energi seharusnya menjadi momentum
untuk memulihkan kehidupan masyarakat yang telah dirusak oleh eksploitasi usaha
skala besar yang rakus, bukan memperluas dampak buruknya. Ia menambahkan bahwa
langkah yang tepat adalah memperkuat sistem perlindungan lingkungan hidup dan
sosial agar transisi energi benar-benar berkeadilan dan berkelanjutan.
Yuyun Harmono, Juru Kampanye Iklim dan Energi
Greenpeace Indonesia menambahkan bahwa portofolio AZEC selama
ini menunjukkan dukungan yang lebih besar terhadap infrastruktur energi fosil
dan solusi palsu dibandingkan dengan energi terbarukan. Laporan dari Zero
Carbon Analytics pada tahun 2024 mengungkapkan bahwa hanya 11% dari 158
Nota Kesepahaman (MoU) di bawah AZEC yang terkait dengan energi dari angin dan
surya. Sedangkan, sebanyak 56 MoU (35%) melibatkan teknologi bahan bakar fosil,
seperti LNG, co-firing amonia, dan CCS.
”Dukungan AZEC terhadap solusi palsu seperti
co-firing PLTU, CCS/CCUS dan gas fosil untuk pembangkit hanya akan
memperpanjang ketergantungan Indonesia terhadap energi fosil dan menjauhkan
dari upaya dekarbonasi dan transisi yang adil. AZEC harusnya berperan menjadi
bagian dari solusi untuk mendorong berkembangnya energi terbarukan di Indonesia
bukan justru memperparah dalam fossil lock-in.”
Novita Indri, Juru Kampanye
Energi Trend Asia menyoroti pendekatan Jepang melalui AZEC yang
dinilai justru menghambat upaya global dalam mengatasi krisis iklim. “Lagi-lagi
Jepang berupaya menggagalkan Komitmen Iklim dunia yang telah disepakati.
Melalui AZEC, Jepang masih saja menggelontorkan dukungan pembiayaan solusi
palsu ke negara-negara di ASEAN termasuk Indonesia,” ujar Novita.
Ia menegaskan bahwa langkah tersebut hanya akan memperparah
dampak krisis iklim yang tengah berlangsung. Menurutnya, di tengah kepemimpinan
baru Jepang, seharusnya ambisi untuk memperkuat dukungan terhadap energi
terbarukan menjadi prioritas utama, bukan malah membiayai proyek-proyek yang
memperpanjang ketergantungan terhadap energi fosil.
M. Abdul Baits dari Divisi
Kajian dan GIS WALHI Jakarta menyampaikan kekhawatirannya terhadap
pendekatan yang diambil oleh Jepang dan pemerintah Indonesia dalam proyek
tersebut. “Proyek AZEC yang digagas oleh Jepang untuk diimplementasikan di
Indonesia yang juga mendorong skema co-firing, baik melalui biomassa, hidrogen
dan amonia di pembangkit listrik berbasis fosil bukanlah sebuah solusi terhadap
krisis iklim, melainkan kamuflase untuk memperpanjang umur penggunaan batu bara
dan gas seperti di Suralaya, Lontar dan Muara Karang,” tegas Abdul Baits.
Ia menambahkan bahwa pembangkit listrik berbasis energi
fosil masih mendominasi pasokan listrik di Jakarta, yang berarti pembakaran
batu bara dan gas akan terus berlangsung. Dampaknya, warga Jakarta akan terus
menghadapi ancaman polusi udara yang membahayakan kesehatan dan kualitas hidup.
.jpg)

.jpg)

.jpg)
.jpg)
.jpg)
.jpg)
.jpg)

.jpg)

