- Wajah Baru Pupuk Bersubsidi: 145 Regulasi Dipangkas, Waktu Antrean Distribusi Turun 40%
- Dari PHK ke Jualan Nasi Uduk: Cerita Yadi dan JKP yang Tertunaikan untuk Melanjutkan Hidup
- Resmikan Cold Stroge Berkapasitas 30 Ribu Ton, BEEF Kian Nyata Sokong Program MBG
- Sektor Pertambangan Jadi Lokomotif Ekonomi Lokal di Berbagai Daerah
- MIND ID Perkuat Komitmen Transisi Energi Lewat Hilirisasi Bauksit
- Aktivis Ragu Soal Komitmen Pengakuan Hutan Adat 1,4 Juta Ha
- IDXCarbon Jajakan Unit Karbon 90 Juta Ton Co2e Hingga Ke Brazil
- OJK Dinilai Memble, Kini Hasil Penyelidikan Investasi Telkom Pada GOTO Ditunggu
- Suara yang Dikenal dan yang Tidak Dikenal
- Sampah Akan Jadi Rebutan Sebagai Sumber Bahan Bakar
Wajah Baru Pupuk Bersubsidi: 145 Regulasi Dipangkas, Waktu Antrean Distribusi Turun 40%

Keterangan Gambar : Menurut studi Universitas Mercu Buana, satu ton pupuk tepat sasaran mampu melahirkan tambahan 5 ton beras. (Dok Ant)
JAKARTA-Syahdan, suatu kali Bung
Karno pernah berseru, “Pangan adalah masalah hidup matinya sebuah bangsa.”
Pernyataan sang proklamator itu kini terasa semakin menggigit di tengah lonjakan
kebutuhan pangan yang tak terbendung. Pangan bukan sekadar urusan perut,
melainkan fondasi kedaulatan. Dus di balik fondasi itu, ada satu elemen yang
tak pernah absen dan selalu mewarnai kedaulatan pangan yakni pupuk.
Tanpa pupuk yang tepat
dosis, tepat waktu, dan tepat komposisi, hamparan sawah hijau yang siap panen
dalam kurang dari enam bulan seperti yang kini jamak kita saksikan—hanyalah
impian. Bayangan gagal panen akan mengintai, jutaan keluarga kehilangan
harapan, dan negara kehilangan devisa. Karena itu, penguatan industri pupuk
bukan lagi urusan teknis pabrik semata, melainkan urusan memberi makanan 270
juta rakyat Indonesia.
Di tengah gempuran
perubahan iklim—banjir dan kekeringan silih berganti—petani tak boleh lagi
bertaruh dengan pupuk seadanya seperti yang turun temurun menghiasi tradisi
pertanian bangsa ini. Para petani butuh pupuk efisien: unsur hara tinggi,
limbah minim. Kenapa itu penting? Ya, karena setiap ton pupuk yang salah alamat
berarti ribuan hektare sawah kehilangan potensi. Itulah mengapa tata kelola
pupuk modern harus menjadi keniscayaan.
Baca Lainnya :
- Dari Sawangan ke Bojongsari: Pupuk Mengubah Wajah Pekarangan Jadi Produktif0
- Mengejar Swasembada, Melupakan Tanah: Bahaya di Balik Euforia Pupuk Murah0
- Kembalikan Kejayaan Rempah Indonesia, Visi Mentan Jadikan Malut Pusat Rempah Dunia0
- Perkuat Kedaulatan Pangan Nasional, Kementerian PU Akselerasi Penyelesaian 15 Bendungan0
- Pangan Adat, Jalan Keluar dari Jalan Buntu Kedaulatan Pangan dan Pengakuan Hak Adat0
Fakta membuktikan bahwa keberadaan
pupuk berkorelasi signifikan bagi produktifitas pertanian. Data Badan Pangan
Nasional 2025 menyebutkan, produksi beras Januari–Juli 2025 melonjak 14,49%
menjadi 21,76 juta ton (GKG 37,77 juta ton). Stok beras nasional tembus di atas
4 juta ton—rekor tertinggi sepanjang sejarah. Proyeksi akhir tahun bahkan lebih
optimistis: 34,77 juta ton atau naik 13,54% dari 2024. Kenapa semua itu bisa
terjadi. Riset Pupuk Indonesia 2024–2025 menjadi salah satu jawabannya. Riset
yang dilakukan di 12 provinsi ini mencatat kenaikan produktivitas rata-rata
13,5%. Satu ton pupuk tepat sasaran, menurut Universitas Mercu Buana, mampu
melahirkan tambahan 5 ton beras.
Efektifnya penggunaan pupuk yang dapat menunjang produktivitas pertanian dibenarkan oleh Khudori, pengamat pertanian dari Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI). Menurut Khudori, kebijakan swasembada beras dalam 100 hari kerja Pemerintahan Prabowo-Gibran dapat dicapai mudah dengan sejumlah syarat, salah satunya melalui penyediaan pupuk yang memadai. Di sisi lain, tata kelola penyediaan dan penyaluran pupuk yang baik saat ini mutlak dilakukan karena merupakan bagian dari perbaikan tata kelola mata rantai dunia pertanian secara umum.
Soal tata kelola pupuk
yang selama ini selalu mengundang kritik, pemerintah saat ini sudah
mengantisipasi dengan sejumlah terobosan. Anggaran pupuk bersubsidi 2025
digenjot 100% menjadi Rp46,8 triliun untuk 9,55 juta ton—dua kali lipat dari
2024. Dua wilayah yang selama ini dikenal sebagai lumbung padi Indonesia yakni Jawa
Timur mendapat jatah 1,88 juta ton pupuk bersubsidi, sedangkan Jawa Tengah mendapat
1,38 juta ton. Dari sisi harga, pupuk nonsubsidi turun 20% sejak 22 Oktober
2025. Dari data yang ada di Kabupaten Gunungkidul, DIY, penurunan harga pupuk
nonsubsidi ini langsung memangkas biaya produksi petani kecil hingga Rp500.000
per hektare. Sangat signifikan dan efektif!
Di sisi supply (stok), PT
Pupuk Indonesia (Persero) membukukan kapasitas produksi 14,6 juta ton pada
2024—produsen pupuk berbasis nitrogen terbesar di Asia Pasifik. Target 2025:
12,6 juta ton dengan proyeksi laba Rp3,2 triliun. Efisiensi operasional
berhasil memangkas konsumsi gas hingga 21,7 MMBTU/ton. Impor pupuk turun 15%,
produksi domestik sudah memenuhi 80% kebutuhan.
Perlahan namun pasti,
perubahan tata kelola industri pupuk mulai menunjukkan hasil dari sisi
produktivitas pertanian. Luas panen padi 2025 mencapai 10,22 juta hektare (naik
11,90%). Lalu surplus beras hingga Oktober 3,7 juta ton memungkinkan Indonesia
swasembada tanpa impor—suatu kondisi yang berbeda dengan krisis pangan di
negara maju. Indonesia kini mengekspor beras ke Filipina dan Vietnam dengan cadangan
strategis 2 juta ton terkonsolidasi.
Dan yang paling
menggembirakan, Indeks Ketahanan Pangan (IKP) Indonesia tahun 2025 mencapai
73,00—tertinggi dalam satu dekade. Kemudian pertumbuhan sektor pertanian
triwulan I 2025 mencapai 4,2%, tertinggi sejak 2020. Kontribusi pupuk terhadap
kenaikan NTP mencapai 25%. Produktivitas padi Jawa Timur naik dari 5,8 ton/ha
menjadi 6,5 ton/ha berkat pupuk tepat waktu via I-Pubers.
Namun di tengah
capaian-capaian tersebut masih ada pekerjaan rumah menanti para stake holders dalam
tata kelola industri pupuk nasional. Tantangan itu antara lain ketergantungan
gas alam impor masih 60%. Konflik Timur Tengah pada Q1 2025 menaikkan harga gas
10%, membebani biaya produksi Rp500 miliar per kuartal. La Niña 2024–2025 juga
memangkas produksi NPK 5% pada semester I. Di sisi hilir, 30% petani di wilayah
terpencil masih kesulitan akses akibat logistik yang lemah.
Sejauh ini pemerintah tak tinggal diam merespons berbagai persoalan tata kelola industri pupuk. Terbitnya Perpres No. 6 Tahun 2025 sukses memangkas 145 regulasi birokrasi dan memperkenalkan skema Titik Serah. Kemudian waktu distribusi turun 40%, kebocoran subsidi terdeteksi lebih dini. Platform I-Pubers (Integrated Pupuk Bersubsidi) berbasis GPS dan blockchain telah memproses 7 juta transaksi hingga September 2025 dengan tingkat kepatuhan 95%. Petani cukup memesan lewat aplikasi e-RDKK, antrean lenyap, alokasi sesuai luas lahan.
Direktur Utama PT Pupuk
Indonesia (Persero) Rahmad Pribadi menegaskan bahwa kehadiran Pupuk Indonesia untuk
memenuhi kebutuhan petani dengan menyiapkan stok sesuai regulasi, dan
menjalankan tata kelola penyaluran pupuk sesuai aturan baru yang banyak
memberikan kemudahan bagi petani dalam penebusan. Aturan baru itu yakni terbitnya
Perpres 6/2025 dan Permentan 15/2025. Berdasarkan panduan dalam Perpres ini,
Pupuk Indonesia siap melakukan distribusi stok pupuk sekitar 1,2 juta ton untuk
musim tanam Oktober 2025–Maret 2026.
Tak berhenti di sisi
distribusi. Lewat berbagai ikhtiar yang diinisiasi Pupuk Indonesia, jaringan
kios desa yang mengurusi soal penyaluran pupuk juga berhasil ditingkatkan
menjadi 50.000 unit. Sebanyak 100.000 kader pengawas lapangan dilatih. Di sisi
lain, Ombudsman RI dan Pupuk Indonesia juga secara transparan melakukan audit
rutin; 15% kebocoran di Indonesia timur berhasil dipetakan dan ditindak.
Konsekuensinya, Nilai Tukar Petani (NTP) Juli 2025 melonjak ke 122,64—melebihi
target 115–120.
Langkah kongkrit lain
juga belum berhenti dilakukan Pupuk Indonesia. Pembangunan pabrik nano-urea di
Kalimantan Timur berkapasitas 1 juta ton/tahun yang ditargetkan beroperasi tahun
2026 bisa memangkas impor sebesar 25%. Lalu juga ada kerja sama dengan Rusia untuk
amonia hijau menuju Net Zero Emission 2060. Dari terobosan-terobosan tersebut,
pemerintah menargetkan pada 2027 pasokan gas domestik sebesar 70%, kapasitas
produksi 16 juta ton, subsidi turun dari Rp35 triliun (2024) menjadi Rp30
triliun (2026).
Dengan kapasitas produksi
20 juta ton, swasembada total, dan ekspor pupuk berkelanjutan, visi Indonesia
Emas 2045 bukan lagi angan. Pupuk yang efisien membuat petani hemat biaya.
Pupuk yang akuntabel membuat negara hemat subsidi. Ketika keduanya berjalan
bersamaan, bangsa ini sejatinya tidak hanya menanam padi tetapi juga menanam
masa depan.
Di sisi lain kolaborasi antara
pemerintah, BUMN, dan petani menjadi kunci. Industri pupuk modern bukan lagi
pilihan, melainkan keharusan. Karena di balik setiap karung pupuk yang sampai tepat
waktu, ada harapan 15 juta petani gurem, ada kedaulatan 270 juta jiwa, dan ada
Indonesia yang tak lagi hanya aman pangan—tapi benar-benar berdaulat. (Wahyono)
Sumber tulisan
- PT Pupuk Indonesia (Persero), 2025
- BPS, Produksi Tanaman Pangan 2025
- Kementerian Pertanian RI, Laporan Ketahanan Pangan 2025
- Badan Pangan Nasional, IKP 2025
- Universitas Mercu Buana, Studi Efektivitas Distribusi
Pupuk 2025
.jpg)

.jpg)

.jpg)
.jpg)
.jpg)
.jpg)
.jpg)

.jpg)

