- Wajah Baru Pupuk Bersubsidi: 145 Regulasi Dipangkas, Waktu Antrean Distribusi Turun 40%
- Dari PHK ke Jualan Nasi Uduk: Cerita Yadi dan JKP yang Tertunaikan untuk Melanjutkan Hidup
- Resmikan Cold Stroge Berkapasitas 30 Ribu Ton, BEEF Kian Nyata Sokong Program MBG
- Sektor Pertambangan Jadi Lokomotif Ekonomi Lokal di Berbagai Daerah
- MIND ID Perkuat Komitmen Transisi Energi Lewat Hilirisasi Bauksit
- Aktivis Ragu Soal Komitmen Pengakuan Hutan Adat 1,4 Juta Ha
- IDXCarbon Jajakan Unit Karbon 90 Juta Ton Co2e Hingga Ke Brazil
- OJK Dinilai Memble, Kini Hasil Penyelidikan Investasi Telkom Pada GOTO Ditunggu
- Suara yang Dikenal dan yang Tidak Dikenal
- Sampah Akan Jadi Rebutan Sebagai Sumber Bahan Bakar
Dari Sawangan ke Bojongsari: Pupuk Mengubah Wajah Pekarangan Jadi Produktif

Keterangan Gambar : Salah satu tanaman yang produktifitasnya meningkat berkat pupuk adalah jagung. (foto Ist)
Wahyono,
Jurnalis Porosbumi.com
Wajah Sari berseri-seri.
Tanaman cabai dan tomat di areal pekarangan rumahnya di Sawangan, Depok kini berbuah besar, ranum
dan siap dipanen. Tak hanya buah, tanaman cabai dan tomat di pekarangannya juga
menghijau dan subur sedap dipandang mata. Kini, Sari tak perlu repot bangun pagi-pagi
membeli tomat dan cabai ke tukang sayur langganan. Cukup pergi ke kebun, semua
kebutuhan sayur khususnya cabai dan tomat terpenuhi. Uang untuk kebutuhan
belanja sayur pun bisa dihemat. Bahkan Sari juga bisa mendapatkan penghasilan
dengan menjual limpahan cabai dan tomat ke Pasar Depok.
Semua itu berkat pupuk
NPK (Nitrogen, Fosfor, dan Kalium) yang kini bisa dengan mudah dia dapatkan.
Jika dulu Sari mengaku kesulitan setengah mati mendapatkan pupuk NPK untuk asupan
tanaman sayur-sayuran di areal kebunnya, hal itu kini tidak terjadi lagi. “Selama
ini entah kenapa saya kesulitan untuk dapat pupuk berkualitas. Tapi sekarang
tidak lagi. Cabai dan tomat saya bebas hama dan hasilnya melimpah. Saya sangat
berterima kasih kepada pemerintah khususnya PT Pupuk yang menyalurkan pupuk NPK
secara tepat waktu,”ucap Sari.
Baca Lainnya :
- Mengejar Swasembada, Melupakan Tanah: Bahaya di Balik Euforia Pupuk Murah0
- Kembalikan Kejayaan Rempah Indonesia, Visi Mentan Jadikan Malut Pusat Rempah Dunia0
- Perkuat Kedaulatan Pangan Nasional, Kementerian PU Akselerasi Penyelesaian 15 Bendungan0
- Pangan Adat, Jalan Keluar dari Jalan Buntu Kedaulatan Pangan dan Pengakuan Hak Adat0
- Riset Unggulan PTPN Group Dorong Efektivitas Pengendalian Hama Uret di Perkebunan Tebu0
Cerita positif tentang
pupuk juga dirasakan Sutrisno, seorang petani di Pondok Petir, Bojongsari
Depok. Sutrisno sudah tidak cemas lagi memikirkan tanaman jagungnya ketika
musim kemarau tiba. Berkat pupuk Phonska yang kini mudah didapatkannya di
wilayah Bojongsari maka tanaman jagungnya seluas 1 hektar (ha) bisa tahan
banting dari sengatan cuaca panas.
“Ketika kemarau tiba,
tanaman jagung saya lebih tahan dari kekeringan. Semua itu salah satunya karena
saya pakai pupuk Phonska dari PT Pupuk. Alhamdulilah pemerintah sudah tepat
sasaran, saya yang terdaftar di kartu tani mudah mendapatkannya. Jadi saat masa
tanam saya sudah tidak risau lagi,” tutur Trisno, panggilan akrab Sutrisno.
Pupuk Phonska maupun NPK
bisa digunakan untuk padi dan sayuran, karena pupuk ini menyediakan unsur hara
lengkap yang dibutuhkan banyak jenis tanaman. Pupuk ini juga cocok untuk sayuran
seperti cabai dan tomat. Sedangkan pupuk NPK biasanya digunakan
untuk memenuhi kebutuhan nutrisi lengkap tanaman agar tumbuh subur
dan maksimal, mulai dari fase vegetatif (pertumbuhan daun dan batang) hingga
generatif (pembungaan dan pembuahan). Kandungan Nitrogen (N), Fosfor (P),
dan Kalium (K) bekerja sama untuk meningkatkan pertumbuhan, memperbanyak
hasil panen, serta memperkuat daya tahan tanaman terhadap penyakit dan stres
lingkungan.
Kisah Sari dan Sutrisno
menjadi salah satu potret kecil bagaimana kehadiran pupuk pemerintah sangat
membantu eksistensi petani maupun masyarakat yang memiliki hobi di bidang
pertanian. Bukan hanya soal ketersediaan tetapi juga aspek penyaluran pupuk yang
kian mudah diakses oleh masyarakat di Kecamatan Bojongsari dan Sawangan di tengah
hiruk-pikuk kehidupan urban Kota Depok. Selama ini memang wilayah Bojongsari
dikenal dengan sawah-sawahnya yang membentang di pinggiran Sungai Ciliwung dan juga
Sawangan yang dulu dikenal sebagai "lumbung padi" di Depok
Kemudahan mendapatkan
pupuk bersubsidi yang memadai dan terjangkau seperti dirasakan Sari dan
Sutrisno memang menjadi salah satu prioritas pemerintah di era pemerintahan
Presiden Prabowo Subianto. Melalui Perpres No. 6 Tahun
2025 dan Permen Pertanian No. 15 Tahun 2025, pemerintah bergerak cepat
dengan berupaya melakukan deregulasi distribusi pupuk NPK dan Phonska di
tingkat petani.
Kebijakan ini bertujuan
mempercepat dan mempermudah akses pupuk bagi petani, memastikan distribusi yang
lebih transparan, dan mengurangi penyelewengan. Sejak 22 Oktober 2025,
Pemerintah menetapkan Harga Eceran Tertinggi (HET) pupuk bersubsidi, termasuk
NPK Phonska, menjadi lebih terjangkau menjadi Rp 1.840/kg.
Soal distribusi pupuk
bersubsidi ini pemerintah memang tidak main-mian. Sejak awal 2025, pemerintah melalui
Kementerian Pertanian dan PT Pupuk Indonesia, sudah meluncurkan transformasi
besar dalam distribusi pupuk bersubsidi. Per 1 Januari 2025, petani bisa
menebus pupuk dengan harga terjangkau.Untuk pupuk urea misalnya dibanderol
dengan harga Rp2.250 per kg, NPK Rp2.300 per kg, dan organik Rp800 per kg.
Untuk makin memudahkan
penyaluran, program ini juga didukung aplikasi iPubers, yang memudahkan
pendaftaran Rencana Definitif Kebutuhan Kelompok (RDKK) secara online.
"Ini sangat membantu bagi petani seperti saya," kata Sutrisno yang
kini terdaftar sebagai penerima melalui Kartu Tani digital di wilayah Sawangan
Depok.
Apa yang dialami petani
di Depok hanya sebagian kecil dari gunung es persoalan tata kelola pupuk di
Indonesia. Terkait hal ini, pemerintah pusat memang wajib cawe-cawe. Terlebih
di banyak tempat masih banyak ditemukan petani yang menghadapi masalah soal distribusi
pupuk yang tidak merata, subsidi pupuk kurang maksimal, dan rendahnya literasi
digital untuk mengakses program pemerintah. Kondisi riil ini juga sesuai dengan
temuaan Ombudsman RI yang menyebut, subsidi pupuk masih menyimpan persoalan
mendasar, seperti kebijakan yang terburu-buru tanpa perencanaan matang di
tingkat pelaksanaan.
Indonesia, sebagai negara
agraris dengan populasi lebih dari 270 juta jiwa, menghadapi tantangan besar
dalam ketahanan pangan. Di sinilah peran industri pupuk menjadi krusial. Pupuk
menyumbang hingga 40% dari peningkatan hasil panen, menurut penelitian dari
Kementerian Pertanian (Kementan). Hanya saja harus diakui tata kelola pupuk di
Indonesia saat ini masih menghadapi berbagai kendala. Di antaranya problem
structural seperti distribusi yang tidak merata, penyalahgunaan subsidi, dan
ketergantungan impor yang tinggi, yang pada gilirannya berkorelasi terhadap
efisiensi produksi pertanian.
Menurut data BPS tahun
2023, konsumsi pupuk nasional mencapai 13,5 juta ton, dengan 60% di antaranya
bersumber dari impor, terutama urea yang mencapai 4,2 juta ton. Masalah ini
diperburuk oleh kasus korupsi dalam rantai pasok, seperti yang dilaporkan
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada 2022-2024, di mana negara tekor sebesar
Rp2,5 triliun akibat penyelewengan subsidi pupuk.
Akibatnya, petani kecil
sering mengalami kelangkaan pupuk, menyebabkan penurunan produktivitas lahan
sawah hingga 15-20%, sebagaimana tercatat dalam laporan Kementerian Pertanian
(Kementan) 2024. Kondisi obyektif ini tidak hanya mengerek biaya produksi,
tetapi juga mengancam keberlanjutan pertanian nasional yang bergantung pada
pupuk untuk mendukung 80% produksi padi.
Ketergantungan pada pupuk
impor dan tata kelola yang buruk berkontribusi signifikan terhadap kerentanan
ketahanan pangan Indonesia, di mana fluktuasi harga global pupuk dapat memicu
inflasi pangan di dalam negeri. Data Kementan menyebutkan bahwa pada 2023,
produksi beras nasional hanya mencapai 53,6 juta ton GKG, turun 2,5% dari tahun
sebelumnya. Sebagian besar hal ini disebabkan oleh keterlambatan distribusi
pupuk subsidi yang seharusnya menjangkau 14 juta petani melalui Kartu Tani.
Selain itu, indeks
ketahanan pangan global dari Global Food Security Index (GFSI) 2024 menempatkan
Indonesia di peringkat 63 dari 113 negara, dengan skor aksesibilitas pangan
hanya 58,3 poin, dipengaruhi oleh ketidakstabilan pasokan input pertanian
seperti pupuk. Menurut data BPS, dampak dari hal ini terlihat pada impor beras
yang melonjak menjadi 3,1 juta ton pada 2024. Realitas ini juga menunjukkan
ketidakmampuan swasembada akibat inefisiensi tata kelola pupuk, sehingga
mengancam target ketahanan pangan 2025 yang menargetkan produksi padi naik 5%
menjadi 56 juta ton GKG.
Untuk mengatasi persoalan
ini, reformasi tata kelola pupuk melalui digitalisasi distribusi dan
diversifikasi produksi domestik menjadi krusial guna memperkuat ketahanan
pangan nasional. Proyeksi Kementan 2025 memperkirakan bahwa peningkatan produksi
pupuk lokal hingga 70% dari kebutuhan nasional—melalui optimalisasi pabrik PT
Pupuk Indonesia yang berkapasitas 7,5 juta ton per tahun—dapat mengurangi impor
sebesar 30% dan menekan subsidi dari Rp25 triliun menjadi Rp18 triliun.
Data Bank Dunia (World
Bank) 2024 juga menyoroti keberhasilan sejumlah negara ASEAN seperti Vietnam,
yang berhasil mereformasi tata kelola pupuk dan berdampak terhadap peningkatan
ketahanan pangan negera tersebut sebesar 12% dalam lima tahun terakhir. Di
Indonesia, implementasi ini berpotensi meningkatkan indeks ketahanan pangan
nasional menjadi 65 poin pada 2027, asalkan didukung pengawasan ketat dan
investasi R&D pupuk organik, sehingga memastikan produksi pangan yang
stabil dan berkelanjutan di tengah tantangan perubahan iklim.
Perkuat Fondasi Industri
Pupuk Menuju Kedaulatan Pangan
Sejarah industri pupuk
Indonesia dimulai pada era 1960-an, ketika pemerintah mendirikan pabrik pupuk
pertama di Palembang. Saat ini, PT Pupuk Indonesia Holding sebagai BUMN utama
mengelola enam anak perusahaan, memproduksi lebih dari 13 juta ton pupuk urea,
NPK, dan organik per tahun.
Berdasarkan data BPS dan
Kementerian Pertanian, produksi pupuk Indonesia pada 2025 menunjukkan
pertumbuhan stabil. Produksi pupuk domestik mencapai 11,65 juta ton pupuk dan
7,19 juta ton produk non-pupuk pada 2024, dengan proyeksi peningkatan pada
2025. Kapasitas terpasang Pupuk Indonesia mencapai 14,6 juta ton per tahun,
dengan urea sebagai produk utama. Namun, impor tetap tinggi; pada Januari-April
2024, impor pupuk mencapai volume yang signifikan, dengan ekspor hanya 519,71
ribu ton. Data BPS menunjukkan impor pupuk dari negara asal utama seperti Cina
dan Rusia terus meningkat dari 2017-2024.
Konsumsi pupuk pertanian
di Indonesia diperkirakan 14,5 juta ton pada 2025, dengan alokasi subsidi 9,55
juta ton. Realisasi penyaluran subsidi hingga Juni 2024 mencapai 2,8 juta ton,
atau 29% dari alokasi. Stok pupuk subsidi mencapai 200% kebutuhan, atau 1,9
juta ton.
Di sisi produksi pangan,
produksi padi pada Januari-Agustus 2025 mencapai 25,27 juta ton GKG, dengan
potensi tambahan 7,92 juta ton hingga November. Luas panen padi pada Agustus
2025 sebesar 1,11 juta hektare, menghasilkan 5,63 juta ton GKG. Produksi beras
nasional Januari-Agustus 2025 capai 24,97 juta ton, naik 14,09%. FAO
memproyeksikan produksi beras Indonesia 35,6 juta ton pada 2025/2026. Surplus
beras mencapai 3,7 juta ton hingga Oktober 2025, memungkinkan penghentian impor
beras pada 2025. Tahun lalu, impor beras 4,52 juta ton, tetapi stok kini 3,8
juta ton.
Meski demikian, tantangan
tetap berkelindan dalam tata kelola industri pupuk nasional antara lain:
distribusi yang tidak merata, penyelewengan subsidi, dan fluktuasi harga bahan
baku global seperti gas alam. Pada 2023, misalnya, kelangkaan pupuk subsidi
menyebabkan penurunan produksi di beberapa daerah hingga 20%. "Dunia
pertanian kita butuh sistem yang lebih tangguh," tandas Menteri Pertanian Andi
Amran Sulaiman dalam sebuah kesempatan.
Dalam konteks tata kelola
industri pupuk ini berkontribusi signifikan terhadap kedaulatan pangan nasional
seperti swasembada beras, tapi juga kemandirian dalam rantai pasok pangan.
Menurut Food and Agriculture Organization (FAO), Indonesia perlu meningkatkan
produktivitas pertanian sebesar 2-3% per tahun untuk memenuhi kebutuhan
populasi yang terus bertumbuh.
Di sini, penguatan
pelayanan berarti meningkatkan akses petani terhadap pupuk berkualitas,
sementara pengawalan memastikan transparansi dan akuntabilitas. Pemerintah
menargetkan peningkatan kapasitas produksi pupuk nasional sebesar 20% hingga
2026, termasuk melalui revitalisasi pabrik-pabrik lama. Inisiatif ini bagian
dari strategi nasional untuk hilirisasi industri, seperti pembangunan pabrik
soda ash pertama di Indonesia dengan kapasitas 300 ribu ton per tahun.
Penguatan pelayanan distribusi
pupuk ideal dimulai dari hilir yakni memastikan pupuk sampai ke tangan petani
dengan tepat waktu dan tepat sasaran. Pada 2025, Pupuk Indonesia telah
merevolusi sistem distribusinya melalui platform digital seperti aplikasi
"Pupuk Indonesia" dan Kartu Tani. "Pemerintah telah banyak
melakukan perubahan positif pada tata kelola penyaluran pupuk bersubsidi di
tahun 2025," ujar Wijaya Karya, Direktur Utama Pupuk Indonesia. Kini,
petani bisa memesan pupuk secara online, melacak pengiriman real-time, dan
mendapatkan rekomendasi dosis berdasarkan analisis tanah via AI.
Di lapangan, program
edukasi menjadi kunci. Pupuk Indonesia bekerja sama dengan Kementan untuk
mengembangkan sumber daya manusia (SDM) pertanian. Melalui pelatihan
"Sekolah Lapang Pupuk", ribuan petani diajari teknik pemupukan
berimbang, penggunaan pupuk organik, dan rotasi tanaman.
Tak cukup sampai disitu. Inovasi
teknologi pertanian juga menjadi kebutuhan di tengah tuntutan digitalisasi. Terkait
hal ini Pupuk Indonesia menggelar Fertinnovation Challenge 2025, kompetisi
inovasi untuk mendorong startup dan peneliti untuk menciptakan solusi seperti
drone pemupuk atau sensor IoT untuk memantau kesuburan tanah.
Selain itu pelayanan
tidak hanya urusan teknis, tapi juga sosial. Pupuk Indonesia menyediakan stok
pupuk 273% lebih dari kebutuhan musim tanam, memastikan ketersediaan di gudang
lini III di seluruh provinsi. Ini termasuk pupuk nonsubsidi untuk petani
komersial, sehingga tidak ada diskriminasi. Di wilayah timur seperti Papua,
truk khusus dan kapal distribusi telah ditingkatkan untuk mengatasi tantangan
geografis.
Faktor lain yang juga
penting untuk terus diperkuat adalah sisi pengawasan distribusi pupuk. Tanpa
pengawasan ketat, pelayanan bisa disalahgunakan. Untuk mengantisipasi itu, Kementan
sejauh ini telah memperkuat akuntabilitas dalam tata kelola penyaluran pupuk
subsidi melalui sistem e-RDKK (elektronik Rencana Definitif Kebutuhan Kelompok)
dan audit rutin.
Di tingkat lapangan,
pengawalan melibatkan Satgas Pupuk yang terdiri dari polisi, TNI, dan petugas
pertanian. Mereka memantau distribusi untuk mencegah penimbunan atau penjualan
ilegal. Pada 2024, operasi ini berhasil menyita ribuan ton pupuk palsu,
menyelamatkan petani dari kerugian miliaran rupiah.
Kualitas pupuk juga
diawasi melalui laboratorium terakreditasi. Pupuk Indonesia menerapkan standar
ISO 9001 dan bekerja sama dengan Badan Standardisasi Nasional (BSN) untuk
memastikan setiap batch pupuk memenuhi spesifikasi. Inovasi seperti blockchain
untuk traceability memungkinkan petani melacak asal-usul pupuk dari pabrik
hingga sawah, mengurangi risiko pemalsuan.
Hasil dari penguatan tata
kelola pupuk perlahan namun pasti mulai terlihat. Di Provinsi Jawa Barat
misalnya, produktivitas hortikultura meningkat 15% berkat pupuk NPK khusus yang
didistribusikan tepat waktu. Secara nasional, target swasembada pangan 2025
semakin dekat, dengan ekspor produk pertanian mencapai USD5 miliar pada kuartal
pertama tahun 2025.
Direktur Utama (Dirut) PT
Pupuk Indonesia (Persero) Rahmad Pribadi menegaskan bahwa pihaknya menekankan
perlunya reformasi tata kelola pupuk saat ini dengan Perpres No. 6/2025 dan
Permentan No. 15/2025 yang memangkas 145 regulasi lama, sehingga rantai distribusi
lebih singkat dan efisien. Menurut Rahmad, dengan dua regulasi itu, tata kelola
pupuk subsidi mengalami perubahan yang nyata dan diharapkan mampu memperkuat
ketersediaan, keterjangkauan, serta efisiensi distribusi pupuk bagi petani di
seluruh Indonesia.
Sementara berdasarkan temuan dari Ombudsman RI menyebutkan bahwa masalah tata kelola industri pupuk tidak bisa diatasi
hanya dengan perubahan peraturan semata tetapi juga perlu pengawasan serius dan
penegakan hukum yang tegas apabila ada penyelewengan. Ombudsman menganggap bahwa
implementasi reformasi tata kelola industri pupuk seperti diamanatkan Perpres
No. 6/2025 yang menyederhanakan regulasi dari 145 menjadi lebih ringkas, belum
berjalan maksimal.
Mengantisipasi berbagai tantangan
kedepan, membangun industri pupuk yang kuat menjadi fondasi utama dalam
mewujudkan kedaulatan pangan nasional. Indonesia, sebagai negara agraris dengan
lahan pertanian luas, wajib memprioritaskan pengembangan produksi pupuk
domestik melalui investasi teknologi modern dan diversifikasi bahan baku.
Dengan memperkuat rantai
pasok internal, bangsa ini tidak hanya mengurangi ketergantungan impor yang
rentan terhadap gejolak ekonomi dunia, tetapi juga memastikan akses pupuk
berkualitas bagi petani kecil, sehingga meningkatkan produktivitas tanaman
pangan. Langkah ini bukan sekadar kebijakan ekonomi, melainkan komitmen untuk
menjaga stabilitas pangan bagi seluruh rakyat.
Untuk mewujudkan visi
ini, kolaborasi antara pemerintah, swasta, dan komunitas petani menjadi kunci.
Reformasi tata kelola, seperti digitalisasi distribusi subsidi dan pengawasan
ketat terhadap korupsi, harus diterapkan agar bantuan tepat sasaran dan
efisien. Selain itu, inovasi dalam pupuk ramah lingkungan menjadi solusi
berkelanjutan yang mendukung pertanian regeneratif. Dengan demikian, industri
pupuk tidak hanya mendukung ketahanan pangan, tetapi juga berkontribusi menciptakan
ekosistem pertanian yang tangguh. Dengan tata kelola pupuk yang baik dan
terjangkau, setidaknya petani-petani seperti Sari dan Sutrisno masih bisa
tersenyum karena pupuk tidak menjadi barang yang asing dalam kehidupannya.
.jpg)

.jpg)

.jpg)
.jpg)
.jpg)
.jpg)
.jpg)

.jpg)

