- IDXCarbon Jajakan Unit Karbon 90 Juta Ton Co2e Hingga Ke Brazil
- OJK Dinilai Memble, Kini Hasil Penyelidikan Investasi Telkom Pada GOTO Ditunggu
- Suara yang Dikenal dan yang Tidak Dikenal
- Sampah Akan Jadi Rebutan Sebagai Sumber Bahan Bakar
- Tenun Persahabatan: Merajut Warisan India dan Indonesia dalam Heritage Threads
- Manfaat Membaca yang Penting Kamu Ketahui
- Kisah Hanako, Koi di Jepang yang Berumur Lebih dari 2 Abad
- Hadiri Pesta Rakyat 2 di Manado, AHY Tegaskan Pentingnya Pemerataan Pembangunan Kewilayahan
- PFI Kepri Sambangi KSOP Batam, Perkuat Sinergi dan Semangat Foto Jurnalistik Maritim
- Belajar dari Makkah: Potensi Bio-Energi di Balik Sistem Pengolahan Limbah Modern
Pangan Adat, Jalan Keluar dari Jalan Buntu Kedaulatan Pangan dan Pengakuan Hak Adat
.png)
JAKARTA — Pengembangan pangan
adat dapat menjadi dasar pemberian rekognisi atas hak tanah dan ruang
masyarakat adat yang kini sebagian besar masih minim perlindungan. Dengan
rekognisi pangan adat tersebut, masyarakat adat tidak hanya berpeluang hidup
lebih aman dan sejahtera, namun sekaligus berpeluang besar mengembangkan
potensi pangan adatnya sebagai pilar kedaulatan pangan nasional.
Demikian disampaikan Muhamad Burhanudin, Manajer Kebijakan
Lingkungan Yayasan KEHATI dalam sesi diskusi panel bertopik “Eco-regionalisasi
Sistem Pangan, Solusi untuk Melestarikan Keberagaman Budaya Pangan” di Museum
Nasional, Jakarta, Kamis (16/10/20205). Diskusi tersebut merupakan bagian dari
rangkaian kegiatan Kenduri
Budaya Pangan Nasional yang diselenggarakan oleh Kementerian
Kebudayaan RI 14-19 Oktober 2025.
Potensi Besar, Pengakuan Masih Minim
Baca Lainnya :
- Riset Unggulan PTPN Group Dorong Efektivitas Pengendalian Hama Uret di Perkebunan Tebu0
- Optimistis Target Pangan Aman, Kini Mentan Fokuskan Hilirisasi Pertanian Nasional0
- Mentan Dukung Percepatan Bongkar Ratoon Holding Perkebunan Nusantara0
- Dari Nagari Ampalu, Jejak Baru Menuju Kedaulatan Pangan 0
- Indonesia Lumbung Pangan Dunia: Bukan Hanya Beras, Bahan Pokok Lainnya Juga Sudah Tercukupi0
Burhanudin menjelaskan, Indonesia memiliki 77 spesies
tanaman pangan lokal, sebagian besar tumbuh dan dikelola di wilayah adat.
“Dengan 1.633 komunitas adat yang mengelola 33,6 juta hektar di 30 provinsi,
masyarakat adat berpotensi menjadi penyangga utama swasembada dan kedaulatan
pangan nasional,” katanya.
Namun, potensi besar itu masih terabaikan. Sebagian besar
wilayah adat belum memiliki pengakuan hukum. Akibatnya, banyak komunitas
terusir dari tanah leluhur mereka atau terkriminalisasi karena tumpang tindih
dengan izin konsesi, tambang, konservasi, atau proyek strategis nasional (PSN).
Data Kementerian Kehutanan 2025 menunjukkan, baru 160 unit
hutan adat dengan luas 333.687 hektare yang diakui negara. Padahal, potensinya
mencapai 4,3 juta hektare. Menurut data Yayasan KEHATI, laju pengakuan hanya
sekitar 41.563 hektare per tahun (2016–2024).
“Dengan kecepatan itu, butuh 95 tahun untuk mengakui seluruh
hutan adat kita. Dalam kurun itu, banyak masyarakat adat bisa hilang, dan
bersama mereka, hilang pula sumber kedaulatan pangan kita,” tegas Burhanudin.
Rekognisi dan Insentif: Kunci Perubahan
Masalah pengakuan hak masyarakat adat, lanjut Burhanudin,
terhambat oleh rantai birokrasi panjang dan tumpang tindih lebih dari 20
regulasi. Solusinya adalah rekognisi pangan adat.
Peraturan Presiden (Perpres) No. 12 Tahun 2025 tentang RPJMN
sudah memandatkan penguatan pangan melalui Perhutanan Berbasis Masyarakat
sebagai PSN, namun belum secara eksplisit mencantumkan pangan adat.
“Pemerintah perlu segera membuat aturan turunan dari Perpres
tersebut untuk memasukkan pangan adat sebagai Proyek Strategis Nasional. Dengan
begitu, hutan adat mendapat status legal, mencegah konflik dan kriminalisasi,”
jelasnya.
Rekognisi tersebut dapat menjadi modal berharga bagi lebih
banyak lagi masyarakat adat untuk mengembangkan potensi pangan adatnya secara
aman dan tanpa was-was kehilangan hak atas tanah adatnya. Pemerintah perlu
melakukan pemetaan indikatif terhadap kawasan hutan adat dari masyarakat adat
yang memiliki potensi dan komitmen dalam pengembangan adatnya. Selanjutnya,
melalui proses free, prior, informed, and consent (FPIC),
pemerintah dapat menyosialisasikan dan menawarkan skema rekognisi berbasis
pangan adat ini ke komunitas-komunitas adat, terutama yang belum mendapatkan
pengakuan negara, untuk kemudian melakukan penetapan.
Selain rekognisi, lanjut dia, insentif nyata perlu
diberikan. Di antaranya: perlindungan terhadap pangan, benih, dan pengetahuan
tradisional; dukungan bagi praktik agroekologi adat dan perladangan gilir
balik; moratorium izin ekstraktif di wilayah pangan adat; integrasi pangan adat
dalam RTRW dan Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS); pembentukan koperasi
atau sejenis badan usaha milik adat, dana infrastruktur pangan adat; bantuan
sertifikasi produk lokal; dan lain sebagainya
Berbagai komunitas adat telah membuktikan kontribusinya
terhadap ketahanan pangan nasional. Di Kajang (Sulawesi Selatan), misalnya,
hutan adat menghasilkan nilai ekonomi pangan Rp 28,9 miliar/tahun. Di Haruku
(Maluku), sistem Sasi Laut menjaga ekosistem dan menghasilkan rata-rata Rp 125
miliar/tahun dari hasil laut (khususnya teripang dan ikan).
“Pangan adat terbukti mengurangi ketergantungan impor dan
memperluas sumber pangan nasional. Sistemnya berbasis konservasi dan keadilan
ekologi,” tambah Burhanudin.
Memulihkan sistem pangan adat berarti memastikan pengetahuan
turun-temurun tetap hidup, membangun kebanggaan identitas lokal, dan
menghidupkan solidaritas sosial yang selama ini terkikis oleh modernisasi.
“Pangan adat adalah simbol kemandirian bangsa, jalan
menuju kedaulatan pangan yang berkelanjutan dan tidak bergantung pada pasar
global,” pungkas Burhanudin.
.jpg)

.jpg)

.jpg)
.jpg)
.jpg)
.jpg)
.jpg)

.jpg)

