- Pandutani Jajaki Kerja Sama dengan Perusahaan Eskavator Terbesar Asal China, PT Sany Perkasa
- JPO I Gusti Ngurah Rai Meningkatkan Kenyamanan Penumpang dan Aksesbilitas Bandara
- Menko AHY Dorong Digitalisasi dan Optimasi Bandara
- Menkop Resmikan Destinasi Wisata Bukit Manik Indonesia di Bogor
- Kemenkop Siap Fasilitasi Gakoptindo Jalin Kerja Sama dengan BGN Untuk Masuk Program MBG
- Mendes: Tidak Boleh Kurang, 20 Persen Dana Desa Digunakan Untuk Ketahanan Pangan
- Kejar Swasembada Pangan, Mentan dan Kapolri Tanam Jagung Serentak 1 Juta Hektare di 19 Provinsi
- Laporan Konflik Agraria Sepanjang 2024
- BRIN dan IRD Prancis Teliti Dampak Perikanan Rumpon Tuna Sirip Kuning
- Rekor Baru Bitcoin: Imbas dari Pelantikan Donald Trump?
Desa dan Bank
Bandung Mawardi
Tukang Kliping dan Bapak Rumah Tangga
UANG masih masalah terbesar abad
XXI. Di Indonesia, tahun-tahun sulit itu merujuk duit. Orang-orang bingung
dalam mencari uang. Usaha mencari pekerjaan sering sia-sia. Bekerja dengan gaji
atau upah kecil menjadikan hidup keseharian bernada sulit. Uang memicu pusing
24 jam tanpa ada jawaban jelas. Hari-hari terus berdatangan. Duit belum tentu
ikut datang. Uang tak pernah berjanji mampir di tangan.
Baca Lainnya :
- Dicari, Periset Ekspedisi Biodiversitas di Kalimantan0
- Petani: Berita dan Puisi0
- Menko AHY Pastikan Semua Elemen Siap Layani Masyarakat Selama Libur Nataru0
- Dosen Ilkom UNY Beri Pelatihan Pelayanan Prima Bagi Pimpinan Cabang Muhammadiyah Depok0
- Kota dan Perkara Makan0
Masalah uang diusahakan mendapat jawaban-jawaban dari
pemerintah. Jawaban biasa samar. Orang-orang merasa dikondisikan memberikan
jawaban dalam jebakan benar dan salah. Jawaban menimbulkan repot dan petaka itu
“pinjam”. Sekian tahun belakangan, “pinjam” terbukti menghebohkan dan mencipta
pusing negara. Kehebohan terbesar berjudul pinjol. Kini, istilah digantikan
dengan pindar.
Heboh berkepanjangan melalui rentenir. Sejak masa kolonial,
rentenir itu telah mencipta drama besar, terselenggara sampai sekarang. Di Kompas,
10 Desember 2024, Siwi Nugraheni memberi peringatan bertajuk “Melepas Jerat
Rentenir di Perdesaan”. Ia tak sedang membahas sejarah tapi Indonesia mutakhir.
Ia mengingatkan dampak banke (bank keliling). Penjelasan
diajukan: “Banke tak hanya menjerat warga di perkotaan, tetapi juga di
perdesaan. Bahkan, peluang banke beroperasi di perdesaan dianggap lebih tinggi
ketimbang di perkotaan. Sebab, akses warga desa pada lembaga keuangan formal
bisa dikatakan lebih sulit dibandingkan warga perkotaan. Dengan kemudahan
proses peminjaman (kredit tanpa agunan, dalam jumlah berapa pun, syarat
peminjaman yang mudah), bank keliling menjadi pilihan menarik bagi warga perdesaan
dalam mengatasi keterbatasan finansial mereka, meski dengan risiko bunga yang
mencekik.”
Ia menemukan persoalan-persoalan uang dan “pinjam” di
desa-desa. Keluhan perangkat desa atas perangkap atau jeratan bank keliling
membutuhkan jawaban: cepat dan tuntas. Siwi Nugraheni menganjurkan pemajuan
literasi keuangan di perdesaan agar warga dapat mengetahui sumber dana bank
secara legal. Pengenalan dan penjelasan tentang bank atau lembaga finansial
bukan jawaban tunggal agar warga tak terpikat bank keliling.
Kini, kita membawa peringatan dan anjuran itu bertemu dengan
masa lalu. Di buku berjudul Penoendjoek Oentoek Mengatoer, Mengoeasai, dan
Memeriksa Pekerdjaan Bank Desa (1917), OP Besseling menjelaskan: “Bank-bank
desa itoe baharoe moelai diadakan ditahoen 1906. Oleh karena moelai dari waktoe
itoe banjaknja selaloe bertambah-tambah djoega dan makin bertambah faedahnja,
maka perloelah seboeah kitab penoendjoek oentoek bank desa.”
Kita mungkin tak pernah mengira mengenai bank dan desa
berlatar masa kolonial. Pada awal abad XX, tanah jajahan sudah mengenalkan
gagasan lembaga keuangan di desa. Lembaga keuangan bernama Bank Desa jarang
terbaca dalam lembaran-lembaran sejarah di Indonesia. Babak sejarah dapak
menjadi rujukan untuk mengulas desa dan bank (keliling) berlatas abad XXI.
OP Besseling menjelaskan: “Adapoen bank desa itoe adalah
doea matjam, jaitoe bank desa boeat dagang dan bank desa boeat tani. Bank desa
boeat dagang jaitoe bermaksoed pertama-tama akan memberi oeang pada orang-orang
desa jang mendapat izin boeat pindjam, goena bekerdja dagang atau lain
pekerdjaan. Sedang bank desa boeat tani itoe goenanja boeat memberi pindjam
goena keperloean peroesahaan tanah (tani).”
Keberadaan Bank Desa untuk mengajak warga membuat usaha
dalam bentuk pendanaan legal. Mereka bisa membuat peminjaman menggunakan
kaidah-kaidah dan perhitungan faedah. Bank Desa meladeni usaha dagang dan tani.
Kesadaran uang dan bank di desa memang telat dalam
pengisahan Indonesia. Dulu, kita sedikit mendapat pengisahan dalam Hikajat
Kadiroen (1920) gubahan Kadiroen dan novel berjudul Perawan Desa
(1929) gubahan WR Soepratman. Cerita berlatar desa, menampilkan para petani
dalam kebingungan mengatasi kemiskinan dan pikat impian kemakmuran.
Mereka dipusingkan uang. Kebutuhan keluarga jarang terpenuhi
dari usaha tani. Tindakan pinjam uang atau gadai itu biasa. Di novel Perawan
Desa, cangkul atau alat pertanian nekat digadaikan agar mendapat uang. Semaoen
melalui cerita bermaksud menebar propaganda kaum serakah uang sengaja
memiskinkan petani dan buruh. Sejarah sedikit teringatkan melalui novel.
Kita kembali menilik penjelasan dalam buku susunan OP
Besseling: “Akan tetapi, baiklah orang diberi nasihat akan memberi wang
simpanan di bank-bank ketjil, jang soedah mempoenjai kekoeatan jang bersih
(tiada bertjampoeran) dan telah bertahoen-tahoen baik djalannja. Barangkali
bisa djadi djoega kalau bank-bank jang soedah terpertjaja begitoe didjadikan
toekang wang (kassiernja) kas desa.”
“Pertama-tama djika desa-desa itoe mempoenjai hasil jang
tetap dan keloearnja wang djoega telah teratoer. Boleh djadi djoega kalau bank
desa dipergoenakan boeat tempat menjimpannja wangnja orang-orang jang soeka
menitipkan (menaboeng, njelengi) wangnja di bank-bank afdeeling. Wang simpanan
itoe dimasoekkan di dalam boekoe simpanan ketjil, jang diberikan kepada jang
poenja wang.” Di situ, warga desa tak sekadar diceritakan sebagai peminjam uang
dalam usaha dagang dan petani. Warga desa pun berhak menabung di bank.
Jejak bank dalam sejarah bisa terbaca melalui berkala
terbitan Mangkunegaran, Solo (1929). Di situ, kita membaca “statuten” atau
peraturan Prijaji Bank di Mangkunegaran. Pengertian dan dampak bank dimengerti
kalangan terhormat di Solo. Penamaan resmi: “Prijaji Bank Mangkoenegaran”. Bank
berurusan “taboengan” dan “pindjeman”. Kita mudah mengerti bank untuk kalangan
“prijaji”. Kita tak lagi berpikiran tentang petani. Pada masa 1920-an,
pendirian bank di Mangkunegaran menunjukkan kesadaran uang dan lembaga modern
terpengaruh Barat.
Kita mendapat keterangan dalam masalah pinjam: “Oewang
pindjeman tidak bolih lebih dari ampat kalinja blandja jang diterima saben
boelannja… Oewang pindjeman itoe misti dikoembalikan didalem tempo anam,
doewabelas, delapan belas atau doewa poeloeh ampat boelan, jang banjaknja
pembajaran tiap-tiap boelan sama, dan saben boeln teroes membajar. Hal itu
terserah kehendak jang minta pindjem dan menoeroet timbangan pengoeroes.”
Buku dan berkala lawas itu mengingatkan siasat hidup
orang-orang di desa dan Mangkunegaran (Solo) masa kolonial. Mereka berkenalan
dengan lembaga bank dan berpikir uang dalam arus modernitas. Kesilaman itu
mungkin tak terlalu berkaitan (langsung) dengan lakon rentenir atau bank
keliling masih panen untung besar di perdesaan. Kita sekadar membuka
halaman-halaman ingatan tentang bank telah turut meramaikan nasib penduduk di
tanah jajahan awal abad XX. Begitu.