Desa dan Bank

By PorosBumi 08 Jan 2025, 08:21:18 WIB Tilikan
Desa dan Bank

Bandung Mawardi

Tukang Kliping dan Bapak Rumah Tangga


UANG masih masalah terbesar abad XXI. Di Indonesia, tahun-tahun sulit itu merujuk duit. Orang-orang bingung dalam mencari uang. Usaha mencari pekerjaan sering sia-sia. Bekerja dengan gaji atau upah kecil menjadikan hidup keseharian bernada sulit. Uang memicu pusing 24 jam tanpa ada jawaban jelas. Hari-hari terus berdatangan. Duit belum tentu ikut datang. Uang tak pernah berjanji mampir di tangan.

Baca Lainnya :

Masalah uang diusahakan mendapat jawaban-jawaban dari pemerintah. Jawaban biasa samar. Orang-orang merasa dikondisikan memberikan jawaban dalam jebakan benar dan salah. Jawaban menimbulkan repot dan petaka itu “pinjam”. Sekian tahun belakangan, “pinjam” terbukti menghebohkan dan mencipta pusing negara. Kehebohan terbesar berjudul pinjol. Kini, istilah digantikan dengan pindar.

Heboh berkepanjangan melalui rentenir. Sejak masa kolonial, rentenir itu telah mencipta drama besar, terselenggara sampai sekarang. Di Kompas, 10 Desember 2024, Siwi Nugraheni memberi peringatan bertajuk “Melepas Jerat Rentenir di Perdesaan”. Ia tak sedang membahas sejarah tapi Indonesia mutakhir.

Ia mengingatkan dampak banke (bank keliling). Penjelasan diajukan: “Banke tak hanya menjerat warga di perkotaan, tetapi juga di perdesaan. Bahkan, peluang banke beroperasi di perdesaan dianggap lebih tinggi ketimbang di perkotaan. Sebab, akses warga desa pada lembaga keuangan formal bisa dikatakan lebih sulit dibandingkan warga perkotaan. Dengan kemudahan proses peminjaman (kredit tanpa agunan, dalam jumlah berapa pun, syarat peminjaman yang mudah), bank keliling menjadi pilihan menarik bagi warga perdesaan dalam mengatasi keterbatasan finansial mereka, meski dengan risiko bunga yang mencekik.”

Ia menemukan persoalan-persoalan uang dan “pinjam” di desa-desa. Keluhan perangkat desa atas perangkap atau jeratan bank keliling membutuhkan jawaban: cepat dan tuntas. Siwi Nugraheni menganjurkan pemajuan literasi keuangan di perdesaan agar warga dapat mengetahui sumber dana bank secara legal. Pengenalan dan penjelasan tentang bank atau lembaga finansial bukan jawaban tunggal agar warga tak terpikat bank keliling.

Kini, kita membawa peringatan dan anjuran itu bertemu dengan masa lalu. Di buku berjudul Penoendjoek Oentoek Mengatoer, Mengoeasai, dan Memeriksa Pekerdjaan Bank Desa (1917), OP Besseling menjelaskan: “Bank-bank desa itoe baharoe moelai diadakan ditahoen 1906. Oleh karena moelai dari waktoe itoe banjaknja selaloe bertambah-tambah djoega dan makin bertambah faedahnja, maka perloelah seboeah kitab penoendjoek oentoek bank desa.”

Kita mungkin tak pernah mengira mengenai bank dan desa berlatar masa kolonial. Pada awal abad XX, tanah jajahan sudah mengenalkan gagasan lembaga keuangan di desa. Lembaga keuangan bernama Bank Desa jarang terbaca dalam lembaran-lembaran sejarah di Indonesia. Babak sejarah dapak menjadi rujukan untuk mengulas desa dan bank (keliling) berlatas abad XXI.

OP Besseling menjelaskan: “Adapoen bank desa itoe adalah doea matjam, jaitoe bank desa boeat dagang dan bank desa boeat tani. Bank desa boeat dagang jaitoe bermaksoed pertama-tama akan memberi oeang pada orang-orang desa jang mendapat izin boeat pindjam, goena bekerdja dagang atau lain pekerdjaan. Sedang bank desa boeat tani itoe goenanja boeat memberi pindjam goena keperloean peroesahaan tanah (tani).”

Keberadaan Bank Desa untuk mengajak warga membuat usaha dalam bentuk pendanaan legal. Mereka bisa membuat peminjaman menggunakan kaidah-kaidah dan perhitungan faedah. Bank Desa meladeni usaha dagang dan tani.

Kesadaran uang dan bank di desa memang telat dalam pengisahan Indonesia. Dulu, kita sedikit mendapat pengisahan dalam Hikajat Kadiroen (1920) gubahan Kadiroen dan novel berjudul Perawan Desa (1929) gubahan WR Soepratman. Cerita berlatar desa, menampilkan para petani dalam kebingungan mengatasi kemiskinan dan pikat impian kemakmuran.

Mereka dipusingkan uang. Kebutuhan keluarga jarang terpenuhi dari usaha tani. Tindakan pinjam uang atau gadai itu biasa. Di novel Perawan Desa, cangkul atau alat pertanian nekat digadaikan agar mendapat uang. Semaoen melalui cerita bermaksud menebar propaganda kaum serakah uang sengaja memiskinkan petani dan buruh. Sejarah sedikit teringatkan melalui novel.

Kita kembali menilik penjelasan dalam buku susunan OP Besseling: “Akan tetapi, baiklah orang diberi nasihat akan memberi wang simpanan di bank-bank ketjil, jang soedah mempoenjai kekoeatan jang bersih (tiada bertjampoeran) dan telah bertahoen-tahoen baik djalannja. Barangkali bisa djadi djoega kalau bank-bank jang soedah terpertjaja begitoe didjadikan toekang wang (kassiernja) kas desa.”

“Pertama-tama djika desa-desa itoe mempoenjai hasil jang tetap dan keloearnja wang djoega telah teratoer. Boleh djadi djoega kalau bank desa dipergoenakan boeat tempat menjimpannja wangnja orang-orang jang soeka menitipkan (menaboeng, njelengi) wangnja di bank-bank afdeeling. Wang simpanan itoe dimasoekkan di dalam boekoe simpanan ketjil, jang diberikan kepada jang poenja wang.” Di situ, warga desa tak sekadar diceritakan sebagai peminjam uang dalam usaha dagang dan petani. Warga desa pun berhak menabung di bank.

Jejak bank dalam sejarah bisa terbaca melalui berkala terbitan Mangkunegaran, Solo (1929). Di situ, kita membaca “statuten” atau peraturan Prijaji Bank di Mangkunegaran. Pengertian dan dampak bank dimengerti kalangan terhormat di Solo. Penamaan resmi: “Prijaji Bank Mangkoenegaran”. Bank berurusan “taboengan” dan “pindjeman”. Kita mudah mengerti bank untuk kalangan “prijaji”. Kita tak lagi berpikiran tentang petani. Pada masa 1920-an, pendirian bank di Mangkunegaran menunjukkan kesadaran uang dan lembaga modern terpengaruh Barat.

Kita mendapat keterangan dalam masalah pinjam: “Oewang pindjeman tidak bolih lebih dari ampat kalinja blandja jang diterima saben boelannja… Oewang pindjeman itoe misti dikoembalikan didalem tempo anam, doewabelas, delapan belas atau doewa poeloeh ampat boelan, jang banjaknja pembajaran tiap-tiap boelan sama, dan saben boeln teroes membajar. Hal itu terserah kehendak jang minta pindjem dan menoeroet timbangan pengoeroes.”

Buku dan berkala lawas itu mengingatkan siasat hidup orang-orang di desa dan Mangkunegaran (Solo) masa kolonial. Mereka berkenalan dengan lembaga bank dan berpikir uang dalam arus modernitas. Kesilaman itu mungkin tak terlalu berkaitan (langsung) dengan lakon rentenir atau bank keliling masih panen untung besar di perdesaan. Kita sekadar membuka halaman-halaman ingatan tentang bank telah turut meramaikan nasib penduduk di tanah jajahan awal abad XX. Begitu.




Write a Facebook Comment

Tuliskan Komentar anda dari account Facebook

View all comments

Write a comment