- Hilirisasi Grup MIND ID, Transformasi Pertambangan Berbasis Nilai Tambah
- Cerita Eks Wartawan Jualan Cabai yang Diborong Mentan Amran dari Daerah Bencana Aceh
- Kepungan Bencana Ekologis dan Keharusan Reformasi Fiskal Sektor Ekstraktif
- Pertumbuhan Ekonomi 2026 Ditaksir 5 Persen, WP Badan Harus Siap Diperiksa
- Ikhtiar Nyata SDG Academy Indonesia: Konektivitas Data, Kebijakan, dan Kepemimpinan
- Kembangkan Potensi Anak, LPAM Mirabel dan Ilmu Politik UNY Gelar Peringatan Hari Ibu
- Sambut Nataru dan HAB Kemenag ke-80, PD IPARI Karanganyar Bersih-Bersih Rumah Ibadah Lintas Agama
- Penguatan Sektor Riil Kunci Capai Target Pertumbuhan Ekonomi 5,4 Persen di 2026
- Musim Mas Dukung Pemkab Deli Serdang Hadirkan Ruang Publik Bersama melalui Pembangunan Alun-Alun
- Sidang Pengeroyokan di Tanjungpinang, Korban Soroti Terdakwa Tak Ditahan
Hashim Djojohadikusumo: Hilirisasi Harus Sejalan dengan Pembenahan SDM dan Penerimaan Negara

Keterangan Gambar : Hilirisasi sumber daya alam, termasuk timah, tidak boleh berdiri sendiri tanpa dibarengi pembangunan kualitas manusia. (foto: wahyono)
JAKARTA
—
Indonesia memiliki peluang besar untuk naik kelas dan menjadi negara maju,
namun momentum hilirisasi harus dimanfaatkan bersamaan dengan pembenahan
kualitas sumber daya manusia dan sistem penerimaan negara. Tanpa itu, kekayaan
sumber daya alam yang dimiliki Indonesia berisiko habis tanpa meninggalkan
fondasi ekonomi yang kuat bagi generasi mendatang.
Utusan Khusus Presiden
Bidang Energi dan Iklim, Hashim Djojohadikusumo menyampaikan pandangan tersebut
dalam peluncuran buku Indonesia Naik Kelas karya Wakil Direktur Utama MIND ID
Dani Amrul Ichdan. Dalam kesempatan itu, Hashim menyampaikan apresiasi dan
ucapan selamat kepada Dani Amrul Ichdan atas peluncuran buku yang mengangkat
pentingnya hilirisasi sebagai strategi meningkatkan nilai tambah ekonomi
nasional.
Menurut Hashim, tema yang
diangkat dalam buku tersebut relevan dengan tantangan struktural yang dihadapi
Indonesia saat ini. Hilirisasi sumber daya alam merupakan langkah penting untuk
menambah nilai tambah dari anugerah yang dimiliki Indonesia, mulai dari
mineral, pertanian, hingga kekayaan laut seperti rumput laut dan padang lamun.
Namun, ia mengingatkan bahwa hilirisasi sumber daya alam tidak boleh berdiri
sendiri tanpa dibarengi pembangunan kualitas manusia.
Baca Lainnya :
- Peningkatan Kapasitas Industri dengan Hilirisasi Jadi Kunci Indonesia Naik Kelas0
- Royalindo Investa Tergiur Cuan Gula Hinga Kecerdasan Buatan 0
- KNKG Nilai Laporan Tahunan Menthobi Karyatama Cerminkan Praktik Berkelanjutan0
- OJK Minta Sederhanakan Proses Klaim Asuransi Korban Bencana di Sumatera 0
- OJK Resmi Wajibkan Marjin Kripto Miliki Jaminan0
“Hilirisasi itu intinya
menambah nilai tambah. Tapi selain sumber daya alam, ada sumber daya manusia,
dan terus terang kualitas SDM kita masih tertinggal jauh,” kata Hashim.
Ia menyoroti posisi
Indonesia dalam berbagai peringkat pendidikan internasional, termasuk PISA,
yang masih berada di papan bawah. Menurut Hashim, kondisi tersebut menjadi
sinyal bahwa investasi besar pada pendidikan dan riset belum sepenuhnya
efektif, meskipun anggaran pendidikan telah mencapai 20% dari APBN. Ia
menekankan bahwa porsi riset dan pengembangan Indonesia yang masih sekitar 0,3%
dari PDB sangat tertinggal dibanding negara-negara maju.
Hashim kemudian
membandingkan perjalanan ekonomi Indonesia dengan Korea Selatan. Berdasarkan
data Bank Dunia, pada 1960 ekonomi Indonesia berada di atas Korea Selatan.
Namun saat ini, pendapatan per kapita Indonesia hanya sekitar sepersepuluh dari
Korea Selatan. Ia menilai perbedaan tersebut sepenuhnya ditentukan oleh
kualitas manusia, bukan sumber daya alam.
“Korea Selatan hampir
tidak punya sumber daya alam. Tapi manusianya unggul. Itu sebabnya mereka
melompat jauh, sementara kita tertinggal,” ujarnya.
Selain isu sumber daya
manusia, adik Presiden Prabowo Subianto ini juga menyoroti lemahnya sistem
penerimaan negara Indonesia. Rasio penerimaan pajak, royalti, dan PNBP terhadap
produk domestik bruto masih berada di kisaran 9%–10% dan relatif stagnan dalam
satu dekade terakhir. Padahal, negara-negara lain seperti Kamboja berhasil
meningkatkan rasio penerimaan negaranya secara signifikan dalam periode yang
sama.
“Enam persen kelihatannya
kecil, tapi enam persen dari PDB itu sekitar Rp1.500 triliun. Dengan angka itu,
Indonesia seharusnya tidak defisit, malah bisa surplus,” kata Hashim.
Ia juga mengungkapkan
besarnya ekonomi abu-abu atau ekonomi yang tidak tercatat dalam sistem resmi,
yang menurut Bank Dunia mencapai sekitar 35% dari total aktivitas ekonomi
nasional. Hashim menilai praktik transaksi tunai tanpa pencatatan masih sangat
luas terjadi di masyarakat, mulai dari sektor jasa kecil hingga konsumsi
sehari-hari, sehingga potensi penerimaan negara banyak yang hilang.
Hashim menyebut
digitalisasi ekonomi dan sistem pembayaran sebagai langkah penting untuk
menarik aktivitas ekonomi tersebut masuk ke dalam sistem formal. Dengan begitu,
basis pajak dapat diperluas dan penerimaan negara meningkat tanpa harus
menaikkan tarif pajak.
Menurut Hashim,
Indonesia sesungguhnya adalah negara kaya dengan potensi ekonomi yang jauh
lebih besar dari angka resmi yang tercatat saat ini. Jika tata kelola
penerimaan negara, kualitas aparatur, dan sistem ekonomi dapat dibenahi,
Indonesia berpeluang menjadi negara surplus dan memiliki daya dukung fiskal
yang kuat.
Dalam konteks itu,
Hashim menilai buku Indonesia Naik Kelas sebagai pengingat bahwa hilirisasi
bukan sekadar proyek ekonomi, melainkan bagian dari upaya menyeluruh untuk
membangun fondasi bangsa.
“Hilirisasi harus
berjalan seiring dengan peningkatan kualitas manusia dan pembenahan sistem
negara. Kalau itu dilakukan, Indonesia punya semua syarat untuk benar-benar
naik kelas,” ujarnya. (Wahyono)
.jpg)
1.jpg)

.jpg)

6.jpg)
.jpg)
1.jpg)
.jpg)

.jpg)

