- IDXCarbon Jajakan Unit Karbon 90 Juta Ton Co2e Hingga Ke Brazil
- OJK Dinilai Memble, Kini Hasil Penyelidikan Investasi Telkom Pada GOTO Ditunggu
- Suara yang Dikenal dan yang Tidak Dikenal
- Sampah Akan Jadi Rebutan Sebagai Sumber Bahan Bakar
- Tenun Persahabatan: Merajut Warisan India dan Indonesia dalam Heritage Threads
- Manfaat Membaca yang Penting Kamu Ketahui
- Kisah Hanako, Koi di Jepang yang Berumur Lebih dari 2 Abad
- Hadiri Pesta Rakyat 2 di Manado, AHY Tegaskan Pentingnya Pemerataan Pembangunan Kewilayahan
- PFI Kepri Sambangi KSOP Batam, Perkuat Sinergi dan Semangat Foto Jurnalistik Maritim
- Belajar dari Makkah: Potensi Bio-Energi di Balik Sistem Pengolahan Limbah Modern
Pasar, Novel dan Harapan

M Ghaniey Al Rasyid
Penulis lepas, pengeliping dan penikmat sastra, tinggal
di Surakarta
Baca Lainnya :
- Buku Pelajaran dan Ketokohan0
- Ritual Pemindahan Benda Pusaka di Situs Kabuyutan Ciburuy Garut0
- Ratusan Jurnalis Terkemuka Dunia Tuntut Akses Masuk ke Gaza0
- AMAN Kecam Perusakan Situs Masyarakat Adat di Minahasa Tenggara0
- Lokasi Ini Diyakini Titik Nabi Musa Membelah Laut Merah dan Menenggelamkan Firaun 0
PASAR sebuah tempat di mana
kebahagian dibentuk. Orang beramai-ramai mengais kebutuhan di tengah hiruk
pikuk pasar. Berjejal bersama pengunjung hingga menghidu aroma khas yang
menyembul di sela-sela kubis dan potongan daging ayam.
Pasar hadir, acap kali tak serupa. Meski demikian tujuannya
ialah sama, menyediakan penawaran mengikat permintaan, kurang lebih demikian
bila kita menyitir maksud equilibrium pasar. Dari analisa itu, memberi tahu,
tingkat kenormalan sebuah pasar, apakah sejurus dengan permintaan dan penawaran
atau bahkan berbanding terbalik.
Kemudian, di Majalah Gatra, 19 Agustus 1995, dengan kertas
licin dan sedikit bergelombang terlampir. Pasar yang berlangsung tak seperti
pada umunya. Sebuah pasar yang mengapung diatas riak berkecipak menyodorkan
barand dagangan.
Di sebuah sampan, tergelatak hasil bumi. Ada jeruk, pisang,
cempedak, hingga selada air yang masih nampak segar. Lampiran kertas itu
mengajak pembaca menilik yang silam. Peringatan setengah abad republik dari
balik lensa kamera.
Potret pasar itu seakan bergeming, bahwa hiruk-pikuknya
menyuarakan tentang hidup. Di situ membicarakan tentang nilai, laba dan
pengharapan. Sejumput asa memenuhi kebutuhan. Kemudian persis di bawah foto,
secarik kalimat menuai maksud, ‘Bisnis tidak mengenal waktu dan tempat’.
Mafhum, bisnis dan pasar mempertemukan maksud jual dan beli.
Pasar-pasar menghidupkan bisnis. Bagi pedagang, aktivitasnya
ialaha harapan di esok nan penuh tanya. Bagi pengamat ekonomi, perdagangan itu,
nafkah negeri. Setiap tetes aktivitasnya ialah kesejahteraan.
Kemudian dalam buku novel gubahan Emile Zola berjudul Belly
of Paris, mengajak kita untuk menilik pasar. Pasar-pasar Eropa abad ke-18,
jauh berbeda dengan yang kiwari. “Sebuah gerobak penuh kubis dan gerobak lain
yang penuh kecang polong bergabung di Pont de Neuilly dengan dekapan gerobak
yang membawa wortel dan lomba dar Nanterre; kuda-kuda berjalan atas kehendak
sendiri kepala tertunuduk namun malas…”
Sebelum matari menyembul, para pedagang di Paris menembus
kabut tipis yang berselimut dingin. Aktivitasnya itu menaruh sejumput asa, bagi
generasi mendatang.
Novel itu menyigi tentang Paris yang silam. Mengangkat
nestapa akan kuasa, saat kudeta Napolen Luis Bonaparte pada Desember 1891,
membikin Paris cukup kelabakan. Florent pemeran utama dalam cerita, dikisahkan
menjadi korban. Ia melarikan diri dari camp siksa untuk hidup di tengah
hiruk-pikuk paris, termasuk di pasar Les Halles.
Florent yang lapar dan dipenuhi oleh trauma berat oleh siksa
rezim, terpekur di tengah hiruk-pikuk pasar Les Halles. Novel yang beraroma
sejarah itu, bergeming tentang makanan, politik dan pasar. Setelah runyam
silang-sengkarut kudeta, pasar begitu dinantikan. Dengan jeli, Zola bergeming,
bahwa pasar-pasar itu bekal kebahagian di meja makan. Sajian dan kenikmatannya
itu, bekal bila kemurungan soal ‘kuasa’ itu datang tanpa permisi.
Pelbagai komoditas di pasar bakal tersaji di meja makan.
Dapur mengepul bersama aroma memikat, menegaskan pentingnya fungsi pasar.
Mekanisme pasar lekat dalam sejarah manusia. Dapur yang mengepul membeberkan
kisah. Kisah tentang pasar yang menyediakan kebutuhan. Gemerincing koin
gemertak membentur laci pedagang.
Uang-uang hasil berdagang membisikkan harapan. Harapan
tentang hidup dari pasar dan silang-selangkarutnya. Sekumpulan modal itu
membentuk sebuah kerangka ekonomi. Sumitor Djojohadikusumo dalam Perkembangan
Pemikiran Ekonomi (Penerbit Yayasan Obor Indonesia, 1991), memberi tahu
kita tentang hiruk-pikuk perekonomian di Eropa pada masa yang dituliskan Zola.
Kata Sumitro aras perekonomian masyarakat waktu itu
terhitung majemuk. Ditandai oleh berlangsungnya aktivitas tukar menukar
(exchange) dalam transaksi jual beli pasar. Proses tukar-menukar produksi
barang mentah, tenaga kerja, barang modal dan dana modal. Dalam Belly of
Paris, di situ cukup lengkap membeberkan bagaiman sistem jual beli
berlangsung. Para pedagang yang diguyur koin emas hingga psikologis dan ekonomi
jauh hari sebelum Kahneman berujar.
Mirip yang dikisahkan oleh Zola, Sumitro membeberkan pula
penemuan faktor psikologi dalam perekonomia di pasar medio abad ke-19. Di
tengah pertukaran barang, disitu terselip rasa dalam memandang sebuah barang.
Barang-barang itu memiliki tingkat kebaruan dan keusangan tergantung dari
peniliknya.
Dalam segi psikologis, pihak peminta mempengaruhi perilaku
di pasaran. Berdasarkan pertimbangan pokok ini dikembangkan pengertian faedah
marginal (marginal utility, utility on the margin, faedah pada batas).
Para pembeli menentukan harga di dalam pasaran.
Para pengamat ekonomi itu menelisik di balik meja kerjanya.
Mereka menerka perilaku konsumsi di dalam pasar. Syahdan, pasar-pasar itu
kemudian dijadikan rujukan menentukan sikap dalam perkonomian dari waktu ke
waktu. Tempat yang acap kali ramai itu, mulanya hanya dijadikan tempat bertemu
memenuhi kebutuhan. Selanjutnya pasar-pasar itu berkembang menjadi penafsiran
lain yang lebih memukau.
Deng Xiaoping misalnya, di medio abad ke-20, ia menekankan
pasar sebagai tujuan utama dan mulia dalam menyongsong Republik Rakyat
Tiongkok. Tanah-tanah tak produktif dibikin sentra produksi yang tingkat
pembikinannya lebih dari pabrik-pabrik pada galibnya. Semua rakyat menganggukan
sepakat, sembari bergeming, ‘untuk republik’.
Pasar dalam benak Deng, ialah alat. Alat untuk menunjukkan
taji di atas lalu lalang perdagangan. Pasar baginya bukan hanya menjemput laba,
akan tetapi menaruh pengaruh terpatri, teringat dan diakui pembeli. Mafhum,
inisiatif itu kemudian jadi harapan, harapan yang kemudian diwujudkan hingga
kita mengetahui situasinya kiwari.
Pasar kemudian berkembang sedemikian rupa. Pasar tak hanya
ditilik dari hiruk pikuk yang berada di lokasi tertentu, akan tetapi
pasar-pasar itu kemudian berbenah pakaian seiring perkembangan zaman. Suatu hal
yang tak pernah luput dari harapan ialah, pasar-pasar ingin selalu ramai,
meskipun kini para pembali dirundung renung sambil menatap isi kantungnya.
Sekian.
.jpg)

.jpg)

.jpg)
.jpg)
.jpg)
.jpg)
.jpg)

.jpg)

