Transformasi Fokus Penelitian Ekosistem Gambut di Tengah Ancaman Degradasi

By PorosBumi 05 Agu 2025, 11:21:12 WIB Sains
Transformasi Fokus Penelitian Ekosistem Gambut di Tengah Ancaman Degradasi

CIBINONG - Indonesia memiliki hutan gambut terluas ketiga di dunia dan terbesar di Asia, yaitu sekitar 13,4 juta hektare, dengan fungsi ekologis, ekonomi, dan sosial yang sangat penting. Baik pada tingkat lokal, nasional, maupun global. Tren riset ekosistem gambut sangat dinamis karena kondisi gambut yang mulai terdegradasi.

“Riset lintas bidang seperti ilmu lingkungan, bumi, dan biologi mendominasi kontribusi Indonesia dalam lanskap ilmu global,” jelas Kepala Pusat Riset Ekologi BRIN, Asep Hidayat pada Workshop Solusi Iklim Alami (NCS) Lahan Gambut 2025 bertema “Peatlands and Natural Climate Solutions: Science, Progress, and Partnerships for Indonesia”, Kamis (31/7) di Swiss-Belinn Hotel Bogor. Kegiatan ini merupakan bagian dari kerja sama riset antara Pusat Riset Ekologi dan Etnobiologi (PREE) BRIN dan Yayasan Konservasi Alam Nusantara (YKAN).

Asep melanjutkan, pentingnya kolaborasi antara ilmuwan lokal, pakar internasional, dan pembuat kebijakan, serta investasi berkelanjutan dalam infrastruktur riset untuk menjawab kesenjangan dan menghasilkan temuan baru.

Baca Lainnya :

“Untuk memahami sepenuhnya dinamika ekosistem yang unik dan dampak global dari lahan gambut ini, kita harus mendorong penelitian kolaboratif antara ilmuwan lokal, pakar internasional, dan pembuat kebijakan,” tutur Asep.

Asep juga menjelaskan kesenjangan utama penelitian lahan gambut untuk benar-benar membuka potensi lahan gambut Indonesia dan berkontribusi secara komprehensif untuk ilmu pengetahuan. Terdapat pula kebutuhan yang harus terus dilanjutkan terkait investasi infrastruktur riset untuk menjawab gap dan menghasilkan keterbaruan atau/novelty.

Pada kesempatan yang sama, Senior Manager Karbon Kehutanan dan Iklim Yayasan Konservasi Alam Nusantara (YKAN) Nisa Novita mengatakan, dari hasil kajian bersama BRIN dan Kementerian Kehutanan, sekitar 75% dari potensi mitigasi solusi iklim alam berasal dari konservasi dan penelitian gambut.

“Setengah dari tanah gambut Indonesia sudah rusak atau terbakar. Jika kita tidak bertindak sekarang, kita akan kehilangan salah satu sekutu iklim alam paling kuat,” kata Nisa mengingatkan.

Nisa juga menggarisbawahi pentingnya kolaborasi jangka panjang. Ia menyebut YKAN telah bekerja sama dengan BRIN selama lebih dari empat tahun dalam riset dan implementasi restorasi gambut, khususnya di Kalimantan Barat. 

“Acara hari ini adalah sharing session untuk para peneliti dari BRIN, YKAN dan bahkan para project implementer. Kita bisa mendapatkan manfaat dari apa yang telah dilakukan dan juga tentang sains yang terbaru saat ini dari berbagai partner kita. Kami juga berharap YKAN dan BRIN tetap selalu solid terutama dalam memajukan sains di lahan gambut tropis,” harapnya.

Sementara itu Wahyu Catur Adinugroho Peneliti Pusat Riset Ekologi BRIN, dalam paparannya berjudul “Biomass Carbon Stock Uncertainty in Tropical Peatland System” menegaskan, lahan gambut tropis menyimpan cadangan karbon yang sangat besar dan memainkan peran penting dalam mitigasi perubahan iklim global.

“Estimasi cadangan karbon yang akurat di lahan gambut Indonesia sangat krusial sebagai bagian dari sistem Measurement, Reporting, and Verification (MRV) Gas Rumah Kaca (GRK). Sistem ini dibutuhkan untuk mendukung pencapaian target iklim nasional, termasuk FOLU Net Sink 2030,” tegasnya.

Namun, lanjutnya, hingga kini estimasi tersebut masih menghadapi tantangan besar. Menurut Wahyu, Variasi tutupan lahan, kedalaman gambut, keterbatasan data lapangan, hingga gangguan seperti kebakaran menyebabkan tingginya ketidakpastian dalam perhitungan karbon.

”Salah satu temuan penting dari kolaborasi YKAN dan BRIN menunjukkan bahwa tanah gambut menyumbang sekitar 86% dari total cadangan karbon ekosistem (Total Ecosystem Carbon Stock/TECS). Sementara biomassa di atas tanah hanya sekitar 10%,” paparya.

Studi ini juga mencatat, ujar Wahyu, bahwa situs dengan gambut dalam (lebih dari 7 meter) memiliki TECS rata-rata sekitar 4.620 MgC/ha. Hal ini menjadikannya salah satu ekosistem dengan cadangan karbon terbesar yang pernah tercatat.

“Melihat potensi tersebut, kami menekankan perlunya peningkatan teknologi pemantauan seperti penginderaan jauh, pengumpulan data lapang, dan pengembangan faktor emisi spesifik. Di samping itu juga pentingnya kolaborasi antara peneliti, pemerintah, dan mitra konservasi. Hal ini untuk memastikan bahwa hasil riset dapat diterapkan secara nyata dalam kebijakan dan praktik pengelolaan lahan yang lebih baik,” ungkapnya.  (sh.wt,mul.bh/ed:ade, ns)

 




Write a Facebook Comment

Tuliskan Komentar anda dari account Facebook

View all comments

Write a comment