- Lakon Pandawa Nawasena: Tradisi Wayang Orang dalam Sentuhan Lintas Generasi
- Jejak Megalitik Pasemah: Ruang Sakral dan Warisan Leluhur
- Deklarasi Sira, Satu Suara Pemuda Adat untuk Para Pemimpin Dunia
- Mendes Buka Serentak 1.000 Musdesus, Susun Proposal Bisnis Untuk Pengajuan Modal ke Himbara
- Indonesia Lumbung Pangan Dunia: Bukan Hanya Beras, Bahan Pokok Lainnya Juga Sudah Tercukupi
- Masyarakat Adat Suku Taa Mendesak Perusahaan Sawit Tinggalkan Wilayah Adat di Sulawesi Tengah
- Seminar Nasional di UNY Bahas Pembaruan Hukum Acara Pidana
- Menteri Kehutanan Bahas Konservasi Badak dan Ekowisata dengan Edge Group dan Dr Niall McCann
- Strategi Bijak Berinvestasi Emas
- LindungiHutan Perkuat Peran Petani dalam Program Penghijauan dan Ketahanan Iklim
Transformasi Fokus Penelitian Ekosistem Gambut di Tengah Ancaman Degradasi
.jpg)
CIBINONG - Indonesia memiliki
hutan gambut terluas ketiga di dunia dan terbesar di Asia, yaitu sekitar 13,4
juta hektare, dengan fungsi ekologis, ekonomi, dan sosial yang sangat penting.
Baik pada tingkat lokal, nasional, maupun global. Tren riset ekosistem gambut
sangat dinamis karena kondisi gambut yang mulai terdegradasi.
“Riset lintas bidang seperti ilmu lingkungan, bumi, dan
biologi mendominasi kontribusi Indonesia dalam lanskap ilmu global,” jelas
Kepala Pusat Riset Ekologi BRIN, Asep Hidayat pada Workshop Solusi Iklim Alami
(NCS) Lahan Gambut 2025 bertema “Peatlands and Natural Climate Solutions:
Science, Progress, and Partnerships for Indonesia”, Kamis (31/7) di
Swiss-Belinn Hotel Bogor. Kegiatan ini merupakan bagian dari kerja sama riset
antara Pusat Riset Ekologi dan Etnobiologi (PREE) BRIN dan Yayasan Konservasi Alam
Nusantara (YKAN).
Asep melanjutkan, pentingnya kolaborasi antara ilmuwan
lokal, pakar internasional, dan pembuat kebijakan, serta investasi
berkelanjutan dalam infrastruktur riset untuk menjawab kesenjangan dan
menghasilkan temuan baru.
Baca Lainnya :
- Bendungan Cipanas Topang Ketahanan Pangan hingga Picu Pengembangan Bandara Kertajati0
- Pengalaman Berharga Mengarung Sungai Cisadane Bersama Tiga Jawara Petualang0
- Serikat Petani Indonesia Tegaskan Perjuangan Reforma Agraria dan Kedaulatan Pangan0
- Membumikan Kedaulatan Petani, SPI Sumsel Rancang Strategi Perlawanan Baru di Muswil III0
- Menteri PU Pastikan Bendungan Meninting Siap Tingkatkan Produktivitas Pertanian di Lombok Barat1
“Untuk memahami sepenuhnya dinamika ekosistem yang unik dan
dampak global dari lahan gambut ini, kita harus mendorong penelitian
kolaboratif antara ilmuwan lokal, pakar internasional, dan pembuat kebijakan,”
tutur Asep.
Asep juga menjelaskan kesenjangan utama penelitian lahan
gambut untuk benar-benar membuka potensi lahan gambut Indonesia dan
berkontribusi secara komprehensif untuk ilmu pengetahuan. Terdapat pula
kebutuhan yang harus terus dilanjutkan terkait investasi infrastruktur riset
untuk menjawab gap dan menghasilkan keterbaruan atau/novelty.
Pada kesempatan yang sama, Senior Manager Karbon Kehutanan
dan Iklim Yayasan Konservasi Alam Nusantara (YKAN) Nisa Novita mengatakan, dari
hasil kajian bersama BRIN dan Kementerian Kehutanan, sekitar 75% dari potensi
mitigasi solusi iklim alam berasal dari konservasi dan penelitian gambut.
“Setengah dari tanah gambut Indonesia sudah rusak atau
terbakar. Jika kita tidak bertindak sekarang, kita akan kehilangan salah satu
sekutu iklim alam paling kuat,” kata Nisa mengingatkan.
Nisa juga menggarisbawahi pentingnya kolaborasi jangka
panjang. Ia menyebut YKAN telah bekerja sama dengan BRIN selama lebih dari
empat tahun dalam riset dan implementasi restorasi gambut, khususnya di
Kalimantan Barat.
“Acara hari ini adalah sharing session untuk para peneliti
dari BRIN, YKAN dan bahkan para project implementer. Kita bisa mendapatkan
manfaat dari apa yang telah dilakukan dan juga tentang sains yang terbaru saat
ini dari berbagai partner kita. Kami juga berharap YKAN dan BRIN tetap selalu
solid terutama dalam memajukan sains di lahan gambut tropis,” harapnya.
Sementara itu Wahyu Catur Adinugroho Peneliti Pusat Riset
Ekologi BRIN, dalam paparannya berjudul “Biomass Carbon Stock Uncertainty in
Tropical Peatland System” menegaskan, lahan gambut tropis menyimpan cadangan
karbon yang sangat besar dan memainkan peran penting dalam mitigasi perubahan
iklim global.
“Estimasi cadangan karbon yang akurat di lahan gambut
Indonesia sangat krusial sebagai bagian dari sistem Measurement, Reporting, and
Verification (MRV) Gas Rumah Kaca (GRK). Sistem ini dibutuhkan untuk mendukung
pencapaian target iklim nasional, termasuk FOLU Net Sink 2030,” tegasnya.
Namun, lanjutnya, hingga kini estimasi tersebut masih
menghadapi tantangan besar. Menurut Wahyu, Variasi tutupan lahan, kedalaman
gambut, keterbatasan data lapangan, hingga gangguan seperti kebakaran
menyebabkan tingginya ketidakpastian dalam perhitungan karbon.
”Salah satu temuan penting dari kolaborasi YKAN dan BRIN
menunjukkan bahwa tanah gambut menyumbang sekitar 86% dari total cadangan
karbon ekosistem (Total Ecosystem Carbon Stock/TECS). Sementara biomassa di
atas tanah hanya sekitar 10%,” paparya.
Studi ini juga mencatat, ujar Wahyu, bahwa situs dengan
gambut dalam (lebih dari 7 meter) memiliki TECS rata-rata sekitar 4.620 MgC/ha.
Hal ini menjadikannya salah satu ekosistem dengan cadangan karbon terbesar yang
pernah tercatat.
“Melihat potensi tersebut, kami menekankan perlunya
peningkatan teknologi pemantauan seperti penginderaan jauh, pengumpulan data
lapang, dan pengembangan faktor emisi spesifik. Di samping itu juga pentingnya
kolaborasi antara peneliti, pemerintah, dan mitra konservasi. Hal ini untuk
memastikan bahwa hasil riset dapat diterapkan secara nyata dalam kebijakan dan
praktik pengelolaan lahan yang lebih baik,” ungkapnya. (sh.wt,mul.bh/ed:ade,
ns)
