Banjir Longsor di Batangtoru, Sumut: Sudah Lama Diingatkan, Sangat Nyata, Semua Bergeming

By PorosBumi 06 Des 2025, 23:30:21 WIB Tilikan
Banjir Longsor di Batangtoru, Sumut: Sudah Lama Diingatkan, Sangat Nyata, Semua Bergeming

Hendri Irawan

Pemimpin Redaksi Porosbumi.com

 

Baca Lainnya :

JAUH sebelum bencana longsor dan banjir meluluhlantakkan kawasan Batangtoru Tapanuli, Sumatera Utara, ancaman bencana alam di sana sudah kerap diingatkan terutama oleh para aktivis lingkungan, yang bahkan seperti tak bosan melakukan aksi menyikapi kerusakan alam Batangtoru,

Pernah, para aktivis melakukan aksi menggantung diri di atas jembatan sungai Batangtoru, sebagai simbol menolak Proyek PLTA Batangtoru, dan sempat pula beberapa kali aksi di luar negeri untuk kampanye penyelamatan orangutan Tapanuli. Tapi apalah daya, perlawanan yang dilakukan seperti sia-sia, dan proyek PLTA tetap berlanjut. Malah ijin amdal proyek PLTA sempat digugat ke pengadilan, karena tandatangan salah satu akademisi dipalsukan.

Pada 2017, saya bersama 12 jurnalis dari Jakarta berkesempatan masuk ke dalam kawasan hutan Batangtoru, investigasi orangutan Tapanuli yang terancam habitatnya akibat proyek pembangunan PLTA yang mengubah bentang alam kawasan Batangtoru. Demi proyek tersebut, bantaran sungai Batangtoru yang berkelok-kelok ditarik lurus dan dibuat terowongan bawah tanah.

Proyek PLTA Batangtoru memiliki terowongan bawah tanah sepanjang sekitar 13 kilometer dengan diameter 12 meter. Terowongan ini berfungsi mengalirkan air dari bendungan menuju power house untuk menggerakkan turbin. Akibat proyek ini, bagian hulu sungai Batangtoru menjadi dangkal, ribuan hektare sawah menjadi kering, dan sungai yang dangkal membuka akses dan memudahkan orang dari luar kawasan masuk ke dalam hutan memburu orangutan Tapanuli, memicu praktik ilegal loging, serta berbagai mega proyek dan aktivitas pengrusakan alam di bagian hulu.

Belum lagi aktivitas tambang emas Martabe dekat kawasan, makin memperparah kerusakan alam di sana. Waktu saya ke sana, dua bukit sudah rata/hilang ditambang, dan giliran ditambang bukit yang ketiga. Tanah bercampur lumpur akibat aktivitas tambang kerap melimpas ke jalan.

Isu soal terancamnya habitat orangutan Tapanuli akibat Proyek PLTA Batangtoru, sudah jadi isu internasional. Tapi anehnya proyek tersebut tetap saja jalan. Malah Raja Luat dari Sipirok dan sejumlah warga di sana, mendukung pembangunan proyek PLTA. Bahkan, waktu rombongan kami di sana sempat dihadang serombongan warga yang mendukung proyek, dan aparat berseragam TNI.  

Dan juga perlu diketahui, bahwa berdasarkan kajian ilmiah para ahli, proyek PLTA Batangtoru tidak layak. Karena bendungan yang dibangun berada di patahan gempa, jadi strukturnya labil dan rawan bergeser. Sipirok, yang merupakan ibu kota Kabupaten Tapanuli Selatan, Sumatera Utara, berada tepat di jalur Sistem Sesar Sumatera (atau Sesar Semangko) pada Segmen Toru. Sesar Sumatera sendiri merupakan patahan aktif yang membentang di sepanjang Pulau Sumatera.

Karakteristik patahan di Sipirok dan daerah sekitarnya meliputi, Sesar Aktif: Sipirok terletak di atas zona patahan aktif, yang berarti kerak buminya terus bergerak dan memiliki potensi tinggi terjadinya gempa bumi dangkal. Lalu Segmen Toru: Gempa bumi yang terjadi di wilayah Sipirok sering kali diakibatkan oleh aktivitas Sesar Sumatera pada segmen ini. Segmen ini dikenal sering menimbulkan gempa-gempa tektonik lokal.

Kemudian Gempa Dangkal: Aktivitas gempa di daerah ini umumnya dangkal (kedalaman hiposenter yang rendah, misalnya sekitar 10 km dari permukaan bumi), yang menyebabkan guncangan terasa kuat di permukaan. Lalu Risiko Longsor: Karena lokasinya yang berada di jalur patahan dan kondisi geografisnya yang berbukit, gempa bumi di daerah ini sering memicu bencana sekunder seperti tanah longsor, yang dapat melumpuhkan akses jalan utama seperti Jalan Lintas Sumatera Tarutung-Sipirok.

Secara umum dan ilmiah, wilayah ini merupakan daerah yang rawan gempa, dan catatan sejarah menunjukkan sering terjadi gempa signifikan di masa lalu, termasuk peristiwa gempa besar pada tahun 1892 yang melanda segmen Angkola dan sekitarnya. Direktur Eksekutif Daerah WALHI Sumatera Utara Riandra Purba, dalam rilis terbarunya menyampaikan, bencana banjir dan longsor yang kini melanda Sumatera Utara dan kondisinya paling parah, adalah wilayah-wilayah yang berada di Ekosistem Harangan Tapanuli (Ekosistem Batang Toru), yaitu Kabupaten Tapanuli Selatan, Tapanuli Tengah, Tapanuli Utara, dan Kota Sibolga.

Ekosistem Batang Toru yang berada di bentang Bukit Barisan telah mengalami deforestasi sebesar 72.938 hektar (2016-2024) akibat operasi 18 perusahaan. Dalam delapan tahun terakhir WALHI Sumut mengkritisi terus-menerus model pengelolaan Batang Toru. Misalnya PLTA Batang Toru, selain akan memutus habitat orang utan dan harimau, juga merusak badan-badan sungai dan aliran sungai yang menjadi daya dukung dan daya tampung lingkungan.

“Selain itu juga pertambangan emas yang berada tepat di sungai Batang Toru. Desa-desa lain di kecamatan Sipirok juga ada aktivitas kemitraan kebun kayu dengan PT Toba Pulp Lestari yang akhirnya mengalihfungsikan hutan. Semua aktitas eksploitasi dilegalisasi oleh pemerintah melalui proses pelepasan kawasan hutan untuk izin melalui revisi tata ruang.” (rilis Walhi, 2 Desember 2025)

Setali tiga uang, berdasarkan analisis deret waktu citra Google Satellite/Google Imagery yang dilakukan JATAM per 28 November 2025, proyek PLTA Batang Toru sendiri telah membuka sedikitnya 56,86 hektare kawasan hutan di sepanjang aliran sungai untuk bangunan utama, kolam, jalan, dan area penunjang, yang tampak jelas sebagai pelebaran area terbuka di tubuh ekosistem.

Kehadiran PLTA dalam skala masif memodifikasi aliran sungai, mengubah pola sedimen, dan memperbesar risiko banjir maupun longsor di hilir ketika kombinasi curah hujan ekstrem dan pengelolaan bendungan yang buruk terjadi bersamaan. Di tingkat kawasan hutan, skema Persetujuan Penggunaan Kawasan Hutan (PPKH) menjadi pintu utama pelepasan fungsi lindung menjadi ruang ekstraksi.

Secara keseluruhan, di Pulau Sumatera saat ini tercatat sedikitnya 271 PPKH dengan total luas 53.769,48 hektare. Dari jumlah tersebut, 66 izin diperuntukkan bagi tambang dengan luas 38.206,46 hektare, 11 izin untuk panas bumi/geothermal dengan luas 436,92 hektare, 51 izin untuk migas seluas 4.823,87 hektare, 72 izin untuk proyek energi lainnya dengan luas 3.758,68 hektare, sementara sisanya diberikan untuk keperluan telekomunikasi, pemerintahan, dan berbagai kepentingan lain.

PT Agincourt Resources, pengelola tambang emas Martabe di bentang Ekosistem Batang Toru, termasuk salah satu pemegang PPKH ini, dengan bukaan lahan yang saat ini diperkirakan telah mencapai sekitar 570,36 hektare di dalam kawasan hutan, menggambarkan skala intervensi langsung terhadap penyangga utama daerah aliran sungai di kawasan tersebut.

Di saat yang sama, perluasan energi panas bumi juga mengunci ruang hidup di banyak kawasan pegunungan pulau Sumatera. Saat ini terdapat delapan Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) yang sudah beroperasi: empat di Sumatera Utara, satu di Sumatera Barat, dua di Sumatera Selatan, dan satu di Lampung. Angka ini belum termasuk wilayah yang masih berstatus Wilayah Penugasan Survei Pendahuluan dan Eksplorasi (WPSPE) maupun Wilayah Kerja Panas Bumi (WKP) yang sedang dieksplorasi.

Artinya, masih ada lapisan risiko baru di masa depan ketika WPSPE dan WKP ini naik kelas menjadi operasi penuh, disertai pembukaan hutan untuk sumur produksi, jaringan pipa, dan akses jalan. Apalagi, sebagian besar proyek panas bumi berada di lereng-lereng gunung berbentang curam, kombinasi pembukaan hutan, pengeboran, dan perubahan struktur tanah berpotensi menambah kerentanan terhadap longsor dan banjir bandang.

Jika seluruh angka ini disatukan, terlihat jelas bahwa wajah Sumatera saat ini adalah pulau yang tubuh ekologisnya dibebani tiga lapis industri sekaligus: tambang minerba yang merusak tutupan hutan dan tanah; PLTA yang memotong dan mengatur ulang aliran sungai; serta PLTP berikut WPSPE/WKP yang menggali kawasan pegunungan dan hulu DAS.

Ironisnya, semua proyek-proyek ini dibungkus dengan narasi transisi energi dan pembangunan ekonomi; meski di lapangan, masyarakat di bantaran sungai, lereng perbukitan, dan pesisir justru menanggung banjir, longsor, dan hilangnya sumber penghidupan.

Perlu digarisbawahi, seluruh angka dan sebaran dalam analisis ini baru mencakup tiga sektor tersebut: pertambangan minerba, PLTA, dan PLTP. Di luar itu, Pulau Sumatera masih dibebani ekspansi migas, perkebunan sawit skala luas, industri kehutanan (HPH dan HTI), serta tambang-tambang ilegal yang tidak tercatat dalam basis data resmi.

Artinya, tekanan nyata terhadap hutan, DAS, dan ruang hidup masyarakat jauh lebih besar daripada yang tergambar di atas kertas, sehingga risiko banjir dan longsor ke depan akan terus meningkat jika tidak segera dilakukan moratorium dan audit menyeluruh atas seluruh bentuk industri ekstraktif, baik legal maupun ilegal.

Dengan demikian, banjir dan longsor yang kini meluluhlantakkan pulau Sumatera adalah tanda bahwa model pembangunan berbasis ekstraksi sumber daya alam sudah mencapai titik buntu. Ruang hidup rakyat dikonversi menjadi deretan konsesi tambang dan mega proyek energi, sementara risiko ditanggung sendiri oleh warga di bantaran sungai, kaki bukit, dan pesisir yang saban tahun dipaksa hidup dalam sirene darurat bencana. (*)

 




Write a Facebook Comment

Tuliskan Komentar anda dari account Facebook

View all comments

Write a comment