- Hilirisasi Grup MIND ID, Transformasi Pertambangan Berbasis Nilai Tambah
- Cerita Eks Wartawan Jualan Cabai yang Diborong Mentan Amran dari Daerah Bencana Aceh
- Kepungan Bencana Ekologis dan Keharusan Reformasi Fiskal Sektor Ekstraktif
- Pertumbuhan Ekonomi 2026 Ditaksir 5 Persen, WP Badan Harus Siap Diperiksa
- Ikhtiar Nyata SDG Academy Indonesia: Konektivitas Data, Kebijakan, dan Kepemimpinan
- Kembangkan Potensi Anak, LPAM Mirabel dan Ilmu Politik UNY Gelar Peringatan Hari Ibu
- Sambut Nataru dan HAB Kemenag ke-80, PD IPARI Karanganyar Bersih-Bersih Rumah Ibadah Lintas Agama
- Penguatan Sektor Riil Kunci Capai Target Pertumbuhan Ekonomi 5,4 Persen di 2026
- Musim Mas Dukung Pemkab Deli Serdang Hadirkan Ruang Publik Bersama melalui Pembangunan Alun-Alun
- Sidang Pengeroyokan di Tanjungpinang, Korban Soroti Terdakwa Tak Ditahan
Banjir Longsor di Batangtoru, Sumut: Sudah Lama Diingatkan, Sangat Nyata, Semua Bergeming
6.jpg)
Hendri Irawan
Pemimpin Redaksi Porosbumi.com
Baca Lainnya :
- IDXCarbon Catat Permintaan 2,75 Juta Ton kredit Karbon Selama COP 30 di Brazil0
- Telkomsel Kembali Gelar Jaga Bumi, Tanam 12.731 Pohon Baru dan Serap 824 Ton Emisi Karbon 0
- Aktivis Nilai COP30 Belum Hasilkan Langkah Nyata Tekan Emisi0
- Kisah Ujang Pustiawan dan Perjuangan Kelompok Tani Flora Mangrove0
- Direktur Belantara Foundation Dolly Priatna: Konservasi Mangrove Inti Dari Upaya Mitigasi Iklim0
JAUH sebelum bencana longsor dan
banjir meluluhlantakkan kawasan Batangtoru Tapanuli, Sumatera Utara, ancaman
bencana alam di sana sudah kerap diingatkan terutama oleh para aktivis
lingkungan, yang bahkan seperti tak bosan melakukan aksi menyikapi kerusakan
alam Batangtoru,
Pernah, para aktivis melakukan aksi menggantung diri di atas
jembatan sungai Batangtoru, sebagai simbol menolak Proyek PLTA Batangtoru, dan
sempat pula beberapa kali aksi di luar negeri untuk kampanye penyelamatan
orangutan Tapanuli. Tapi apalah daya, perlawanan yang dilakukan seperti sia-sia,
dan proyek PLTA tetap berlanjut. Malah ijin amdal proyek PLTA sempat digugat ke
pengadilan, karena tandatangan salah satu akademisi dipalsukan.
Pada 2017, saya bersama 12 jurnalis dari Jakarta
berkesempatan masuk ke dalam kawasan hutan Batangtoru, investigasi orangutan
Tapanuli yang terancam habitatnya akibat proyek pembangunan PLTA yang mengubah
bentang alam kawasan Batangtoru. Demi proyek tersebut, bantaran sungai Batangtoru
yang berkelok-kelok ditarik lurus dan dibuat terowongan bawah tanah.
Proyek PLTA Batangtoru memiliki terowongan bawah tanah
sepanjang sekitar 13 kilometer dengan diameter 12 meter. Terowongan ini
berfungsi mengalirkan air dari bendungan menuju power house untuk
menggerakkan turbin. Akibat proyek ini, bagian hulu sungai Batangtoru menjadi
dangkal, ribuan hektare sawah menjadi kering, dan sungai yang dangkal membuka
akses dan memudahkan orang dari luar kawasan masuk ke dalam hutan memburu
orangutan Tapanuli, memicu praktik ilegal loging, serta berbagai mega proyek dan
aktivitas pengrusakan alam di bagian hulu.
Belum lagi aktivitas tambang emas Martabe dekat kawasan,
makin memperparah kerusakan alam di sana. Waktu saya ke sana, dua bukit sudah
rata/hilang ditambang, dan giliran ditambang bukit yang ketiga. Tanah bercampur
lumpur akibat aktivitas tambang kerap melimpas ke jalan.
Isu soal terancamnya habitat orangutan Tapanuli akibat Proyek
PLTA Batangtoru, sudah jadi isu internasional. Tapi anehnya proyek tersebut tetap
saja jalan. Malah Raja Luat dari Sipirok dan sejumlah warga di sana, mendukung pembangunan
proyek PLTA. Bahkan, waktu rombongan kami di sana sempat dihadang serombongan
warga yang mendukung proyek, dan aparat berseragam TNI.
Dan juga perlu diketahui, bahwa berdasarkan kajian ilmiah
para ahli, proyek PLTA Batangtoru tidak layak. Karena bendungan yang dibangun
berada di patahan gempa, jadi strukturnya labil dan rawan bergeser. Sipirok,
yang merupakan ibu kota Kabupaten Tapanuli Selatan, Sumatera Utara, berada
tepat di jalur Sistem Sesar Sumatera (atau Sesar Semangko) pada Segmen Toru.
Sesar Sumatera sendiri merupakan patahan aktif yang membentang di sepanjang
Pulau Sumatera.
Karakteristik patahan di Sipirok dan daerah sekitarnya
meliputi, Sesar Aktif: Sipirok terletak di atas zona patahan aktif, yang
berarti kerak buminya terus bergerak dan memiliki potensi tinggi terjadinya
gempa bumi dangkal. Lalu Segmen Toru: Gempa bumi yang terjadi di wilayah
Sipirok sering kali diakibatkan oleh aktivitas Sesar Sumatera pada segmen ini.
Segmen ini dikenal sering menimbulkan gempa-gempa tektonik lokal.
Kemudian Gempa Dangkal: Aktivitas gempa di daerah ini
umumnya dangkal (kedalaman hiposenter yang rendah, misalnya sekitar 10 km dari
permukaan bumi), yang menyebabkan guncangan terasa kuat di permukaan. Lalu Risiko
Longsor: Karena lokasinya yang berada di jalur patahan dan kondisi geografisnya
yang berbukit, gempa bumi di daerah ini sering memicu bencana sekunder seperti
tanah longsor, yang dapat melumpuhkan akses jalan utama seperti Jalan Lintas
Sumatera Tarutung-Sipirok.
Secara umum dan ilmiah, wilayah ini merupakan daerah yang
rawan gempa, dan catatan sejarah menunjukkan sering terjadi gempa signifikan di
masa lalu, termasuk peristiwa gempa besar pada tahun 1892 yang melanda segmen
Angkola dan sekitarnya. Direktur Eksekutif Daerah WALHI Sumatera Utara Riandra
Purba, dalam rilis terbarunya menyampaikan, bencana banjir dan longsor yang kini melanda Sumatera
Utara dan kondisinya paling parah, adalah wilayah-wilayah yang berada di Ekosistem Harangan Tapanuli
(Ekosistem Batang Toru), yaitu Kabupaten Tapanuli Selatan, Tapanuli Tengah,
Tapanuli Utara, dan Kota Sibolga.
Ekosistem Batang Toru yang berada di bentang Bukit Barisan
telah mengalami deforestasi sebesar 72.938 hektar (2016-2024) akibat operasi 18
perusahaan. Dalam delapan tahun terakhir WALHI Sumut mengkritisi terus-menerus
model pengelolaan Batang Toru. Misalnya PLTA Batang Toru, selain akan memutus
habitat orang utan dan harimau, juga merusak badan-badan sungai dan aliran
sungai yang menjadi daya dukung dan daya tampung lingkungan.
“Selain itu juga pertambangan emas yang berada tepat di
sungai Batang Toru. Desa-desa lain di kecamatan Sipirok juga ada aktivitas
kemitraan kebun kayu dengan PT Toba Pulp Lestari yang akhirnya
mengalihfungsikan hutan. Semua aktitas eksploitasi dilegalisasi oleh pemerintah
melalui proses pelepasan kawasan hutan untuk izin melalui revisi tata ruang.”
(rilis Walhi, 2 Desember 2025)
Setali tiga uang, berdasarkan analisis deret waktu citra
Google Satellite/Google Imagery yang dilakukan JATAM per 28 November 2025,
proyek PLTA Batang Toru sendiri telah membuka sedikitnya 56,86 hektare kawasan
hutan di sepanjang aliran sungai untuk bangunan utama, kolam, jalan, dan area
penunjang, yang tampak jelas sebagai pelebaran area terbuka di tubuh ekosistem.
Kehadiran PLTA dalam skala masif memodifikasi aliran sungai,
mengubah pola sedimen, dan memperbesar risiko banjir maupun longsor di hilir
ketika kombinasi curah hujan ekstrem dan pengelolaan bendungan yang buruk
terjadi bersamaan. Di tingkat kawasan hutan, skema Persetujuan Penggunaan
Kawasan Hutan (PPKH) menjadi pintu utama pelepasan fungsi lindung menjadi ruang
ekstraksi.
Secara keseluruhan, di Pulau Sumatera saat ini tercatat
sedikitnya 271 PPKH dengan total luas 53.769,48 hektare. Dari jumlah tersebut,
66 izin diperuntukkan bagi tambang dengan luas 38.206,46 hektare, 11 izin untuk
panas bumi/geothermal dengan luas 436,92 hektare, 51 izin untuk migas seluas
4.823,87 hektare, 72 izin untuk proyek energi lainnya dengan luas 3.758,68 hektare,
sementara sisanya diberikan untuk keperluan telekomunikasi, pemerintahan, dan
berbagai kepentingan lain.
PT Agincourt Resources, pengelola tambang emas Martabe di
bentang Ekosistem Batang Toru, termasuk salah satu pemegang PPKH ini, dengan
bukaan lahan yang saat ini diperkirakan telah mencapai sekitar 570,36 hektare
di dalam kawasan hutan, menggambarkan skala intervensi langsung terhadap
penyangga utama daerah aliran sungai di kawasan tersebut.
Di saat yang sama, perluasan energi panas bumi juga mengunci
ruang hidup di banyak kawasan pegunungan pulau Sumatera. Saat ini terdapat
delapan Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) yang sudah beroperasi:
empat di Sumatera Utara, satu di Sumatera Barat, dua di Sumatera Selatan, dan
satu di Lampung. Angka ini belum termasuk wilayah yang masih berstatus Wilayah
Penugasan Survei Pendahuluan dan Eksplorasi (WPSPE) maupun Wilayah Kerja Panas
Bumi (WKP) yang sedang dieksplorasi.
Artinya, masih ada lapisan risiko baru di masa depan ketika
WPSPE dan WKP ini naik kelas menjadi operasi penuh, disertai pembukaan hutan
untuk sumur produksi, jaringan pipa, dan akses jalan. Apalagi, sebagian besar
proyek panas bumi berada di lereng-lereng gunung berbentang curam, kombinasi
pembukaan hutan, pengeboran, dan perubahan struktur tanah berpotensi menambah
kerentanan terhadap longsor dan banjir bandang.
Jika seluruh angka ini disatukan, terlihat jelas bahwa wajah
Sumatera saat ini adalah pulau yang tubuh ekologisnya dibebani tiga lapis
industri sekaligus: tambang minerba yang merusak tutupan hutan dan tanah; PLTA
yang memotong dan mengatur ulang aliran sungai; serta PLTP berikut WPSPE/WKP
yang menggali kawasan pegunungan dan hulu DAS.
Ironisnya, semua proyek-proyek ini dibungkus dengan narasi
transisi energi dan pembangunan ekonomi; meski di lapangan, masyarakat di
bantaran sungai, lereng perbukitan, dan pesisir justru menanggung banjir,
longsor, dan hilangnya sumber penghidupan.
Perlu digarisbawahi, seluruh angka dan sebaran dalam
analisis ini baru mencakup tiga sektor tersebut: pertambangan minerba, PLTA,
dan PLTP. Di luar itu, Pulau Sumatera masih dibebani ekspansi migas, perkebunan
sawit skala luas, industri kehutanan (HPH dan HTI), serta tambang-tambang
ilegal yang tidak tercatat dalam basis data resmi.
Artinya, tekanan nyata terhadap hutan, DAS, dan ruang hidup
masyarakat jauh lebih besar daripada yang tergambar di atas kertas, sehingga
risiko banjir dan longsor ke depan akan terus meningkat jika tidak segera
dilakukan moratorium dan audit menyeluruh atas seluruh bentuk industri
ekstraktif, baik legal maupun ilegal.
Dengan demikian, banjir dan longsor yang kini
meluluhlantakkan pulau Sumatera adalah tanda bahwa model pembangunan berbasis
ekstraksi sumber daya alam sudah mencapai titik buntu. Ruang hidup rakyat
dikonversi menjadi deretan konsesi tambang dan mega proyek energi, sementara
risiko ditanggung sendiri oleh warga di bantaran sungai, kaki bukit, dan
pesisir yang saban tahun dipaksa hidup dalam sirene darurat bencana. (*)
.jpg)
1.jpg)

.jpg)

.jpg)
1.jpg)
.jpg)

.jpg)

