Cerita Eks Wartawan Jualan Cabai yang Diborong Mentan Amran dari Daerah Bencana Aceh
Acuhkan Rasa Lelah hingga Cemas Barang Tak Habis Terjual

By PorosBumi 30 Des 2025, 17:04:30 WIB Humaniora
Cerita Eks Wartawan Jualan Cabai yang Diborong Mentan Amran dari Daerah Bencana Aceh

Susi Susanti
Penulis, Penjual Cabai Dadakan


TADINYA wartawan, sekarang jualan cabai? Waduh, gak bahaya tah? Tapi, mengapa tidak? Kami yang biasanya berhadapan dengan narasumber dan laptop, sekarang harus ‘eye to eye’ dengan cabai. Banyak cerita yang menyelimuti proses penjualan cabai hasil panen daerah bencana Bener Meriah Aceh.

Usai Menteri Pertanian (Mentan) Andi Amran Sulaiman memutuskan memborong 40 ton cabai petani dari sejumlah sentra di Kabupaten Aceh Tengah dan Bener Meriah dengan kocek pribadi pada 17 Desember lalu, pekerjaan rumah atau PR selanjutnya adalah segera menjual cabai tersebut di Jakarta.

Cabai dari daerah bencana ini tiba di Jakarta pada Kamis (18/12/2025) dini hari dengan tonase 290 x 25kg atau sekitar 7 ton. Kemudian beberapa eks wartawan yang terkena badai Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) atau layoff ikut bergotong royong menjual cabai tersebut. Kami dikumpulkan di Gedung Kementerian Pertanian (Kementan) pada pagi hari itu dan langsung melihat sejumlah kardus yang berisi cabai keriting merah dan rawit merah.

Dada kami jelas berkecamuk. Kami tidak menyangka akan mendapat surprise atau kejutan dengan menjadi penjual cabai dadakan. Ilmu ‘learning by doing’ pun dilakukan. Kami yang hanya terdiri dari delapan orang harus memutar otak mencari cara bagaimana caranya agar cabai ini cepat laku dan tidak ‘menginap’ lama di Kementan.

Langkah pertama yang dilakukan adalah membuat woro-woro atau informasi di jejaring media sosial (medsos). Kami mem-posting di status Whatsapp dan platform medsos lainnya, termasuk pesan masif atau blast di berbagai grup di Whatsapp. Bahkan aktivitas Live pun dilakukan di TikTok agar informasi segera tersebar. Cabai rawit merah dijual dengan harga Rp60 ribu per kilogram. Lalu cabai keriting merah dijual seharga Rp40 ribu per kilogram.

Semua dilakukan demi satu tujuan. Cabai ini harus segera laku terjual dan habis. Kemudian kami memutuskan menjual cabai ini secara ‘ketengan’ di lingkup Kementan dengan para pembelinya berasal dari para Aparatur Sipil Negara (ASN) sambil menunggu kehadiran pembeli lainnya.

Dengan ‘peralatan perang’ seperti timbangan digital, plastik kresek, dan kalkulator, kami langsung menggelar lapak di Gedung Kementan saat itu juga. Pembeli dari lingkungan Kementan mulai berdatangan dan terus berdatangan tanpa henti. Tentu saja kami merasa sangat bahagia karena dengan begitu cabai akan segera laku dan habis terjual.

Sejam, dua jam, tiga jam berlalu, sampai akhirnya tangan mulai terasa panas seperti terbakar. Meski tangan sudah dilapisi plastik kresek, tapi tetap saja panasnya cabe rawit merah menembus. Kami hanya bisa bolak balik ke kamar mandi untuk mencuci tangan guna meminimalisir rasa panas tersebut. Kami berjualan hingga malam tiba sembari berharap banyak pembeli yang terus berdatangan. Lalu kami merapikan dan membereskan semua dagangan kami hingga waktu menunjukkan pukul 22.00 WIB, saya pamit pulang.

Hari pertama itu, badan kita seperti baal atau sudah tidak merasakan lelah karena banyaknya pembeli yang datang. Keesokan harinya, Jumat (19/12/2025) kami langsung ‘berperang’ lagi di hari kedua. Saya datang agak siang karena pagi harinya saya harus mengambil rapor dua anak di dua sekolah berbeda. Cuaca terpantau hujan sejak pagi sehingga agak sedikit melambatkan gerakan namun saya tetap menerobos hujan dengan ojek online (ojol) demi bisa sampai ke Gedung Kementan tidak terlalu siang.

Tepat pukul 12.00 WIB, saya tiba di Gedung Kementan. Di hari kedua ini, kami berjualan dengan semangat agar cabai cepat laku dan tidak busuk. Para pembeli terus berdatangan, dan hari kedua ini tidak hanya terbatas pada ASN di lingkup Kementan saja, melainkan sudah banyak pembeli dari luar. Mereka mendapatkan informasi dari medsos yang telah kami blast sebelumnya. Para pembeli di luar ASN ini membeli cabai dalam jumlah partai besar maupun ketengan. Pihak Pasar PD Induk Jaya ikut membeli dengan memborong sebanyak 1,4 ton cabai rawit keriting.

Di hari kedua inilah suatu kabar tak terduga terdengar, yakni gedung aula tempat kami jualan akan menjadi tempat atau venue pesta pernikahan. Sontak saja kabar ini membuat kami tercengang karena berfikir bagaimana caranya memindahkan cabai yang masih berton-ton di dalam kardus ke tempat lain. Apalagi info itu baru kami terima saat menjelang sore.

Bos kami, Mas Imam langsung memutuskan agar kita melakukan penyortiran atau seleksi cabai yang masih bagus dan tidak bagus. Sehingga nantinya cabai yang masih bagus diselamatkan dan dipindah ke ruang lainnya. Penyortiran cabai pun dilakukan hingga tengah malam. Kami juga membuat spanduk dan pamflet yang menginfokan bazar penjualan cabai untuk esok hari. Hampir pukul 00.00 pada Sabtu (20/12/2025), saya pamit pulang.

Pada dini hari sekitar pukul 01.00, ada kawan saya dan juga bos saya yang menggelar pertemuan dengan tengkulak dari Cibitung. Negosiasi berlangsung alot karena tengkulak tetap ingin menekan harga serendah mungkin supaya mereka bisa menjual dengan harga tinggi dan untung banyak. Jelas saja, ide ini ditolak karena alasan harga diri.

Bukan lagi masalah harga cabai atau rasa lelah kami, tapi harga diri kami seperti terinjak-injak ketika harga yang ditawarkan tengkulak sangat tidak masuk akal. Apalagi, ini adalah cabai hasil panen petani di daerah bencana Aceh. Sungguh miris rasanya ketika mereka menawarkan harga yang begitu rendah yakni Rp17.500 per kilogram.

Esok harinya pada Sabtu (20/12/2025), kami berjualan tepat di sebelah gelaran hajatan pernikahan. Harga yang diberlakukan berbeda karena cabai ini dijual di bazar dan juga melihat kondisi cabai yang sudah mulai menurun. Harga cabe rawit merah turun menjadi Rp40 ribu per kilogram dari sebelumnya Rp60 ribu per kilogram. Sedangkan cabe keriting merah sudah habis terjual. Ada kawan yang bagiannya mempromosikan penjualan cabai ini ke para tamu hajatan yang sedang lewat di aula tersebut.

Jumlah anggota tim yang berjualan tidak lengkap karena ada yang izin urusan keluarga dan sebagainya. Kendati demikian, semua anggota tim tetap sigap membantu dari rumah apa pun yang bisa dilakukan. Alhamdulillah semua proses penjualan terus berlangsung lancar hingga malam tiba. Semakin banyak pembeli yang antusias karena harga yang ditawarkan sangat murah dan menggoda. Bahkan ada beberapa pembeli yang memutuskan menambah jumlah pembelian secara cukup signifikan karena tergiur harga murah tersebut.

Pada Minggu (21/12/2025), saya izin tidak ikut jualan karena faktor tubuh yang mulai tidak enak karena beberapa kali kehujanan. Kendati demikian, penjualan pada Minggu itu terus berjalan dengan baik. Lalu penjualan di hari terakhir yakni Senin (22/12/2025) akhirnya ditutup. Pada hari itu, kami hanya melakukan pengepakan untuk barang yang sudah dipesan di hari sebelumnya.

Sembari melakukan pengepakan, kami juga kembali melakukan penyortiran cabai yang bagus dan cabai yang kondisinya sudah tidak bagus. Beberapa kualitas cabai sudah mulai terlihat turun. Ada yang busuk, berair, dan mulai tercium bau tak sedap. Cabai disposal ini diputuskan diberikan ke para office boy atau OB di lingkup Kementan supaya mereka olah menjadi produk cabe kering atau bisa dimasak segera menjadi sambal dan dijual.

Lengkap sudah lima hari kami berjualan cabai hasil panen petani dari daerah bencan Bener Meriah Aceh. Sungguh pelajaran yang berharga dan tak ternilai. Kami ditempa menjadi entrepreneur sekaligus melakukan aksi kemanusiaan dengan membantu menjualkan cabai dari daerah bencana. Semoga apa yang kami lakukan bisa bermanfaat dan menolong penderitaan para saudara kita di daerah bencana Aceh. Ke depannya, kami akan terus memberikan sumbangsih ke daerah daerah yang terkena bencana melalui aksi-aksi kemanusiaan lainnya dan tentunya dengan dukungan dari Mentan.




Write a Facebook Comment

Tuliskan Komentar anda dari account Facebook

View all comments

Write a comment