- IDXCarbon Jajakan Unit Karbon 90 Juta Ton Co2e Hingga Ke Brazil
- OJK Dinilai Memble, Kini Hasil Penyelidikan Investasi Telkom Pada GOTO Ditunggu
- Suara yang Dikenal dan yang Tidak Dikenal
- Sampah Akan Jadi Rebutan Sebagai Sumber Bahan Bakar
- Tenun Persahabatan: Merajut Warisan India dan Indonesia dalam Heritage Threads
- Manfaat Membaca yang Penting Kamu Ketahui
- Kisah Hanako, Koi di Jepang yang Berumur Lebih dari 2 Abad
- Hadiri Pesta Rakyat 2 di Manado, AHY Tegaskan Pentingnya Pemerataan Pembangunan Kewilayahan
- PFI Kepri Sambangi KSOP Batam, Perkuat Sinergi dan Semangat Foto Jurnalistik Maritim
- Belajar dari Makkah: Potensi Bio-Energi di Balik Sistem Pengolahan Limbah Modern
Bakung: Tradisi Lisan Masyarakat Adat Dayak Bahau Busang
.jpg)
WAKTU hampir petang, Hipui mendengar
sebuah lantunan syair dari sebuah pondok ladang. Lantunan syair itu menembus
ingatan masa lalunya, ketika masih bersama orangtua dan saudaranya di Naha
Aruq, sebuah dusun yang jauh berada di pedalaman Hulu Mahakam, Kalimantan Timur
Syair dilantunkan dalam satu tarikan nafas. Bahasanya sangat
indah. Bagi Hipui (64), lantunan syair itu bukan sekedar nyanyian tanpa makna.
Tapi menyimpan berbagai cerita leluhur, petuah kehidupan dan kejayaan masa
lampau.
Masyarakat Adat Bahau Busang menyebut lantunan syair itu
sebagai Bakung. Syairnya dilantunkan secara lisan kepada orang lain.
Baca Lainnya :
- Kementerian PU Bangun 43 Jembatan Gantung, Solusi Atasi Kesulitan Akses Transportasi Masyarakat0
- Masyarakat Adat Masukih Tolak Penambangan Emas Ilegal di Hutan Adat Kalimantan Tengah 0
- Cegah Tragedi Berulang, Kementerian PU Periksa Struktur Bangunan Dua Pesantren Besar di Jatim0
- Merawat Tradisi Penyembuhan Dayak Taboyan: Jaga Keseimbangan Alam, Roh, dan Manusia0
- Tinjau SMA Pradita Dirgantara, AHY: Sekolah Garuda Infrastruktur Masa Depan Indonesia0
Hipui menjelaskan Bakung bisa dilakukan sendiri, bisa juga
dilakukan berkelompok : satu orang melantunkan cerita kemudian yang lainnya
ikut serta menyahut cerita yang disampaikan oleh pihak pertama.
Dikatakannya, terkadang kalau mendengar Bakung, kita bisa
tertawa atau sedih, tergantung tema ceritanya, semisal tentang anak Hulaq
(Yatim Piatu) biasa sedih mendengarnya.
Hipui menyatakan pelantun bisa dibawa oleh siapa saja. Namun
syaratnya, ia harus paham soal seluk-beluk sejarah suku, memiliki suara yang
merdu, dan cakap bercerita. Karena itu, sebutnya, Bakung biasanya dibawakan
oleh kalangan yang sudah berumur, karena mereka paham tentang banyak hal.
Diakuinya, sekarang ini sudah jarang orang bisa melantunkan
Bakung. Ini karena pengaruh zaman, minim anak muda yang mau belajar Bakung.
“Pelantun Bakung bisa dihitung dengan jari, tidak banyak
yang bisa membawakannya lagi sekarang,” kata Hipui.
Menurutnya, sastra lisan milik Suku Dayak Bahau Busang ini
sudah tergilas arus modernisasi. Modernisasi merubah prilaku Masyarakat Adat
dengan cepat sehingga membuat orang Dayak meninggalkan adat leluhurnya.
Berdasarkan penelitian Balai Pelestarian Nilai Budaya
Kalimantan Barat soal sastra lisan dikalangan Suku Kayaan Mendalam disebutkan
bahwa Bakung adalah sejenis syair yang berasal dari kelompok saudara mereka di
Mahakam yakni Kayaan Mahakam (Kayaan Mekaam). Kelompok Kayaan Mahakam biasa
juga menyebut dirinya sebagai Bahau Busang. Sementara, menurut mendiang Pastor
Ding Ngo di Mendalam kata Bahau tidak digunakan lagi atau tidak didengar lagi.
Padahal, orang Kayaan Mendalam adalah orang Bahau juga.
Terancam Punah
Hipui menjelaskan Bakung ini biasa dilantunkan selesai kerja
di ladang untuk menghibur orang yang capek. Bakung juga biasa dilantunkan
ketika ada orang meninggal. Tujuannya untuk menghantarkan arwah orang
yang meninggal menuju ke surga (Telaang Julaan). Selain itu, Bakung juga
digunakan untuk menasehati anak-anak muda dalam pergaulan sehari-harinya maupun
yang telah bertunangan dan ingin menikah.
Hipui mengenang mendiang buyut laki atau bapaknya nenek yang
dulu pintar melantunkan Bakung di era tahun 1970-an, ketika mereka masih
tinggal di Umaq Mahak Teboq. Buyut laki-laki itu sering dipanggil ke
rumah-rumah untuk melantunkan Bakung, dari malam hingga subuh.
“Buyut kuat ingatannya, bisa melantunkan Bakung semalaman.
Beda dengan kita sekarang, mudah lupa,” ujarnya.
Margaretha Seting Beraan (50), tokoh Masyarakat Adat Dayak
Bahau Busang menyatakan syair Bakung mengandung nilai sastra. Bahasanya berseni
penuh syair. Bisa juga kita sebut bersajak.
Disebutnya, Bakung biasa dilantunkan pada saat momen-momen
tertentu seperti upacara adat Dayak Bahau Busang. Si pelantun Bakung dipilih
dan akan melantunkan syair yang sesuai dengan upacara adat tersebut.
“Pelantun Bakung harus betul-betul paham dengan cerita yang
ingin disampaikannya,” terangnya.
Margaretha mengatakan saat ini pelantun Bakung sulit untuk
dicari. Pelantun Bakung hanya dapat ditemukan di wilayah Mahakam Ulu. Tak ayal,
tradisi lisan ini hampir punah.
“Ketika saya masih kecil di tahun 1980-an, Bakung sebenarnya
sudah mulai langka. Apalagi sekarang ketika banyak orang sudah pindah ke kota,
jadi jarang sudah dengar Bakung,” ungkapnya.
Masyarakat adat Dayak Bahau Busang di Mahakam
Ulu. Dokumentasi AMAN
Peran Pemuda Melestarikan Bakung
Tradisi lisan Suku Dayak seringkali dituturkan oleh kalangan
yang telah berumur tua. Hal ini menyebabkan anak-anak muda Suku Dayak sedikit
yang dapat menuturkan tradisi lisan tersebut. Peran pemuda dan pemudi adat
Dayak Bahau menjadi sangat penting dewasa ini untuk melestarikan tradisi
lisan ini.
Lung Ngo, salah seorang pemuda adat Dayak Bahau Busang
mengakui keterlibatan pemuda dan pemudi dalam melestarikan tradisi lisan Bakung
sangat minim. Karenanya, pemuda berusia 27 tahun ini mengajak pemuda dan pemudi
Dayak untuk terus melestarikan kebudayaan yang memiliki nilai sakral ini.
“Kita harus melestarikan adat dan kebudayaan kita. Sumber
adat kita: hutan, sungai, dan tanah. Bagaimana kita mau cerita Bakung kalau
hutan, tanah, sungai sudah tidak ada lagi. Bukankah Bakung itu bercerita soal
leluhur, lingkungan, dan nasehat segala macamnya,” tutur Lung Ngo.
Ia menambahkan kalau anak muda mau melestarikan Bakung maka
pilihannya adalah mempertahankan hutan, tanah, dan sungai yang kita miliki saat
ini.
“Kalau semua itu hilang, maka hilang juga sumber-sumber
pengetahuan leluhur,” imbuhnya.
Lung Ngo menyatakan langkah lain yang perlu dilakukan agar
Bakung tidak punah adalah dengan cara pendokumentasian. Bisa dituliskan
beberapa Bakung yang sering dilantunkan, hal ini bisa menjadi dasar untuk
memulai syair Bakung lainnya.
“Ini salah satu cara untuk melestarikan Bakung agar
anak-anak muda ke depan punya memori dan kecintaan terhadap tradisi lisan
tersebut,” pungkasnya. (andreas ongko wijaya hului)
.jpg)

.jpg)

.jpg)
.jpg)
.jpg)
.jpg)
.jpg)

.jpg)

