- Mendes Buka Serentak 1.000 Musdesus, Susun Proposal Bisnis Untuk Pengajuan Modal ke Himbara
- Indonesia Lumbung Pangan Dunia: Bukan Hanya Beras, Bahan Pokok Lainnya Juga Sudah Tercukupi
- Masyarakat Adat Suku Taa Mendesak Perusahaan Sawit Tinggalkan Wilayah Adat di Sulawesi Tengah
- Seminar Nasional di UNY Bahas Pembaruan Hukum Acara Pidana
- Menteri Kehutanan Bahas Konservasi Badak dan Ekowisata dengan Edge Group dan Dr Niall McCann
- Strategi Bijak Berinvestasi Emas
- LindungiHutan Perkuat Peran Petani dalam Program Penghijauan dan Ketahanan Iklim
- Dari Binus International ke Brisbane: Perjalanan Fannisa Widya Puteri Kuliah Double Degree
- Tonggak Sejarah Medis Tanah Air: Robot Bedah Otak Pertama di Indonesia Hadir di Siloam Hospitals
- 5 Dampak Tak Terduga yang Datang Kalau Konten Kamu Viral
Bedah Buku dan Film Merawat Harapan di Kampung Halaman
.jpg)
BOGOR - Melalui program Voices for
Just Climate Action (VCA), Yayasan KEHATI sebagai bagian dari Koalisi Pangan BAIK menyelenggarakan Bedah
Buku dan Film “Merawat Harapan di Kampung Halaman”, di Aula RRI Bogor, pada 28
Agustus 2025. Acara ini berkolaborasi dengan Program Studi Teknologi Produksi
dan Pengembangan Masyarakat Pertanian (PPP) Sekolah Vokasi IPB University.
Sebanyak 96 peserta hadir mengikuti kegiatan ini secara
luring dan sekitar 15 orang mengikuti secara daring. Peserta terdiri dari
mahasiswa, perwakilan organisasi masyarakat sipil, perwakilan pemerintah dan
media. Kegiatan ini menjadi wadah kolaborasi orang muda, organisasi
masyarakat sipil, akademisi, media dan pemerintah. Kolaborasi ini menghadirkan
diskusi yang lebih kaya perspektif sekaligus menguatkan semangat bersama dalam
merawat kampung halaman dan menjaga kedaulatan pangan, sebagai upaya adaptasi
perubahan iklim berbasis potensi lokal.
Buku dan film “Merawat Harapan di Kampung Halaman:
Suara Local Champion untuk Iklim dan Pangan” mendokumentasikan kisah
nyata para penggerak desa di Manggarai,
Flores Timur dan Lembata, Nusa Tenggara Timur. Kisah para penggerak desa bukan
hanya cerita tentang pertanian, tetapi juga tentang perubahan sosial, peran
perempuan, keberanian orang muda, serta kebangkitan nilai-nilai kearifan lokal
yang hampir hilang.
Baca Lainnya :
- Masyarakat Adat Suka Menjaga Tradisi Menghadapi Perubahan Iklim0
- 6 Kontainer Keranjang Serat Alam Produk UMKM Kebumen Tembus Pasar New York 0
- KEHATI Rilis Buku Putih Advokasi Keanekaragaman Hayati Indonesia0
- Jalur Pendakian Gunung Bawakaraeng Kini Dilengkapi Musola, Toilet, dan Bank Sampah0
- Belantara Foundation Bersama Mitra dari Jepang Kembali Tanam Pohon di Riau0
Ada cerita tentang bagaimana orang muda menghidupkan kembali
sorgum di Tapobali, bagaimana perempuan Hewa melawan stigma untuk menjaga
pangan lokal, bagaimana komunitas Kawalelo menanam bambu untuk menyelamatkan
mata air, hingga bagaimana orang muda Wewo dan Tal menginisiasi pertanian
hortikultura organik yang kini mengubah cara pandang masyarakatnya.
Agenda utama kegiatan ini diawali dengan pemutaran film.
Dalam sesi ini, peserta diajak menyaksikan kisah tentang bagaimana local
champion dan masyarakat lokal menjaga tanah, pangan, dan kebersamaan
sebagai modal utama dalam menghadapi perubahan iklim. Film tersebut menjadi
pintu masuk untuk diskusi panel yang lebih mendalam terkait tantangan desa,
peran generasi muda, serta pentingnya kedaulatan pangan lokal. Diskusi dipandu
oleh moderator, yaitu Widya Hasian, dosen Program Studi Teknologi Produksi dan
Pengembangan Masyarakat Pertanian (PPP) Sekolah Vokasi IPB University.
Tampil sebagai narasumber dan penanggap yakni, Hengky Ola
Sura (Koalisi Pangan BAIK dan Jurnalis Ekora NTT), Maksimilian Kolbe Labut (Petani
muda dan penggerak pertanian organik dari Desa Tal, Manggarai), Rina Syawal (Direktur
Penganekaragaman Konsumsi Pangan, Badan Pangan Nasional), Prof Damayanti
Buchori (Direktur Center for Transdisciplinary and Sustainability Sciences/CTSS
IPB University), dan David Ardhian (Dewan Pakar Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan
Pangan).
Para narasumber berbagi pandangan seputar pangan lokal,
peran generasi muda, dan kearifan tradisional dalam menjaga ketahanan pangan
serta menghadapi perubahan iklim. Secara daring, Hengky Ola Sura menceritakan
proses penulisan buku yang dilakukan bersama para local champion.
Sebagai perwakilan media, liputan soal perubahan iklim dan
pangan masih jarang sekali dilakukan oleh jurnalis di NTT, termasuk Ekora NTT.
Setelah bersinggungan dengan Koalisi Pangan BAIK, Ekora NTT mulai mengangkat
isu perubahan iklim dan pangan.
Maksimilian yang kerap disapa Lian, berbagi pengalamannya
dalam menjalankan pertanian hortikultura organik di desanya. Awal mulanya, Lian
mengamati hasil panen padi sawah di desanya semakin menurun, meskipun sudah
menggunakan berbagai pupuk dan pestisida. Setelah mendapatkan berbagai
penyadartahuan dan peningkatan kapasitas dengan bergabung pada Koalisi Pangan
BAIK, Lian menyadari bahwa dia harus melakukan perubahan.
Pulang dari mengikuti Organic Youth Camp, Lian diam-diam
mulai menerapkan ilmu yang diperoleh. Meski awalnya ditentang oleh keluarganya,
Lian tetap bersikeras untuk menjalankan pertanian organik. Kini, paling tidak
2.5 tahun sudah dia menjadi petani hortikultura organik.
Rinna dari Badan Pangan Nasional memberikan tanggapan buku
dan film Merawat Harapan di Kampung Halaman. Ia menjelaskan bahwa apa yang
sudah dilakukan para local champion sejalan dengan kebijakan Peraturan Presiden
No. 81 tahun 2024 tentang Percepatan Penganekaragaman Pangan Berbasis Sumber
Daya Lokal.
Orang muda merupakan aktor strategis dalam gerakan pangan
lokal. Kisah para local champion merupakan living example bahwa
diversifikasi pangan bisa tumbuh dari komunitas lokal, tidak hanya melalui
regulasi. Selain itu, orang muda menjadi bukti bahwa pangan lokal dapat menjadi
substitusi yang sehat untuk beras dan gandum impor.
Damayanti Buchori menjelaskan bahwa apa yang dilakukan oleh
para local champion merupakan praktik baik berbasis pengetahun lokal.
Dalam adaptasi perubahan iklim, ilmu formal saja tidak cukup, perlu
mengkombinasikannya dengan pengetahuan tradisional yang sudah teruji sesuai
karakteristik wilayah masing-masing. “Peran perguruan tinggi adalah melakukan
ko-kreasi pengetahuan tradisional dengan pengetahuan modern. Oleh karena itu,
penting untuk memahami kondisi ekologis dan sosio kultural setempat”.
David Ardhian menjelaskan apa yang telah dilakukan oleh para
local champion merupakan contoh baik dalam ‘melawan’ hegemoni kebijakan
pangan yang cenderung seragam dan kurang merekognisi kearifan lokal.
Sentralisasi kebijakan justru menghasilkan kemiskinan struktural. Oleh karena
itu, kemampuan dan keberanian untuk melawan dan membatasi diri adalah modal
penting bagi komunitas lokal untuk berdaulat.
“Apa yang dilakukan oleh komunitas lokal seperti local
champion Koalisi Pangan BAIK adalah upaya untuk meneguhkan keberagaman dan
kedaulatan, mencakup teritorial dan budaya lokal. Maka pembangunan seharusnya
berpusat pada masyarakat lokal, tidak terpusat pada pemangku kebijakan”.
