Debat: Demokrasi dan Kejenuhan

By PorosBumi 24 Nov 2024, 17:16:11 WIB Tilikan
Debat: Demokrasi dan Kejenuhan

Bandung Mawardi

Bapak rumah tangga dan tukang kliping

 

Baca Lainnya :

KITA dalam hari-hari tenang. Sekian hari lalu, demokrasi di Indonesia ingin bermutu dengan debat-debat. Angan muluk mengajak para tokoh berdebat sebelum berkuasa itu sulit terwujud. Debat-debat digelar di pelbagai kota justru membuat kita meragu mutu demokrasi. Kita pun ragu dengan kesanggupan tokoh-tokoh mengajukan pemikiran berpijak argumentasi. Di panggung, debat-debat itu sekadar tontonan: pameran busana, keluwesan memegang mikrofon, dan pemicu tepuk tangan.

Pada hari-hari menjelang 27 November 2024, ratusan debat diadakan di pelbagai kota. Debat-debat itu acara cap demokrasi dengan anggaran besar. Debat terpenting berada di Jakarta dan kota-kota besar. Konon, debat dapat menjadi “ramalan” pemenang dalam hajatan demokrasi.

Di daerah-daerah sulit mengadakan debat, Jakarta dipilih untuk gelaran debat berkerja sama dengan pengelola televisi. Debat berada di Jakarta untuk publik berada di tempat-tempat jauh. Mereka diminta mengikuti debat dengan menonton televisi. Berita-berita mengenai debat makin menjemukan dan dicemooh tak bermutu.

Debat-debat perlahan diragukan meningkatkan mutu demokrasi. Pemahaman makna debat pun berubat. Debat-debat atas nama demokrasi itu sulit memberi kepastian, kebenaran, dan kebaikan. Debat di pelbagai tempat malam menimbulkan kericuhan. Kita mulai pesimistis. Debat itu pesta anggaran besar mudah mubazir. Debat menjadi “teater janji” dan gelagat kebohongan.

Kita lelah dan malas mengikuti debat-debat. Di kebisingan politik, kita memilih kembali ke masa lalu. Kembali dengan keisengan ingin mengetahui kemunculan dan penggunaan kata debat, sejak awal abad XX. Pelacakan tak berlagak menguak sejarah. Kita cuma ingin membuka kamus-kamus lama memuat debat

Pada 1906, terbit Practisch Maleisch-Hollandsch en Hollandsch-Maleisch Handwoordenboek susunan L Th Mayer. Di halaman 366, debat diartikan “bitjara” dan “moesjawarat”. Kita mungkin kaget mengetahui pengertian debat tak seperti disampaikan para pengamat politik, wartawan, dan penulis opini. Debat itu “moesjawarat”. Debat dalam kamus menjelaskan orang-orang di tanah jajahan sudah biasa menggunakan dalam ucapan atau tulisan.

Kita membuka Kitab Vortaro (1923) susunan D Kwik diterbitkan Sin Po. Kamus dimaksudkan menjadi pegangan para pembaca surat kabar jika menemukan kata atau istilah sulit. Kitab memuat “segala perkatahan-perkatahan asing jang soeda oemoem di goenaken di dalem soerat-soerat kabar Melajoe.” Kitab memuat debat di halaman 75. Debat berarti “perbantahan bitjara” dan “beroending”. Pengertian kedua mirip dengan “moesjawarat”. Para pembaca surat kabar masa lalu mungkin condong ke pengertian “perbantahan bitjara”.

Dua kamus membuktikan debat sudah lama hadir dalam omongan dan tulisan. Debat diperoleh dari bahasa Belanda. Pada suatu masa, kata itu masuk dalam kamus-kamus bahasa Indonesia. Debat menjadi kata mudah diakrabi dan dimengerti, tak lagi asing seperti dalam Kitab Vortaro, seratus tahun lalu.

Pada 1936, terbit Baoesastra Walandi-Djawi of Nederlands-Javaans Woordebnboek susunan WJS Poerwadarminta, RAS Harsaja, dan A Soeprapta. Kamus selesai disusun 1933. Kita menemukan “debat” di halaman 46, berarti “bantah”. Dulu, orang-orang berbahasa Jawa mengetahui debat itu “bantah” dalam percakapan atau rapat. “Bantah” mengesankan sikap menolak ajakan atau omongan untuk mufakat. “Bantah” juga bisa berarti tak patuh setelah diberi petunjuk atau nasihat.

Pengertian mengejutkan kita temukan dalam Kamus Saku Bahasa Indonesia (1952) susunan Reksosiswojo, St M Said, dan A Sutan Pamuntjak. Debat diartikan “perbantahan” dan “pertengkaran dengan kata-kata”. Kita kaget dengan “pertengkaran”. Pembaca wajib memahami itu pertengkaran kata, bukan pertengkaran raga. Kamus disusun untuk para pelajar. Pada masa 1950-an, kita menduga para pelajar di Indonesia terbiasa bertengkar dengan kata-kata dalam masalah pengetahuan. Debat itu bermutu jika memiliki argumentasi ilmiah.

Debat masuk dalam bahasa Indonesia dari bahasa Belanda. Pada masa 1950-an, kamus-kamus terbit memberi keterangan berbeda. Debat berasal dari bahasa Inggris. S Wojowasito, WJS Poerwadarminta, dan SAM Gaastra dalam Kamus Inggeris-Indonesia (1951) mengartikan debat: “memperbintjangkan”. Debat bersifat lisan, bukan tulisan.

Kita membuka Kamus Internasional (1956) susunan Osman Raliby. Di halaman 125, debat diartikan “penukaran pikiran setjara terbuka menurut peraturan-peraturan tertentu.” Debat terjadi dengan peraturan. Pengertian agak berbeda dari “pertengkaran”. Pada masa 1950-an, debat makin berkaitan politik. Indonesia dalam gejolak-gejolak demokrasi. Indonesia dalam persaingan ideologi. Pada 1955, hajatan demokrasi memberi bobot pemaknaan debat.

Kamus-kamus itu sempat terbuka bagi kita bila penasaran dengan debat. Pengertian-pengertian beragam dimuat dalam kamus-kamus, sejak 1906 sampai 1956. Pada masa berbeda, kamus-kamus tetap memuat debat tapi mendapat pengertian berbeda dari masa lalu. Pada abad XX, kita bisa memberi pengertian baru setelah debat-debat berkaitan pemilu. Debat dalam raihan kekuasaan makin seru ketimbang perkembangan arti dalam kamus-kamus. Begitu.




Write a Facebook Comment

Tuliskan Komentar anda dari account Facebook

View all comments

Write a comment