- AHY: Indonesia Kaya Potensi Ekraf yang Bisa Tingkatkan Perekonomian
- Macan Tutul Jawa Puncak Predator di TN Ujung Kulon
- 5 Produk UMKM yang Punya Potensi Besar Ekspor ke Inggris
- Hub UMK Jakarta Raya Wujud Kontribusi PLN Dalam Pemberdayaan Ekonomi Lokal
- Presiden Prabowo Dorong Swasembada Pangan dan Ekonomi Biru Lewat Perikanan Budidaya
- Manfaatkan Energi Matahari, Petani Kopi Cuan Jutaan
- Kaktus Duri Menyengat, Kulit Glowing Sehat Terlihat!
- Kembalinya Candi Lumbung ke Desa Sengi
- Susu: Sapi dan Sastra
- Liverpool vs Man City, Laga Bergengsi Tim Papan Atas Liga Inggris
Debat: Demokrasi dan Kejenuhan
Bandung
Mawardi
Bapak rumah tangga dan
tukang kliping
Baca Lainnya :
- Tel-U dan SMK DT Kolaborasi Cetak Siswa Jadi Public Speaker Andal 0
- Pertamina Eco RunFest 2024 Salurkan Donasi Kemanusiaan untuk Palestina0
- Ditemukan Jejak Keberadaan Air Panas di Mars 4,45 Miliar Tahun Lalu0
- Angkatan Darat Inggris Siap Perang Lawan Rusia 0
- Moskow Peringatkan AS dan Inggris, Serangan Rudal Barat Ke Rusia Picu Benturan Kekuatan Nuklir0
KITA dalam hari-hari tenang.
Sekian hari lalu, demokrasi di Indonesia ingin bermutu dengan debat-debat.
Angan muluk mengajak para tokoh berdebat sebelum berkuasa itu sulit terwujud.
Debat-debat digelar di pelbagai kota justru membuat kita meragu mutu demokrasi.
Kita pun ragu dengan kesanggupan tokoh-tokoh mengajukan pemikiran berpijak
argumentasi. Di panggung, debat-debat itu sekadar tontonan: pameran busana,
keluwesan memegang mikrofon, dan pemicu tepuk tangan.
Pada hari-hari menjelang 27
November 2024, ratusan debat diadakan di pelbagai kota. Debat-debat itu acara
cap demokrasi dengan anggaran besar. Debat terpenting berada di Jakarta dan
kota-kota besar. Konon, debat dapat menjadi “ramalan” pemenang dalam hajatan
demokrasi.
Di daerah-daerah sulit mengadakan
debat, Jakarta dipilih untuk gelaran debat berkerja sama dengan pengelola
televisi. Debat berada di Jakarta untuk publik berada di tempat-tempat jauh.
Mereka diminta mengikuti debat dengan menonton televisi. Berita-berita mengenai
debat makin menjemukan dan dicemooh tak bermutu.
Debat-debat perlahan diragukan
meningkatkan mutu demokrasi. Pemahaman makna debat pun berubat. Debat-debat
atas nama demokrasi itu sulit memberi kepastian, kebenaran, dan kebaikan. Debat
di pelbagai tempat malam menimbulkan kericuhan. Kita mulai pesimistis. Debat
itu pesta anggaran besar mudah mubazir. Debat menjadi “teater janji” dan
gelagat kebohongan.
Kita lelah dan malas mengikuti
debat-debat. Di kebisingan politik, kita memilih kembali ke masa lalu. Kembali
dengan keisengan ingin mengetahui kemunculan dan penggunaan kata debat, sejak
awal abad XX. Pelacakan tak berlagak menguak sejarah. Kita cuma ingin membuka
kamus-kamus lama memuat debat
Pada 1906, terbit Practisch
Maleisch-Hollandsch en Hollandsch-Maleisch Handwoordenboek susunan L Th
Mayer. Di halaman 366, debat diartikan “bitjara” dan “moesjawarat”. Kita
mungkin kaget mengetahui pengertian debat tak seperti disampaikan para pengamat
politik, wartawan, dan penulis opini. Debat itu “moesjawarat”. Debat dalam
kamus menjelaskan orang-orang di tanah jajahan sudah biasa menggunakan dalam
ucapan atau tulisan.
Kita membuka Kitab Vortaro
(1923) susunan D Kwik diterbitkan Sin Po. Kamus dimaksudkan menjadi pegangan
para pembaca surat kabar jika menemukan kata atau istilah sulit. Kitab memuat
“segala perkatahan-perkatahan asing jang soeda oemoem di goenaken di dalem
soerat-soerat kabar Melajoe.” Kitab memuat debat di halaman 75. Debat berarti
“perbantahan bitjara” dan “beroending”. Pengertian kedua mirip dengan
“moesjawarat”. Para pembaca surat kabar masa lalu mungkin condong ke pengertian
“perbantahan bitjara”.
Dua kamus membuktikan debat sudah
lama hadir dalam omongan dan tulisan. Debat diperoleh dari bahasa Belanda. Pada
suatu masa, kata itu masuk dalam kamus-kamus bahasa Indonesia. Debat menjadi
kata mudah diakrabi dan dimengerti, tak lagi asing seperti dalam Kitab Vortaro,
seratus tahun lalu.
Pada 1936, terbit Baoesastra
Walandi-Djawi of Nederlands-Javaans Woordebnboek susunan WJS
Poerwadarminta, RAS Harsaja, dan A Soeprapta. Kamus selesai disusun 1933. Kita
menemukan “debat” di halaman 46, berarti “bantah”. Dulu, orang-orang berbahasa
Jawa mengetahui debat itu “bantah” dalam percakapan atau rapat. “Bantah”
mengesankan sikap menolak ajakan atau omongan untuk mufakat. “Bantah” juga bisa
berarti tak patuh setelah diberi petunjuk atau nasihat.
Pengertian mengejutkan kita
temukan dalam Kamus Saku Bahasa Indonesia (1952) susunan Reksosiswojo, St M
Said, dan A Sutan Pamuntjak. Debat diartikan “perbantahan” dan “pertengkaran
dengan kata-kata”. Kita kaget dengan “pertengkaran”. Pembaca wajib memahami itu
pertengkaran kata, bukan pertengkaran raga. Kamus disusun untuk para pelajar.
Pada masa 1950-an, kita menduga para pelajar di Indonesia terbiasa bertengkar
dengan kata-kata dalam masalah pengetahuan. Debat itu bermutu jika memiliki
argumentasi ilmiah.
Debat masuk dalam bahasa Indonesia
dari bahasa Belanda. Pada masa 1950-an, kamus-kamus terbit memberi keterangan
berbeda. Debat berasal dari bahasa Inggris. S Wojowasito, WJS Poerwadarminta,
dan SAM Gaastra dalam Kamus Inggeris-Indonesia (1951) mengartikan debat:
“memperbintjangkan”. Debat bersifat lisan, bukan tulisan.
Kita membuka Kamus Internasional
(1956) susunan Osman Raliby. Di halaman 125, debat diartikan “penukaran pikiran
setjara terbuka menurut peraturan-peraturan tertentu.” Debat terjadi dengan
peraturan. Pengertian agak berbeda dari “pertengkaran”. Pada masa 1950-an,
debat makin berkaitan politik. Indonesia dalam gejolak-gejolak demokrasi.
Indonesia dalam persaingan ideologi. Pada 1955, hajatan demokrasi memberi bobot
pemaknaan debat.
Kamus-kamus itu sempat terbuka
bagi kita bila penasaran dengan debat. Pengertian-pengertian beragam dimuat
dalam kamus-kamus, sejak 1906 sampai 1956. Pada masa berbeda, kamus-kamus tetap
memuat debat tapi mendapat pengertian berbeda dari masa lalu. Pada abad XX,
kita bisa memberi pengertian baru setelah debat-debat berkaitan pemilu. Debat
dalam raihan kekuasaan makin seru ketimbang perkembangan arti dalam
kamus-kamus. Begitu.