- IDXCarbon Jajakan Unit Karbon 90 Juta Ton Co2e Hingga Ke Brazil
- OJK Dinilai Memble, Kini Hasil Penyelidikan Investasi Telkom Pada GOTO Ditunggu
- Suara yang Dikenal dan yang Tidak Dikenal
- Sampah Akan Jadi Rebutan Sebagai Sumber Bahan Bakar
- Tenun Persahabatan: Merajut Warisan India dan Indonesia dalam Heritage Threads
- Manfaat Membaca yang Penting Kamu Ketahui
- Kisah Hanako, Koi di Jepang yang Berumur Lebih dari 2 Abad
- Hadiri Pesta Rakyat 2 di Manado, AHY Tegaskan Pentingnya Pemerataan Pembangunan Kewilayahan
- PFI Kepri Sambangi KSOP Batam, Perkuat Sinergi dan Semangat Foto Jurnalistik Maritim
- Belajar dari Makkah: Potensi Bio-Energi di Balik Sistem Pengolahan Limbah Modern
Masyarakat Sipil Nilai Puncak Penurunan Emisi Molor Ke 2037

Keterangan Gambar : Ilustrasi PLTU Penghasil Emisi/PorosBumi
JAKARTA– Koalisi masyarakat sipil yang tergabung
dalam Just Coalition for Our Planet (JustCOP) menilai penurunan
emisi setara karbondioksida di Indonesia
akan molor dari rencana semula dari tahun 2030 menjadi 2037.
Kepala Divisi Iklim dan Dekarbonisasi, Indonesian Center for Environmental
Law (ICEL), Syaharani menyatakan komitmen pemerintah Indonesia saat ini
cenderung tidak mencegah pemanasan bumi yang berakibat fatal bagi peradaban
manusia.
“Puncak tertinggi emisi sektor energi Indonesia ditargetkan mundur tujuh
tahun dari proyeksi dalam strategi jangka panjang rendah karbon dan ketahanan
iklim sampai 2050 (Long Term Strategy -Low Carbon and Climate Resilience -
LTS -LCCR),” ujar dalam keterangan resmi dikutip Rabu(15/10/2025).
Baca Lainnya :
- Jadi Pembina Kawasan Sungai Cipinang, MIND ID Komitmen Dukung Pengelolaan Lingkungan Berkelanjutan0
- Preseden Baru Pembela Lingkungan: Pengadilan Terapkan Mekanisme Anti-SLAPP Melalui Putusan Sela0
- Pencemaran Logam Berat di Laut Sangihe Mengancam Ekosistem, Pangan, dan Kesehatan Masyarakat0
- Menteri Kehutanan Bahas Konservasi Badak dan Ekowisata dengan Edge Group dan Dr Niall McCann0
- Luas Tutupan Lahan Mangrove di Pesisir Semarang Menurun 10 Tahun Terakhir0
Syaharani punya alasan pandangan itu setelah melihat Rencana Ketenagalistrikan Indonesia terbaru
(RUKN 2024-2060) yang menyebutkan bahwa
produksi listrik dari PLTU diperkirakan melonjak dan mencapai puncaknya pada
2037.
Ia juga merujuk Kebijakan Energi Nasional (KEN) yang menyebutkan bahwa 79
persen bauran energi pada 2030 masih berasal dari energi fosil.
“Saat ini, target penurunan emisi karbon Indonesia dengan proyeksi Business
as Usual (BAU) pada 2030 masih merefleksikan kenaikan emisi 148% bila
dibandingkan dengan emisi karbon pada 2010,” kata Syaharani.
Selain itu, dokumen ENDC yang berlaku saat ini belum secara spesifik
menyebut target pensiun dini pembangkit listrik batubara, yang mendominasi
penyedia listrik di berbagai sektor industri di Indonesia.
Dengan mundurnya target ini, Syaharani melanjutkan, sektor energi yang
menjadi penyumbang emisi terbesar masih akan membuang emisi lebih besar lagi.
Ini sudah pasti melampaui tolak ukur batas kenaikan suhu sebesar 1.5 derajat
celcius dari masa pra industri.
“Artinya, jika target Enhanced Nationally Determined Contribution (ENDC)
Indonesia yang dibuat pada 2022 terpenuhi, Indonesia sebenarnya masih
menghasilkan emisi cukup signifikan,” kata Syaharani.
Kenaikan emisi mengakibatkan bumi memanas dan krisis iklim akan semakin
parah. Karena itu, JustCOP mendorong agar pemerintah segera meningkatkan target
komitmen penurunan emisi Indonesia melalui Second Nationally Determined
Contribution (SNDC).
Menjelang konferensi para pihak untuk perubahan iklim (COP 30) yang akan
berlangsung pertengahan November 2025 kelak, sampai pertengahan Oktober saat
ini Indonesia belum juga menyerahkan dokumen SNDC. Tenggat penyerahan telah
terlewati, yakni bulan September 2025 yang lalu. Namun, Tri Purnajaya, Direktur
Pembangunan Ekonomi dan Lingkungan Hidup, Kementerian Luar Negeri optimis
Indonesia akan segera menyerahkan dokumen tersebut.
Namun ia mengingatkan agar publik harus realistis karena Indonesia masih
terus menggenjot pertumbuhan ekonomi.
“Komitmen Indonesia harus diselaraskan dengan target pembangunan 8 persen.
Kita bukan satu-satunya yang belum menyerahkan dokumen SNDC, baru setengah
(dari negara-negara yang menyepakati Perjanjian Paris) yang menyerahkan,”
katanya.
Sementara itu, Direktur Eksekutif Yayasan PIKUL, Torry Kuswardono
menekankan kebijakan iklim wajib berpihak pada masyarakat. Mitigasi yang
dilakukan pemerintah tidak seharusnya menyebabkan pelemahan masyarakat dalam
menghadapi perubahan iklim.
Pemerintah semestinya melindungi hak atas tanah melalui pengakuan tanah
adat dan reforma agraria sebagai fondasi ketahanan iklim komunitas. Juga
perlindungan sosial adaptif bagi subjek rentan seperti warga disabilitas,
buruh, dan pekerja informal. “Sepuluh tahun terakhir pada tingkatan akar rumput
terjadi pelemahan dalam adaptasi masyarakat menghadapi perubahan iklim,” kata
Torry.
Ia mencontohkan hilirisasi nikel di Maluku Utara dan Sulawesi Tengah justru
menjadi perebutan tanah, memicu konflik agraria, dan berdampak pencemaran pada
masyarakat sekitar. “Perlindungan terhadap kelompok rentan tidak terlihat dalam
kebijakan perubahan iklim di Indonesia,” katanya.
Torry juga menyoroti persoalan kurangnya partisipasi publik dalam
pengambilan kebijakan Indonesia. “Ada mekanisme-mekanisme yang tidak cukup
transparan. Kalau pun ada partisipasi, itu tokenisme, alias partisipasi semu.
Prosesnya kita tidak tahu. Hari ini diumumkan akan ada partisipasi publik,
besoknya sudah ketok palu kebijakan disahkan,” katanya.
Torry juga mengimbau pemerintah lebih fokus pada kebijakan mitigasi dan
adaptasi perubahan iklim untuk proyek-proyek yang lebih kecil tetapi masif dan
inklusif, bukan proyek-proyek besar terpusat. “Komunitas lokal lebih tahu apa
yang menjadi kebutuhan mereka. Bukan pelepasan lahan untuk proyek ketahanan
pangan dengan membabat hutan, yang seharusnya dijaga karena kekayaan
biodiversitasnya,” kata Torry. (abdul aziz)
.jpg)

.jpg)

.jpg)
.jpg)
.jpg)
.jpg)
.jpg)

.jpg)

