- OJK Akan Tata Ulang Perijinan Perusahaan Gadai
- Jadi Pembina Kawasan Sungai Cipinang, MIND ID Komitmen Dukung Pengelolaan Lingkungan Berkelanjutan
- Wujudkan Ekonomi Kerakyatan, MIND ID Dorong 10.000 UMK Naik Kelas
- Masyarakat Adat Masukih Tolak Penambangan Emas Ilegal di Hutan Adat Kalimantan Tengah
- Cegah Tragedi Berulang, Kementerian PU Periksa Struktur Bangunan Dua Pesantren Besar di Jatim
- Survei Litbang Kompas: 71,5 Persen Puas dengan Kinerja Kementan
- Pertamina Wujudkan Transformasi Bisnis Berkelanjutan Melalui BBM Ramah Lingkungan
- Merawat Tradisi Penyembuhan Dayak Taboyan: Jaga Keseimbangan Alam, Roh, dan Manusia
- Mantan Bos BEI Minta Purbaya Jelaskan Definisi Saham Gorengan
- Israel Disebut Akan Tarik Mundur Pasukan Sepenuhnya Dari Gaza Dalam 24 Jam
Preseden Baru Pembela Lingkungan: Pengadilan Terapkan Mekanisme Anti-SLAPP Melalui Putusan Sela
5.jpg)
JAKARTA – Koalisi Save Akademisi dan
Ahli memberikan apresiasi kepada Majelis Hakim Pengadilan Negeri Cibinong atas
putusan sela dalam perkara Nomor 212/Pdt.G/2025/PN Cbi yang menyatakan gugatan
terhadap Prof. Dr. Ir. Bambang Hero Saharjo, M.Agr. dan Prof. Dr. Ir. Basuki
Wasis, M.Si. sebagai tindakan Strategic Lawsuit Against Public Participation
(SLAPP) dan memutuskan gugatan tidak dapat dilanjutkan.
Putusan ini mencatatkan sejarah sebagai putusan Anti-SLAPP
pertama di Indonesia yang dijatuhkan melalui mekanisme putusan sela dengan
mendasarkan pada Peraturan Mahkamah Agung (Perma) No. 1 Tahun 2023 tentang
Pedoman Mengadili Perkara Lingkungan Hidup.
Latar belakang gugatan ini diajukan oleh PT Kalimantan
Lestari Mandiri (PT KLM) terhadap kedua akademisi Institut Pertanian Bogor
(IPB) tersebut yang telah memberikan keterangan ahli dalam perkara kebakaran
lahan gambut di areal perkebunan PT KLM di Kabupaten Kapuas, Kalimantan Tengah
pada tahun 2018. Keterangan ahli tersebut digunakan sebagai dasar putusan yang
telah berkekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde) yang menghukum PT KLM
membayar ganti rugi materiil sebesar Rp89,3 miliar dan biaya pemulihan sebesar
Rp210,5 miliar.
Baca Lainnya :
- Pencemaran Logam Berat di Laut Sangihe Mengancam Ekosistem, Pangan, dan Kesehatan Masyarakat0
- Menteri Kehutanan Bahas Konservasi Badak dan Ekowisata dengan Edge Group dan Dr Niall McCann0
- Luas Tutupan Lahan Mangrove di Pesisir Semarang Menurun 10 Tahun Terakhir0
- Gerakan Koeksistensi Manusia-Gajah: Hari Gajah Sedunia 2025 di Distrik Tongod, Sabah0
- Bedah Buku dan Film Merawat Harapan di Kampung Halaman0
Dalam pertimbangannya, Majelis Hakim menegaskan bahwa
keterangan ahli yang disampaikan Prof. Bambang Hero Saharjo dan Prof. Basuki
Wasis dalam persidangan merupakan bentuk perjuangan hak atas lingkungan hidup
yang baik dan sehat sebagaimana dilindungi Pasal 66 UU No. 32 Tahun 2009
tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU PPLH).
Majelis juga merujuk pada Putusan Mahkamah Konstitusi No.
119/PUU-XXIII/2025 yang memperluas perlindungan Pasal 66 UU PPLH untuk mencakup
"setiap orang, termasuk korban, pelapor, saksi, ahli, dan aktivis
lingkungan yang berpartisipasi dalam upaya perlindungan dan pengelolaan
lingkungan hidup." Berdasarkan Pasal 48 ayat (3) huruf c Perma No. 1 Tahun
2023, penyampaian pendapat, kesaksian, atau keterangan di persidangan termasuk
dalam bentuk perjuangan hak atas lingkungan hidup yang dilindungi. Gugatan yang
mengancam partisipasi tersebut merupakan pelanggaran terhadap Pasal 66 UU PPLH.
Langkah Progresif Majelis Hakim: Perlindungan
Nyata bagi Pembela Lingkungan
Koalisi Save Akademisi dan Ahli menilai langkah Majelis
Hakim ini tepat, progresif, dan selaras dengan semangat perlindungan terhadap
pembela lingkungan hidup. Putusan ini menunjukkan pemahaman yang kuat atas
prinsip Anti- SLAPP sebagaimana diatur dalam Perma No. 1 Tahun 2023 tentang
Pedoman Mengadili Perkara Lingkungan Hidup.
“SLAPP harus dihentikan sedini mungkin untuk mencegah
kriminalisasi dan tekanan terhadap individu yang berpartisipasi dalam
perlindungan lingkungan hidup. Mekanisme melalui putusan sela menjadi langkah
yang efektif dan berkeadilan, karena memungkinkan penghentian perkara sejak
awal tanpa harus menunggu proses persidangan yang panjang, melelahkan, dan
berbiaya besar bagi para pembela lingkungan,” ujar Marsya M Handayani, Peneliti
Indonesia Center for Environmental Law (ICEL).
Koalisi Save Akademisi dan Ahli menegaskan bahwa penerapan
mekanisme ini merupakan bentuk konkret perlindungan hukum bagi masyarakat,
ahli, maupun akademisi yang menjalankan perannya dalam penegakan hukum dan
perlindungan lingkungan hidup. Dengan putusan ini, pengadilan telah memberikan
sinyal kuat bahwa upaya pembungkaman terhadap partisipasi publik dalam isu
lingkungan tidak dapat dibenarkan dalam negara hukum.
“Putusan ini jadi pengingat bagi seluruh Perusahaan Perusak
Hutan untuk segera menaati hukum dan putusan pengadilan. Tidak ada ruang lagi
untuk mencoba memenjarakan pejuang lingkungan demi keuntungan segelintir
orang,” tegas Sekar Banjaran Aji, Juru Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia.
Preseden Penting bagi Perlindungan Akademisi dan
Ahli
Lebih jauh, Koalisi Save Akademisi dan Ahli berharap putusan
ini dapat menjadi rujukan bagi pengadilan lain dalam menangani kasus-kasus
serupa dan memberikan perlindungan optimal bagi siapapun yang berjuang untuk
kelestarian lingkungan hidup di Indonesia.
YLBHI menilai putusan ini sebagai langkah penting dalam
meneguhkan prinsip negara hukum, demokrasi, dan penghormatan terhadap hak asasi
manusia di Indonesia. Melalui mekanisme Anti-SLAPP, pengadilan tidak hanya
menegakkan hukum, tetapi juga melindungi kebebasan berekspresi dan kebebasan
akademik sebagai dasar kehidupan ilmiah dan demokratis.
Keberanian Majelis Hakim menerapkan Perma No. 1 Tahun 2023
memberi harapan baru bagi peradilan untuk benar- benar menjadi benteng terakhir
bagi pembela lingkungan dan HAM. Pertimbangan dalam putusan ini seharusnya
menjadi contoh bagi perkara lain, termasuk kasus yang menjerat 11 masyarakat
adat Maba Sangaji di Maluku Utara, agar tidak ada lagi kriminalisasi terhadap
mereka yang berjuang membela hak atas lingkungan.
“Ke depan, negara dan aparat penegak hukum harus memastikan
tidak ada lagi penggunaan instrumen hukum untuk membungkam hak-hak masyarakat
dalam memperjuangkan keadilan lingkungan,” tegas Edy K. Wahid, Wakil Ketua
Bidang Advokasi YLBHI.
Senada dengan itu, Wildan dari Departemen Advokasi dan
Kampanye Trend Asia “Ini merupakan putusan progresif untuk perlindungan
terhadap para pejuang lingkungan. Sebaran kasus kriminalisasi pembungkaman
untuk memperjuangkan lingkungan hidup yang baik dan sehat masih terus berlanjut
dan bertambah, terutama mereka yang berjuang menolak proyek-proyek PSN karena
merampas ruang hidup dan lingkungan.”
Sementara itu, Jikalahari menilai putusan ini sebagai
kemenangan bagi seluruh akademisi, aktivis, dan semua pihak yang berpartisipasi
dalam perlindungan lingkungan hidup—baik untuk saat ini maupun di masa
mendatang. Putusan ini juga menjadi kemenangan bagi masyarakat korban asap
akibat pembakaran hutan oleh PT KLM.
“Dengan putusan ini membuktikan bahwa vonis terhadap PT KLM
yang disandarkan pada laporan perhitungan dari ahli Prof. Bambang Hero dan
Prof. Basuki Wasis tak terbantahkan. Pengadilan harus segera mengeksekusi
terhadap PT KLM serta seluruh perusahaan pelaku pembakar hutan yang telah
divonis inkrah,” kata Okto Yugo Setiyo, Koordinator Jikalahari.
Dari daerah, WALHI Kalimantan Tengah menyambut putusan ini
sebagai angin segar bagi pembela lingkungan hidup, khususnya di wilayah yang
kerap menjadi episentrum konflik antara kepentingan korporasi dan hak
masyarakat atas sumber penghidupan. Mekanisme Anti-SLAPP yang diterapkan
melalui putusan sela ini dinilai harus menjadi standar baru bagi semua
pengadilan di Indonesia dalam menangani perkara lingkungan.
“Putusan ini tidak hanya melindungi dua akademisi, tetapi
juga memberikan perlindungan moral dan hukum bagi masyarakat, aktivis, dan ahli
di daerah yang sering menghadapi intimidasi dan kriminalisasi ketika mengungkap
kerusakan lingkungan oleh Perusahaan,” tutur Bayu Herinata, Direktur WALHI
Kalimantan Tengah.
“Dengan adanya mekanisme Anti-SLAPP ini, upaya hukum yang
bermotif pembalasan bisa dihentikan sejak awal, sebelum menimbulkan kerugian
lebih besar bagi pembela lingkungan. Ini penting agar energi para pejuang
lingkungan tidak habis untuk melawan kriminalisasi, tetapi bisa difokuskan
untuk pemulihan dan perlindungan lingkungan,” pungkas Bayu.
