Setelah 1928

By PorosBumi 28 Okt 2025, 07:01:03 WIB Tilikan
Setelah 1928

Bandung Mawardi

Tukang Kliping, Bapak Rumah Tangga

 

Baca Lainnya :

SEJARAH dibuat dengan tanda-tanda. Sejak awal abad XX, pembentukan pelbagai perkumpulan atau sarekat di tanah jajahan menimbulkan panji-panji. Pilihan kata dan gambar diinginkan menjadikan gerakan mereka terpuji. Di tatapan panji, orang-orang mengerti ideologi dan garis sejarah bakal diwujudkan.

Pada pergantian tahun (1930-1931) tanda dipilih itu bunga, keris, dan matahari. Indonesia Moeda dibentuk di Solo sebagai lanjutan dari permufakatan kaum muda atau Sumpah Pemuda (1928). Penjelasan dibuat agar orang-orang memuliakan panji Indonesia Moeda. Tiga karangan bunga teratai mengartikan sumpah mengenai tanah air, bangsa, dan bahasa. Keris berarti persatuan dan satu tujuan. Matahari itu usaha menuju Indonesia Raya.

Di tanah jajahan, panji ingin bermakna. Indonesia Moeda mengumumkan tak berpolitik tapi sadar situasi politik amburadul. Perwujudan cita-cita Sumpah Pemuda dengan pembentukan Indonesia Moeda berada di garis sejarah sedang direcoki pemerintah kolonial dan perpecahan gerakan politik kebangsaan.

Ingatan-ingatan sejarah kita jarang mengurusi Indonesia Moeda. Setiap tahun, peringatan dan ingatan melulu mengarah 28 Oktober 1928 atau Sumpah Pemuda. Garis sejarah terus memanjang meski kita tak lagi mau membaca dan mengingat. Pada 1930-1931, pembentukan Indonesia Moeda dengan pengenalan panji digenapi puisi. Penciptaan sejarah memerlukan puisi satu sengatan imajinasi, bukan sekadar dokumen dibubuhi tanda tangan.

Pada peristiwa 1928, publik mengingat M Yamin. Pada babak pendirian Indonesia Moeda, kita diajak mengingat puisi gubahan Armijn Pane. Di kesusastraan modern Indonesia, Armijn Pane moncer melalui novel berjudul Belenggoe. Ia bergerak di sastra tapi sadar dan terlibat dalam geliat kaum muda membentuk Indonesia mulia.

Armijn Pane mempersembahkan puisi berjudul “Oepatjara”. Gubahan sastra dimaksudkan keramat demi gairah kaum muda dan arus sejarah: Adoeh, Iboe, lihatlah itoe,/ Sedih dalam diri akoe,/ Boenda ta’ ada melihat wahjoe,/ Wahjoe kemenangan bangsa satoe.// Oepatjara itoe, Iboe,/ Tanda kita soedah bersatoe,/ Indonesia berbangsa satoe,/ Toedjoean ada tanda sekoetoe.

Pada masa lalu, upacara dipentingkan dalam pemaknaan kebersamaan. Upacara untuk sakral ketimbang politis. Upacara dengan raga disempurnanakan suguhan kata-kata. Pada 1930-an, sebutan “Tanah Air” berarti “Iboe Indonesia”. Armijn Pane lumrah mencantumkan “iboe”, “boenda”, dan “iboenda” dalam puisi berkepentingan Indonesia.

Di bait terakhir, Armijn Pane menulis: Hati hendak berkata, Iboenda,/ Kata ta’ ada pada anakda,/ Rasa tinggal dalam dada,/ Dikandoeng dalam toedjoean raja. Puisi memuliakan ibu saat kaum muda ingin mengabarkan dan membuktikan bakti mewujudkan Indonesia. Kita mengingat babak 1930-an itu puitis. Garis sejarah dibuat berselera feminin. Pekik tak terlalu terdengar digantikan pujian-pujian menggunakan kata-kata lembut dan santun. Indonesia Moeda memang dimulai dengan keramat sebelum mengandung gejala-gejala radikal.

Sejarah bertokoh kaum muda tak selesai pada 1926 dan 1928. Perwujudan menjadi Indonesia Moeda dengan panji dan puisi belum mampu memadai bagi suara-suara pemuliaan Indonesia. Pada masa 1930-an, jumlah kaum muda (terpelajar) masih sedikit. Mereka berada dalam arus intelektual, politik, dan kultural. Indonesia Moeda mengesankan berisi orang-orang terpelajar atau hasil didikan sekolah. Mereka itu melek bacaan dan mengerti dunia bergerak dengan tulisan-tulisan. 

Garis sejarah mendapat “gugatan” dalam laju Indonesia Moeda. Roeslan Abdulgani (1974) mengingat masa lalu merujuk kendi. Ia memberi pengakuan tentang sejarah dan kaum muda. Pada 1932, Kongres Indonesia Moeda diselenggarakan di Surabaya. Pengurus menentukan perubahan anggaran dasar disusun di Solo. Pemicu perubahan itu demonstrasi.

Kaum muda di Surabaya membuat “Barisan Kendi”. Mereka mengadakan demonstrasi saat kongres Indonesia Moeda. Tuntutan diajukan: kaum muda tak belajar atau hasil didikan sekolah agar diterima dalam Indonesia Moeda. Mereka bukan “terpelajar” tapi berhak turut membesarkan dan menggerakkan Indonesia Moeda. Kita mengingat babak gugatan itu berurusan jumlah (anggota) dan perkembangan institusi pendidikan di Indonesia.

Roeslan Abdulgani menerangkan: “Simbol kendi sengaja kita pilih karena dari kendilah rakyat kita minum sehari-harinya. Bukan dari gelas indah atau cangkir porselin. Kendi mencerminkan kehidupan rakyat kita sehari-hari. Kendi adalah cermin hidup sederhana dan prihatin. Kendi juga mencerminkan jiwa menolong rakyat yang sedang haus karena di pinggir jalan umum di desa-desa dan kampung-kampung pada waktu itu selalu terdapat kendi berisi air sejuk tersedia gratis untuk setiap orang yang haus berlalu.” Di perkembangan Indonesia Moeda, kendi menjadi peringatan dan pemicu perubahan dalam mewujudkan Indonesia mulia.

Sejarah berlatar masa 1930-an memang jarang diperkarakan saat orang-orang memilih peringatan Sumpah Pemuda (1928). Rutinitas setiap tahun justru membuat sejarah itu sempit, repetitif, dan klise. Kaum muda seolah selesai dengan Sumpah Pemuda. Di situasi berbeda, tahun itu justru diperingati sebagai hari kelahiran lagu “Indonesia Raya”. Album sejarah sempat memiliki keberpihakan sejarah itu kaum muda atau lagu.

Kini, kita mengenang pada masa setelah 1928 dengan panji, puisi, dan kendi. Sejarah bergerak jauh dan belum utuh terceritakan saat kita dijenuhkan tema-tema peringatan Sumpah Pemuda buatan pemerintah. Kita mendingan memilih penjelasan sejarah ketimbang tema sering “salah” dan “jelek”. Begitu.




Write a Facebook Comment

Tuliskan Komentar anda dari account Facebook

View all comments

Write a comment