- IDXCarbon Jajakan Unit Karbon 90 Juta Ton Co2e Hingga Ke Brazil
- OJK Dinilai Memble, Kini Hasil Penyelidikan Investasi Telkom Pada GOTO Ditunggu
- Suara yang Dikenal dan yang Tidak Dikenal
- Sampah Akan Jadi Rebutan Sebagai Sumber Bahan Bakar
- Tenun Persahabatan: Merajut Warisan India dan Indonesia dalam Heritage Threads
- Manfaat Membaca yang Penting Kamu Ketahui
- Kisah Hanako, Koi di Jepang yang Berumur Lebih dari 2 Abad
- Hadiri Pesta Rakyat 2 di Manado, AHY Tegaskan Pentingnya Pemerataan Pembangunan Kewilayahan
- PFI Kepri Sambangi KSOP Batam, Perkuat Sinergi dan Semangat Foto Jurnalistik Maritim
- Belajar dari Makkah: Potensi Bio-Energi di Balik Sistem Pengolahan Limbah Modern
Setelah 1928
.jpg)
Bandung Mawardi
Tukang Kliping, Bapak Rumah Tangga
Baca Lainnya :
- Kamu Wajib Tau! Ini Deretan Modus Penipuan di Tahun 20250
- Pewarta Foto Indonesia Kepri-Polda Kepri Jalin Silaturahmi Lewat Fotografi 0
- Penghakiman Para Pendosa dengan Dosa Berbeda 0
- Tak Sekadar Bantuan, Melainkan Wujud Cinta0
- Tangis dan Tawa0
SEJARAH dibuat dengan tanda-tanda.
Sejak awal abad XX, pembentukan pelbagai perkumpulan atau sarekat di tanah
jajahan menimbulkan panji-panji. Pilihan kata dan gambar diinginkan menjadikan
gerakan mereka terpuji. Di tatapan panji, orang-orang mengerti ideologi dan
garis sejarah bakal diwujudkan.
Pada pergantian tahun (1930-1931) tanda dipilih itu bunga,
keris, dan matahari. Indonesia Moeda dibentuk di Solo sebagai lanjutan dari
permufakatan kaum muda atau Sumpah Pemuda (1928). Penjelasan dibuat agar
orang-orang memuliakan panji Indonesia Moeda. Tiga karangan bunga teratai
mengartikan sumpah mengenai tanah air, bangsa, dan bahasa. Keris berarti
persatuan dan satu tujuan. Matahari itu usaha menuju Indonesia Raya.
Di tanah jajahan, panji ingin bermakna. Indonesia Moeda
mengumumkan tak berpolitik tapi sadar situasi politik amburadul. Perwujudan
cita-cita Sumpah Pemuda dengan pembentukan Indonesia Moeda berada di garis
sejarah sedang direcoki pemerintah kolonial dan perpecahan gerakan politik
kebangsaan.
Ingatan-ingatan sejarah kita jarang mengurusi Indonesia
Moeda. Setiap tahun, peringatan dan ingatan melulu mengarah 28 Oktober 1928
atau Sumpah Pemuda. Garis sejarah terus memanjang meski kita tak lagi mau
membaca dan mengingat. Pada 1930-1931, pembentukan Indonesia Moeda dengan
pengenalan panji digenapi puisi. Penciptaan sejarah memerlukan puisi satu
sengatan imajinasi, bukan sekadar dokumen dibubuhi tanda tangan.
Pada peristiwa 1928, publik mengingat M Yamin. Pada babak
pendirian Indonesia Moeda, kita diajak mengingat puisi gubahan Armijn Pane. Di
kesusastraan modern Indonesia, Armijn Pane moncer melalui novel berjudul Belenggoe.
Ia bergerak di sastra tapi sadar dan terlibat dalam geliat kaum muda membentuk
Indonesia mulia.
Armijn Pane mempersembahkan puisi berjudul “Oepatjara”.
Gubahan sastra dimaksudkan keramat demi gairah kaum muda dan arus sejarah:
Adoeh, Iboe, lihatlah itoe,/ Sedih dalam diri akoe,/ Boenda ta’ ada melihat
wahjoe,/ Wahjoe kemenangan bangsa satoe.// Oepatjara itoe, Iboe,/ Tanda kita
soedah bersatoe,/ Indonesia berbangsa satoe,/ Toedjoean ada tanda sekoetoe.
Pada masa lalu, upacara dipentingkan dalam pemaknaan
kebersamaan. Upacara untuk sakral ketimbang politis. Upacara dengan raga
disempurnanakan suguhan kata-kata. Pada 1930-an, sebutan “Tanah Air” berarti
“Iboe Indonesia”. Armijn Pane lumrah mencantumkan “iboe”, “boenda”, dan
“iboenda” dalam puisi berkepentingan Indonesia.
Di bait terakhir, Armijn Pane menulis: Hati hendak berkata,
Iboenda,/ Kata ta’ ada pada anakda,/ Rasa tinggal dalam dada,/ Dikandoeng dalam
toedjoean raja. Puisi memuliakan ibu saat kaum muda ingin mengabarkan dan
membuktikan bakti mewujudkan Indonesia. Kita mengingat babak 1930-an itu
puitis. Garis sejarah dibuat berselera feminin. Pekik tak terlalu terdengar
digantikan pujian-pujian menggunakan kata-kata lembut dan santun. Indonesia
Moeda memang dimulai dengan keramat sebelum mengandung gejala-gejala radikal.
Sejarah bertokoh kaum muda tak selesai pada 1926 dan 1928.
Perwujudan menjadi Indonesia Moeda dengan panji dan puisi belum mampu memadai
bagi suara-suara pemuliaan Indonesia. Pada masa 1930-an, jumlah kaum muda
(terpelajar) masih sedikit. Mereka berada dalam arus intelektual, politik, dan
kultural. Indonesia Moeda mengesankan berisi orang-orang terpelajar atau hasil
didikan sekolah. Mereka itu melek bacaan dan mengerti dunia bergerak dengan
tulisan-tulisan.
Garis sejarah mendapat “gugatan” dalam laju Indonesia Moeda.
Roeslan Abdulgani (1974) mengingat masa lalu merujuk kendi. Ia memberi
pengakuan tentang sejarah dan kaum muda. Pada 1932, Kongres Indonesia Moeda
diselenggarakan di Surabaya. Pengurus menentukan perubahan anggaran dasar
disusun di Solo. Pemicu perubahan itu demonstrasi.
Kaum muda di Surabaya membuat “Barisan Kendi”. Mereka
mengadakan demonstrasi saat kongres Indonesia Moeda. Tuntutan diajukan: kaum
muda tak belajar atau hasil didikan sekolah agar diterima dalam Indonesia
Moeda. Mereka bukan “terpelajar” tapi berhak turut membesarkan dan menggerakkan
Indonesia Moeda. Kita mengingat babak gugatan itu berurusan jumlah (anggota)
dan perkembangan institusi pendidikan di Indonesia.
Roeslan Abdulgani menerangkan: “Simbol kendi sengaja kita
pilih karena dari kendilah rakyat kita minum sehari-harinya. Bukan dari gelas
indah atau cangkir porselin. Kendi mencerminkan kehidupan rakyat kita
sehari-hari. Kendi adalah cermin hidup sederhana dan prihatin. Kendi juga
mencerminkan jiwa menolong rakyat yang sedang haus karena di pinggir jalan umum
di desa-desa dan kampung-kampung pada waktu itu selalu terdapat kendi berisi
air sejuk tersedia gratis untuk setiap orang yang haus berlalu.” Di perkembangan
Indonesia Moeda, kendi menjadi peringatan dan pemicu perubahan dalam mewujudkan
Indonesia mulia.
Sejarah berlatar masa 1930-an memang jarang diperkarakan
saat orang-orang memilih peringatan Sumpah Pemuda (1928). Rutinitas setiap
tahun justru membuat sejarah itu sempit, repetitif, dan klise. Kaum muda seolah
selesai dengan Sumpah Pemuda. Di situasi berbeda, tahun itu justru diperingati
sebagai hari kelahiran lagu “Indonesia Raya”. Album sejarah sempat memiliki
keberpihakan sejarah itu kaum muda atau lagu.
Kini, kita mengenang pada masa setelah 1928 dengan panji,
puisi, dan kendi. Sejarah bergerak jauh dan belum utuh terceritakan saat kita
dijenuhkan tema-tema peringatan Sumpah Pemuda buatan pemerintah. Kita mendingan
memilih penjelasan sejarah ketimbang tema sering “salah” dan “jelek”. Begitu.
.jpg)

.jpg)

.jpg)
.jpg)
.jpg)
.jpg)
.jpg)

.jpg)

