- IDXCarbon Jajakan Unit Karbon 90 Juta Ton Co2e Hingga Ke Brazil
- OJK Dinilai Memble, Kini Hasil Penyelidikan Investasi Telkom Pada GOTO Ditunggu
- Suara yang Dikenal dan yang Tidak Dikenal
- Sampah Akan Jadi Rebutan Sebagai Sumber Bahan Bakar
- Tenun Persahabatan: Merajut Warisan India dan Indonesia dalam Heritage Threads
- Manfaat Membaca yang Penting Kamu Ketahui
- Kisah Hanako, Koi di Jepang yang Berumur Lebih dari 2 Abad
- Hadiri Pesta Rakyat 2 di Manado, AHY Tegaskan Pentingnya Pemerataan Pembangunan Kewilayahan
- PFI Kepri Sambangi KSOP Batam, Perkuat Sinergi dan Semangat Foto Jurnalistik Maritim
- Belajar dari Makkah: Potensi Bio-Energi di Balik Sistem Pengolahan Limbah Modern
Tangis dan Tawa
.jpg)
Bandung Mawardi
Tukang Kliping, Bapak Rumah Tangga
Baca Lainnya :
- Pada Hari Seorang Buta Bisa Melihat, Hal Pertama yang Ia Buang Adalah Tongkat0
- Bakung: Tradisi Lisan Masyarakat Adat Dayak Bahau Busang 0
- Kementerian PU Bangun 43 Jembatan Gantung, Solusi Atasi Kesulitan Akses Transportasi Masyarakat0
- Masyarakat Adat Masukih Tolak Penambangan Emas Ilegal di Hutan Adat Kalimantan Tengah 0
- Cegah Tragedi Berulang, Kementerian PU Periksa Struktur Bangunan Dua Pesantren Besar di Jatim0
TANGGAL itu telah berlalu. Tanggal
ditetapkan oleh Fadli Zon sebagai Hari Komedi Nasional. Kita belum sanggup
membuat acara-acara ramai agar Hari Komedi Nasional (27 September 2025)
mencipta tawa 24 jam di seantero Indonesia. Kebingungan masih melanda Indonesia
untuk tertawa atau prihatin.
Berita-berita sekian hari lalu bertema makanan bergizi
gratis dan keracunan. Orang-orang kecewa dan menggugat pemerintah agar
bertanggung jawab atas nasib ribuan anak dan remaja keracunan gara-gara
menikmati makanan dicap bergizi. Prihatin membutuhkan jawaban. Di hadapan
kamera, pejabat di Badan Gizi Nasional memegang mikrofon dalam memberikan
keterangan-keterangan “samar”. Ia justru menampilkan adegan menangis, bukan
mengucapkan kata-kata pengunduran diri atau ikhlas bertanggung jawab.
Di hitungan menit, publik memilih adegan menangis itu
“sandiwara” atas tragedi gizi di Indonesia. Foto adegan pejabat menangis sambil
memegang mikrofon lekas beredar di media sosial. Orang-orang mengimbuhi
kata-kata mengecam, mengejek, menghibur, memuji, dan lain-lain. Sekian penonton
tertawa tapi sinis. Sekian orang melongo memikirkan Indonesia, makanan bergizi,
dan tangisan.
Kemunculan adegan menangis itu membuat kita tak sempat
membuat selebrasi tertawa dalam peringatan Hari Komedi Nasional. Kita pastikan
komedi mencipta tawa. Rikuh tertawa secara terbuka dan dipamerkan di media
sosial, kita memilih tertawa sambil mengenang Indonesia dengan membaca
buku-buku. Tertawa di hadapan kertas-kertas mungkin masih berfaedah dalam
kepentingan mendefinisikan Indonesia itu “negeri komedi”.
Kita membuka buku berjudul Humor Mahasiswa Jakarta:
Lelucon Erotik (1988) dengan editor James Danandjaja. Buku itu dokumentasi
saat para mahasiswa mencipta humor dalam pergaulan keseharian. Mahasiswa dalam
arus intelektual memiliki selingan dan hiburan untuk tertawa dengan pelbagai
kepentingan.
James Danandjaja mengungkapkan: “Humor menjadi penting
karena dapat dijadikan semacam psikoterapi bagi orang-orang Indonesia dalam
kehidupannya yang masih bersifat lebih banyak bhinneka ketimbang tunggal
ikanya. Sehingga, jika tidak ada yang berkenan di hatinya maka humor hidupnya
dapat diderita tanpa mengganggu kesejahteraan jiwa mereka.”
Pengertian itu mengingatakan kita dengan buku babon garapan
James Danandjaja berjudul Folklor Indonesia: Ilmu Gosip, Dongeng, dan
Lain-lain (1984). Humor atau lelucon sering terkandung dalam
dongeng-dongeng bertumbuh dan lestari di seantero Indonesia. Dongeng
menghasilkan hiburan dan tawa menjadikan orang-orang masih betah membuat
makna-makna hidup ketimbang terpuruk oleh derita atau sengsara. Dongeng itu
imajinasi tapi sanggup memberi petunjuk atau tanda-tanda bagi orang-orang
meneliti hidup.
Di buku kecil, James Danandjaja memilih humor-humor dibuat
kalangan mahasiswa, berbeda selera dan dampak dari dongeng-dongeng silam. Para
mahasiswa tak melulu sibuk dengan ilmu-ilmu (serius). Keterangan berlatar Orde
Baru masa 1970-an dan 1980-an: “Berhubung para mahasiswa Universitas Indonesia
tidak hidup eksklusif, maka humor mereka itu bukan milik mereka sendiri,
melainkan juga milik para mahasiswa di universitas-universitas lain….”
Dokumentasi masih di lingkup Universitas Indonesia tapi memiliki “persamaan”
dengan humor beredar di pelbagai universitas di Indonesia atau negara-negara
asing.
Kita mengingat masa Orde Baru bertokoh mahasiswa. Dulu, para
mahasiswa memang berdemonstrasi dan berseminar. Mereka pun rajin tertawa
ketimbang sengsara oleh kuliah dan selalu patah hati dalam asmara. Humor justru
membuat mereka belajar menjadi manusia dan mengerti misi menjadi Indonesia.
Kita mengutip humor diceritakan ulang oleh Yuniarti:
“Seorang lelaki bertanya kepada temannya, ‘Benarkah istrimu kedapatan mati
terbunuh bersama seorang pemuda di kamar tidurmu?’ ‘Begitulah tetapi saya
merasa bersyukur sekali,’ kata teman tersebut. ‘Lho, kok, malah bersyukur?’
tanya lelaki itu. ‘Mengapa tidak? Bayangkan saja kalau malam itu istriku tidur
bersamau, tentu aku yang akan mati!’ jawabnya.” Kita mungkin tertawa sejenak
sambil bingung dan prihatin.
Di buku jilid II berjudul Humor Mahasiswa Jakarta:
Lelucon Non-Erotik (1988), pembaca menemukan selera berbeda, tak melulu
berkaitan tubuh dan berahi. Di situ, ada gejala-gejala menjadikan lelucon atau
humor sebagai protes sosial dan politik. Para mahasiswa dengan terhibur dan
tertawa melakukan perlawanan meski tanpa demontrasi disahkan spanduk, jas
almamater, dan orasi.
James Danandjaja menerangkan: “Fungsi humor umumnya sebagai
pelipur hati pendengarnya maupun penceritanya disebabkan humor dapat
menyalurkan ketegangan batin, yang ada mengenai ketimpangan norma-norma
masyarakat.” Kita mengandaikan para mahasiswa masa Orde Baru suka tertawa meski
bisa marah-marah bila melihat Indonesia amburadul atau para pejabat berpesta
korupsi. Humor tetap ada mengiringi arus Indonesia abad XX.
Kita mengutip humor diceritakan ulang oleh Nurkemah: “Pada
suatu hari, menteri mengunjungi para nelayan dan ikut memancing di laut. Para
nelayan sangat heran karena hasil tangkapannya sedikit tapi tangkapan menteri
sangat banyak. Selidik punya selidik, diketahui sebabnya. Ternyata, di
pancingan menteri ada pilihan sulit sekali bagi ikan yang besar-besar karena
isi tulisannya: “makan kail atau ikut penataran P-4”. Maka, akhirnya ikan pun
memilih memakan kail itu daripada harus ikut penataran P-4.” Kita cepat tertawa
bila mengingat rezim Orde Baru sangat menginginkan jutaan orang Pancasilais
melalui penataran. Kebijakan itu membosankan, manipulatif, dan klise.
Pada 1999, James Danandjaja tampil lagi sebagai editor untuk
buku berjudul Humor dan Rumor Politik Masa Reformati. Buku pun
dokumentasi situasi Indonesia dalam beragam krisis dan tragedi. Tawa diajukan
bukan menjawab segala persoalan tapi “menghibur” agar ada ralat dalam
menggerakkan Indonesia setelah terpuruk. Buku memiliki kaitan erat dengan
sejarah di sekitar 1998.
Humor politik mengalir deras seperti “mengimbangi”
berita-berita buruk mengenai rezim Orde Baru. Pada masa setelah kejatuhan
Soeharto, situasi Indonesia masih berantakan. Humor tetap diperlukan dalam
mengatasi “sakit” dan “sengsara.” Para mahasiswa tampil berbagi humor (politik)
meski telanjur sibuk dalam demonstrasi-demonstrasi.
James Danandjaja menerangkan: "Humor mengenai mantan
presiden (Soeharto) dan putra-putrinya, para menterinya, maupun para
begundalnya baru dapat menimbulkan tawa apabila mengetahui rumor mengenai
praktek KKN yang dilakukan oleh pemerintahan Orde Baru.” Humor tak sekadar tawa
tapi mengandung pengetahuan tentang bobrok rezim Orde Baru berlangsung selama
puluhan tahun. Humor politik dianggap memiliki kekuatan perlawanan sambil
menimbulkan tawa di seantero Indonesia.
Kita memilih mengutip humor berkaitan uang: “Pada suatu
hari, Tien Soeharto bercakap-cakap dengan suaminya (Soeharto) sambil melihat
lembaran uang 5.000 rupiah yang baru, yang bergambar Presiden RI itu. Tien
Soeharto tiba-tiba mengajukan keinginan kepada suaminya agar gambarnya juga
tertera di atas lembaran uang rupiah. Soeharto segera memutuskan memenuhi
keinginannya.
Setelah beberapa hari berlalu, Tien Soeharto menagih janji.
Soeharto yang sedang mengantuk menjawab: “Oh, sudah.” Beliau merogoh saku
celananya dan memberikan uang kepada istri. Setelah mempelajari uang, Tien
Soeharto teriak-teriak hingga mendapat serangan jantung. Setelah usut punya
usut, uang yang bergambarkan Tien Soeharto ternyata harga nominalnya hanya 500
rupiah. Pantesan!” Humor itu imajinasi mungkin keterlaluan tapi orang-orang
mengalami masa Orde Baru mengerti makna Soeharto-Tien Soeharto dan rupiah.
Tiga buku telah terbuka tapi Hari Komedi Nasional berlalu.
Kita telat membuat peringatan dan sungkan tertawa saat mengetahui Indonesia
sedang pusing. Indonesia bisa ditertawakan tapi kita malu setelah deretan
kesalahan dan permintaan maaf diajukan para pejabat. Indonesia belum pantas
menjadi “negara tawa” gara-gara para pejabat menginginkan Indonesia itu “negara
maaf” sepanjang masa.
.jpg)

.jpg)

.jpg)
.jpg)
.jpg)
.jpg)
.jpg)

.jpg)

