Tangis dan Tawa

By PorosBumi 20 Okt 2025, 10:40:36 WIB Tilikan
Tangis dan Tawa

Bandung Mawardi

Tukang Kliping, Bapak Rumah Tangga

 

Baca Lainnya :

TANGGAL itu telah berlalu. Tanggal ditetapkan oleh Fadli Zon sebagai Hari Komedi Nasional. Kita belum sanggup membuat acara-acara ramai agar Hari Komedi Nasional (27 September 2025) mencipta tawa 24 jam di seantero Indonesia. Kebingungan masih melanda Indonesia untuk tertawa atau prihatin.

Berita-berita sekian hari lalu bertema makanan bergizi gratis dan keracunan. Orang-orang kecewa dan menggugat pemerintah agar bertanggung jawab atas nasib ribuan anak dan remaja keracunan gara-gara menikmati makanan dicap bergizi. Prihatin membutuhkan jawaban. Di hadapan kamera, pejabat di Badan Gizi Nasional memegang mikrofon dalam memberikan keterangan-keterangan “samar”. Ia justru menampilkan adegan menangis, bukan mengucapkan kata-kata pengunduran diri atau ikhlas bertanggung jawab.

Di hitungan menit, publik memilih adegan menangis itu “sandiwara” atas tragedi gizi di Indonesia. Foto adegan pejabat menangis sambil memegang mikrofon lekas beredar di media sosial. Orang-orang mengimbuhi kata-kata mengecam, mengejek, menghibur, memuji, dan lain-lain. Sekian penonton tertawa tapi sinis. Sekian orang melongo memikirkan Indonesia, makanan bergizi, dan tangisan.

Kemunculan adegan menangis itu membuat kita tak sempat membuat selebrasi tertawa dalam peringatan Hari Komedi Nasional. Kita pastikan komedi mencipta tawa. Rikuh tertawa secara terbuka dan dipamerkan di media sosial, kita memilih tertawa sambil mengenang Indonesia dengan membaca buku-buku. Tertawa di hadapan kertas-kertas mungkin masih berfaedah dalam kepentingan mendefinisikan Indonesia itu “negeri komedi”.

Kita membuka buku berjudul Humor Mahasiswa Jakarta: Lelucon Erotik (1988) dengan editor James Danandjaja. Buku itu dokumentasi saat para mahasiswa mencipta humor dalam pergaulan keseharian. Mahasiswa dalam arus intelektual memiliki selingan dan hiburan untuk tertawa dengan pelbagai kepentingan.

James Danandjaja mengungkapkan: “Humor menjadi penting karena dapat dijadikan semacam psikoterapi bagi orang-orang Indonesia dalam kehidupannya yang masih bersifat lebih banyak bhinneka ketimbang tunggal ikanya. Sehingga, jika tidak ada yang berkenan di hatinya maka humor hidupnya dapat diderita tanpa mengganggu kesejahteraan jiwa mereka.”

Pengertian itu mengingatakan kita dengan buku babon garapan James Danandjaja berjudul Folklor Indonesia: Ilmu Gosip, Dongeng, dan Lain-lain (1984). Humor atau lelucon sering terkandung dalam dongeng-dongeng bertumbuh dan lestari di seantero Indonesia. Dongeng menghasilkan hiburan dan tawa menjadikan orang-orang masih betah membuat makna-makna hidup ketimbang terpuruk oleh derita atau sengsara. Dongeng itu imajinasi tapi sanggup memberi petunjuk atau tanda-tanda bagi orang-orang meneliti hidup.

Di buku kecil, James Danandjaja memilih humor-humor dibuat kalangan mahasiswa, berbeda selera dan dampak dari dongeng-dongeng silam. Para mahasiswa tak melulu sibuk dengan ilmu-ilmu (serius). Keterangan berlatar Orde Baru masa 1970-an dan 1980-an: “Berhubung para mahasiswa Universitas Indonesia tidak hidup eksklusif, maka humor mereka itu bukan milik mereka sendiri, melainkan juga milik para mahasiswa di universitas-universitas lain….” Dokumentasi masih di lingkup Universitas Indonesia tapi memiliki “persamaan” dengan humor beredar di pelbagai universitas di Indonesia atau negara-negara asing.

Kita mengingat masa Orde Baru bertokoh mahasiswa. Dulu, para mahasiswa memang berdemonstrasi dan berseminar. Mereka pun rajin tertawa ketimbang sengsara oleh kuliah dan selalu patah hati dalam asmara. Humor justru membuat mereka belajar menjadi manusia dan mengerti misi menjadi Indonesia.

Kita mengutip humor diceritakan ulang oleh Yuniarti: “Seorang lelaki bertanya kepada temannya, ‘Benarkah istrimu kedapatan mati terbunuh bersama seorang pemuda di kamar tidurmu?’ ‘Begitulah tetapi saya merasa bersyukur sekali,’ kata teman tersebut. ‘Lho, kok, malah bersyukur?’ tanya lelaki itu. ‘Mengapa tidak? Bayangkan saja kalau malam itu istriku tidur bersamau, tentu aku yang akan mati!’ jawabnya.” Kita mungkin tertawa sejenak sambil bingung dan prihatin.

Di buku jilid II berjudul Humor Mahasiswa Jakarta: Lelucon Non-Erotik (1988), pembaca menemukan selera berbeda, tak melulu berkaitan tubuh dan berahi. Di situ, ada gejala-gejala menjadikan lelucon atau humor sebagai protes sosial dan politik. Para mahasiswa dengan terhibur dan tertawa melakukan perlawanan meski tanpa demontrasi disahkan spanduk, jas almamater, dan orasi.

James Danandjaja menerangkan: “Fungsi humor umumnya sebagai pelipur hati pendengarnya maupun penceritanya disebabkan humor dapat menyalurkan ketegangan batin, yang ada mengenai ketimpangan norma-norma masyarakat.” Kita mengandaikan para mahasiswa masa Orde Baru suka tertawa meski bisa marah-marah bila melihat Indonesia amburadul atau para pejabat berpesta korupsi. Humor tetap ada mengiringi arus Indonesia abad XX.

Kita mengutip humor diceritakan ulang oleh Nurkemah: “Pada suatu hari, menteri mengunjungi para nelayan dan ikut memancing di laut. Para nelayan sangat heran karena hasil tangkapannya sedikit tapi tangkapan menteri sangat banyak. Selidik punya selidik, diketahui sebabnya. Ternyata, di pancingan menteri ada pilihan sulit sekali bagi ikan yang besar-besar karena isi tulisannya: “makan kail atau ikut penataran P-4”. Maka, akhirnya ikan pun memilih memakan kail itu daripada harus ikut penataran P-4.” Kita cepat tertawa bila mengingat rezim Orde Baru sangat menginginkan jutaan orang Pancasilais melalui penataran. Kebijakan itu membosankan, manipulatif, dan klise.

Pada 1999, James Danandjaja tampil lagi sebagai editor untuk buku berjudul Humor dan Rumor Politik Masa Reformati. Buku pun dokumentasi situasi Indonesia dalam beragam krisis dan tragedi. Tawa diajukan bukan menjawab segala persoalan tapi “menghibur” agar ada ralat dalam menggerakkan Indonesia setelah terpuruk. Buku memiliki kaitan erat dengan sejarah di sekitar 1998.

Humor politik mengalir deras seperti “mengimbangi” berita-berita buruk mengenai rezim Orde Baru. Pada masa setelah kejatuhan Soeharto, situasi Indonesia masih berantakan. Humor tetap diperlukan dalam mengatasi “sakit” dan “sengsara.” Para mahasiswa tampil berbagi humor (politik) meski telanjur sibuk dalam demonstrasi-demonstrasi.

James Danandjaja menerangkan: "Humor mengenai mantan presiden (Soeharto) dan putra-putrinya, para menterinya, maupun para begundalnya baru dapat menimbulkan tawa apabila mengetahui rumor mengenai praktek KKN yang dilakukan oleh pemerintahan Orde Baru.” Humor tak sekadar tawa tapi mengandung pengetahuan tentang bobrok rezim Orde Baru berlangsung selama puluhan tahun. Humor politik dianggap memiliki kekuatan perlawanan sambil menimbulkan tawa di seantero Indonesia.

Kita memilih mengutip humor berkaitan uang: “Pada suatu hari, Tien Soeharto bercakap-cakap dengan suaminya (Soeharto) sambil melihat lembaran uang 5.000 rupiah yang baru, yang bergambar Presiden RI itu. Tien Soeharto tiba-tiba mengajukan keinginan kepada suaminya agar gambarnya juga tertera di atas lembaran uang rupiah. Soeharto segera memutuskan memenuhi keinginannya.

Setelah beberapa hari berlalu, Tien Soeharto menagih janji. Soeharto yang sedang mengantuk menjawab: “Oh, sudah.” Beliau merogoh saku celananya dan memberikan uang kepada istri. Setelah mempelajari uang, Tien Soeharto teriak-teriak hingga mendapat serangan jantung. Setelah usut punya usut, uang yang bergambarkan Tien Soeharto ternyata harga nominalnya hanya 500 rupiah. Pantesan!” Humor itu imajinasi mungkin keterlaluan tapi orang-orang mengalami masa Orde Baru mengerti makna Soeharto-Tien Soeharto dan rupiah.

Tiga buku telah terbuka tapi Hari Komedi Nasional berlalu. Kita telat membuat peringatan dan sungkan tertawa saat mengetahui Indonesia sedang pusing. Indonesia bisa ditertawakan tapi kita malu setelah deretan kesalahan dan permintaan maaf diajukan para pejabat. Indonesia belum pantas menjadi “negara tawa” gara-gara para pejabat menginginkan Indonesia itu “negara maaf” sepanjang masa.




Write a Facebook Comment

Tuliskan Komentar anda dari account Facebook

View all comments

Write a comment