Kecerdasan Buatan dan Mitigasi Kemanusiaan

By PorosBumi 24 Feb 2025, 08:05:28 WIB Tilikan
Kecerdasan Buatan dan Mitigasi Kemanusiaan

Joko Priyono

Fisikawan partikelir dan budayawan, penulis buku Bersandar pada Sains


Baca Lainnya :

SEBERMULA, kecerdasan buatan (artificial intelligence) adalah mitos yang yang diangankan manusia dan diperkuat melalui fiksi ilmiah. Dalam sejarah, titik mulanya berupa kemunculan robot. Dalam film, robot muncul pertama kali pada 1919 melalui The Master Mystery yang disutradarai oleh Harry Grossman dan Burton L King. Landasan itu kemudian memberi alur, meski tak linear akan keberadaan robot dan kemudian disusul konsep kecerdasan buatan.

Secara etimologi yang gamblang, robot ditampilkan dalam drama berjudul Rossumovi Univerzální Roboti yang dipentaskan pertama kali pada 1921. Usaha itu dilakukan oleh dramawan dan jurnalis berkebangsaan Ceko, Karel Capek. Ia menggunakan kata “roboti” yang asalnya “robota” yang memiliki beberapa arti, yakni budak kerja, kerja keras, buruh, dan kerja. Sejak saat itu istilah tersebut menjadi entri baru di Oxford English Dictionary.

Keterhubungan robot dengan kecerdasan buatan dijelaskan oleh Mahandis Yonata Thamrin melalui esai “Kemitraan Manusia dengan Mesin” di majalah National Geographic edisi Desember 2020. Ia menjelaskan, “Robot adalah salah satu bagian pencapaian manusia. Perkembangan teknologi kecerdasan buatan manusia semakin mendorong manusia ke batas kemungkinan pencapaiannya.”

Keterangan itu tentu sudah mengantarkan kita pada pemahaman dari mitos ke logos. Hal tertsebut tak lepas dalam kajian ilmiah yang pernah diutarakan oleh ahli matematika dan komputer yang kemudian dikenal sebagai “Bapak Ilmu Komputer Modern”, Alan Turing. Pada tahun 1950, ia mempublikasikan makalah berjudul “Computing Machinery and Intelligence”. Gagasan itu dalam telaah perkembangan ilmu memberikan tesis kemungkinan adanya mesin cerdas. Itu pula yang melandasi gagasan awal kecerdasan buatan (artificial intelligence).

Perkembangan wacana mengenai robot dan kecerdasan buatan memberi alur yang maju dalam progres keilmuannya. Sebagaimana kita ketahui bersama, tahapannya tak lain adalah upaya untuk menyempurnakan dari yang sebelumnya. Namun, betapa pun, tak ada dalam sejarah perkembangan ilmu dan pengetahuan yang melahirkan teknologi tanpa ada dua persepsi yang bertolak belakang. Selain peluang, juga memunculkan tantangan.

Riak-riak gejolak itu misalnya pernah diangkat dalam majalah Aku Tahu edisi Maret, 1988 dengan menerbitkan edisi “Manusia Versus Mesin”. Di dalamnya terdapat tulisan Ignas Bethan berjudul “Artificial Intelligence”. Posisi manusia seiring perkembangan pengetahuan mengenai kecerdasan buatan telah berada dalam kepungan akan kemungkinan-kemungkinan yang mendominasinya. Terdapat paradigma bahwa manusia ringkih, kalah cerdas, dan peradaban terancam akan keberadaan kecerdasan buatan.

Wacana mengenai kecerdasan buatan makin masif pada abad XXI yang berjalan ini. Penghargaan Nobel bidang fisika tahun 2024 diberikan kepada dua ilmuwan, John Joseph Hopfield (Amerika Serikat) dan Geoffrey Everest Hinton (Kanada). Mereka dipilih dengan jasa sebagai pelopor pengembangan kecerdasan buatan. Sumbangan gagasan dari keduanya pada Artificial Neural Network (ANN), yakni perkembangan kecerdasan buatan yang berlangsung hari ini erat dengan pembelajaran mesin dengan menggunakan jaringan saraf tiruan.

Dalam tinjauan sekilas di Indonesia, perdebatan mengenai rancang bangun akan kecerdasan buatan belumlah rampung. Amatan penting yang patut disorot adalah terkait mengenai persoalan etis dalam membangun regulasi mengenai kecerdasan buatan. Tajuk di Harian Solopos (20/12/2024) berjudul “Mengatur Penggunaan AI” menarik untuk dikontekstualisasikan.

Terdapat penjelasan penting berupa: “Pengaturan penggunaan AI menjadi sangat penting. Alasan utama pengaturan AI adalah tentang mitigasi risiko yang mencakup kesalahan algoritma, privasi data, dan otonomi manusia.” Keterangan itu sangatlah berkait kelindan dengan realitas yang terjadi. Harus diakui, bombardir mengenai penggunaan ragam kecerdasan buatan telah menjadikan banyak pihak memiliki kesan “menggampangkan” dalam mengerjakan sesuatu hal.

Seturut dengan itu, pakar literasi digital Agus Sudibyo mafhum menerbitkan karya terbaru berjudul Memahami AI: Sebuah Panduan Etik (2024). Ia berangkat dengan keresahan saat keberadaan AI telah nyata berdampak pada implikasi sosial. Dengan kemudahan yang bisa didapat, namun menumpulkan daya pikir dan kreativitas manusia. Jeratan itu telah mewabah di kalangan mahasiswa, dosen, peneliti, wartawan, analis, kreator konten, dan desainer.

Ia menawarkan gagasan sebagai jembatan bahwa perlu ada aspek-aspek yang diselesaikan sebagai kesepakatan bersama akan visi kemanusiaan. Penegasan ia tulis, “Titik tekannya bukan pada bagaimana kita dapat menggunakan atau mengoptimalkan segi-segi produktif-kreatif dari teknologi AI, melainkan pada bagaimana kita mengantisipasi bias-bias yang dibawa AI generatif, memitigasi dampak teknologi AI terhadap masalah privasi, hak cipta, dan prinsip-prinsip etika publik.”

Di sini memberi makna akan pentingnya mitigasi, setelah proses adaptasi akan keberadaan kecerdasan buatan. Betapa pun kita tidak bisa menolak kemajuan teknologi (luddite). Jalan utamanya adalah mempersiapkan diri semaksimal mungkin dalam meneroka tantangan demi tantangan yang mungkin hadir. Pada aspek ini, erat dengan prinsip etis dan humanisme dalam peradaban yang sedang berjalan.

Bayang-bayang akan dominasi kecerdasan buatan tidak kemudian menjadikan kita sebagai manusia mewajarkan dan menggampangkan lewat tindakan yang ada. Sebab, ada kemungkinan yang terjadi, kita justru secara sengaja sudah tidak mau untuk menelaah lebih lanjut dengan kesadaran bernalar dan kemauan berpikir. Pada kenyataannya, kita juga mematikan daya inovatif, imajinasi, dan kreativitas yang sejatinya menjadi ciri khas manusia.

Mitigasi kemanusiaan menjadi hal yang membutuhkan daya kolaborasi berbagai pihak dalam perkembangan kecerdasan buatan. Ini adalah jalan yang menjadi tanggung jawab peradaban manusia di dalam mengawal dinamika zaman. Tiada lain membendung hal-hal yang sejatinya tak kita inginkan dan sembari membangun mitra terhadap keberadaan teknologi. Dengan begitu, muara hal tersebut adalah mewujudkan teknologi yang tidak meninggalkan kemanusiaan.

 

 




Write a Facebook Comment

Tuliskan Komentar anda dari account Facebook

View all comments

Write a comment