- Revisi UU 41 Tahun 1999 Angin Segar Bagi Tata Kelola Kehutanan Indonesia
- Kepala BP Taskin: Desa Membantu Pengentasan Kemiskinan Lebih Kontekstual Berbasis Budaya
- Mudik Gratis PLN Bersama BUMN Dibuka, Begini Cara Daftarnya di Aplikasi PLN Mobile!
- FAST Tel-U Dukung Astacita Pendidikan Tinggi
- PB POSSI Kirim 4 Wasit ke Thailand, Tingkatkan Kualitas Freediving Indonesia
- AHY: Pengembangan Rempang Eco-City Harus Inklusif dan Berorientasi Pada Kesejahteraan Masyarakat
- NFA Dorong Keanekaragaman Konsumsi Pangan Lokal untuk Ketahanan Gizi Nasional
- Presiden Prabowo Resmikan 17 Stadion Berstandar FIFA di Berbagai Daerah Indonesia
- AHY: Infrastruktur Berkelanjutan, Kunci Ketahanan Pangan dan Kesejahteraan
- Fishipol Universitas Negeri Yogyakarta Luncurkan Buku Eulogi untuk Prof Supardi
Kecerdasan Buatan dan Mitigasi Kemanusiaan
(1).jpg)
Joko Priyono
Fisikawan partikelir dan budayawan, penulis buku Bersandar pada Sains
Baca Lainnya :
- Sudah Belasan Kali Operasi Tumor Pipi, Rakha Sangat Butuh Bantuan Biaya0
- Hizbul Wathan UMJ Aksi Pungut Sampah dan Praktik Pembuatan Eco Enzyme0
- BRIN dan Mitra Kembangkan Budi Daya Teripang Gamat untuk Bahan Baku Obat dan Kosmetik0
- Budiman Sudjatmiko: Selama Reformasi Agraria Tidak Selesai, Kemiskinan Sulit untuk Lepas0
- Mapala Stacia UMJ Kembali Gelar Latihan Managemen Organisasi Pecinta Alam0
SEBERMULA, kecerdasan buatan (artificial
intelligence) adalah mitos yang yang diangankan manusia dan diperkuat melalui
fiksi ilmiah. Dalam sejarah, titik mulanya berupa kemunculan robot. Dalam film,
robot muncul pertama kali pada 1919 melalui The Master Mystery yang
disutradarai oleh Harry Grossman dan Burton L King. Landasan itu kemudian
memberi alur, meski tak linear akan keberadaan robot dan kemudian disusul
konsep kecerdasan buatan.
Secara etimologi yang gamblang, robot ditampilkan dalam
drama berjudul Rossumovi Univerzální Roboti yang dipentaskan pertama kali pada
1921. Usaha itu dilakukan oleh dramawan dan jurnalis berkebangsaan Ceko, Karel
Capek. Ia menggunakan kata “roboti” yang asalnya “robota” yang memiliki
beberapa arti, yakni budak kerja, kerja keras, buruh, dan kerja. Sejak saat itu
istilah tersebut menjadi entri baru di Oxford English Dictionary.
Keterhubungan robot dengan kecerdasan buatan dijelaskan oleh
Mahandis Yonata Thamrin melalui esai “Kemitraan Manusia dengan Mesin” di majalah
National Geographic edisi Desember 2020. Ia menjelaskan, “Robot adalah
salah satu bagian pencapaian manusia. Perkembangan teknologi kecerdasan buatan
manusia semakin mendorong manusia ke batas kemungkinan pencapaiannya.”
Keterangan itu tentu sudah mengantarkan kita pada pemahaman
dari mitos ke logos. Hal tertsebut tak lepas dalam kajian ilmiah yang pernah
diutarakan oleh ahli matematika dan komputer yang kemudian dikenal sebagai
“Bapak Ilmu Komputer Modern”, Alan Turing. Pada tahun 1950, ia mempublikasikan
makalah berjudul “Computing Machinery and Intelligence”. Gagasan itu dalam
telaah perkembangan ilmu memberikan tesis kemungkinan adanya mesin cerdas. Itu
pula yang melandasi gagasan awal kecerdasan buatan (artificial intelligence).
Perkembangan wacana mengenai robot dan kecerdasan buatan
memberi alur yang maju dalam progres keilmuannya. Sebagaimana kita ketahui
bersama, tahapannya tak lain adalah upaya untuk menyempurnakan dari yang
sebelumnya. Namun, betapa pun, tak ada dalam sejarah perkembangan ilmu dan
pengetahuan yang melahirkan teknologi tanpa ada dua persepsi yang bertolak
belakang. Selain peluang, juga memunculkan tantangan.
Riak-riak gejolak itu misalnya pernah diangkat dalam majalah
Aku Tahu edisi Maret, 1988 dengan menerbitkan edisi “Manusia Versus
Mesin”. Di dalamnya terdapat tulisan Ignas Bethan berjudul “Artificial
Intelligence”. Posisi manusia seiring perkembangan pengetahuan mengenai
kecerdasan buatan telah berada dalam kepungan akan kemungkinan-kemungkinan yang
mendominasinya. Terdapat paradigma bahwa manusia ringkih, kalah cerdas, dan
peradaban terancam akan keberadaan kecerdasan buatan.
Wacana mengenai kecerdasan buatan makin masif pada abad XXI
yang berjalan ini. Penghargaan Nobel bidang fisika tahun 2024 diberikan kepada
dua ilmuwan, John Joseph Hopfield (Amerika Serikat) dan Geoffrey Everest Hinton
(Kanada). Mereka dipilih dengan jasa sebagai pelopor pengembangan kecerdasan
buatan. Sumbangan gagasan dari keduanya pada Artificial Neural Network (ANN),
yakni perkembangan kecerdasan buatan yang berlangsung hari ini erat dengan
pembelajaran mesin dengan menggunakan jaringan saraf tiruan.
Dalam tinjauan sekilas di Indonesia, perdebatan mengenai
rancang bangun akan kecerdasan buatan belumlah rampung. Amatan penting yang
patut disorot adalah terkait mengenai persoalan etis dalam membangun regulasi
mengenai kecerdasan buatan. Tajuk di Harian Solopos (20/12/2024) berjudul
“Mengatur Penggunaan AI” menarik untuk dikontekstualisasikan.
Terdapat penjelasan penting berupa: “Pengaturan penggunaan
AI menjadi sangat penting. Alasan utama pengaturan AI adalah tentang mitigasi
risiko yang mencakup kesalahan algoritma, privasi data, dan otonomi manusia.”
Keterangan itu sangatlah berkait kelindan dengan realitas yang terjadi. Harus
diakui, bombardir mengenai penggunaan ragam kecerdasan buatan telah menjadikan
banyak pihak memiliki kesan “menggampangkan” dalam mengerjakan sesuatu hal.
Seturut dengan itu, pakar literasi digital Agus Sudibyo
mafhum menerbitkan karya terbaru berjudul Memahami AI: Sebuah Panduan Etik
(2024). Ia berangkat dengan keresahan saat keberadaan AI telah nyata berdampak
pada implikasi sosial. Dengan kemudahan yang bisa didapat, namun menumpulkan
daya pikir dan kreativitas manusia. Jeratan itu telah mewabah di kalangan
mahasiswa, dosen, peneliti, wartawan, analis, kreator konten, dan desainer.
Ia menawarkan gagasan sebagai jembatan bahwa perlu ada
aspek-aspek yang diselesaikan sebagai kesepakatan bersama akan visi
kemanusiaan. Penegasan ia tulis, “Titik tekannya bukan pada bagaimana kita
dapat menggunakan atau mengoptimalkan segi-segi produktif-kreatif dari
teknologi AI, melainkan pada bagaimana kita mengantisipasi bias-bias yang
dibawa AI generatif, memitigasi dampak teknologi AI terhadap masalah privasi,
hak cipta, dan prinsip-prinsip etika publik.”
Di sini memberi makna akan pentingnya mitigasi, setelah
proses adaptasi akan keberadaan kecerdasan buatan. Betapa pun kita tidak bisa
menolak kemajuan teknologi (luddite). Jalan utamanya adalah mempersiapkan diri
semaksimal mungkin dalam meneroka tantangan demi tantangan yang mungkin hadir.
Pada aspek ini, erat dengan prinsip etis dan humanisme dalam peradaban yang
sedang berjalan.
Bayang-bayang akan dominasi kecerdasan buatan tidak kemudian
menjadikan kita sebagai manusia mewajarkan dan menggampangkan lewat tindakan
yang ada. Sebab, ada kemungkinan yang terjadi, kita justru secara sengaja sudah
tidak mau untuk menelaah lebih lanjut dengan kesadaran bernalar dan kemauan
berpikir. Pada kenyataannya, kita juga mematikan daya inovatif, imajinasi, dan
kreativitas yang sejatinya menjadi ciri khas manusia.
Mitigasi kemanusiaan menjadi hal yang membutuhkan daya
kolaborasi berbagai pihak dalam perkembangan kecerdasan buatan. Ini adalah
jalan yang menjadi tanggung jawab peradaban manusia di dalam mengawal dinamika
zaman. Tiada lain membendung hal-hal yang sejatinya tak kita inginkan dan
sembari membangun mitra terhadap keberadaan teknologi. Dengan begitu, muara hal
tersebut adalah mewujudkan teknologi yang tidak meninggalkan kemanusiaan.
