- Muhammad Sirod: Dorong THR untuk Mitra Ojol, Janji Kampanye Prabowo Menjelma Kenyataan
- Tabiat Korupsi dalam Permodalan
- Asa Pemuda Walahar, Ubah Limbah Jadi Berkah
- Terobos Genangan Banjir, Prabowo Tegaskan Pemerintah Senantiasa Hadir dan Membantu Masyarakat
- Mudik Lebaran PT KAI Sediakan 4,5 Juta Tiket, Sebanyak 2,7 Juta Kelas Ekonomi Tarif Terjangkau
- Mengangkat Lerak dari Tanah Cepu ke Panggung Global, Perkuat Ekonomi Petani Melalui Alira Alura
- KKP Luncurkan Dua Buku Kehidupan Masyarakat Pesisir
- KKP Genjot Produksi Perikanan Budi Daya Penuhi Kebutuhan Ramadan hingga Lebaran
- Kementerian PU Gerak Cepat Tangani Jalan Amblas di Lintas Jambi-Sumbar
- Percepat Swasembada Pangan, Mentan Amran Bidik Sumsel Jadi Tiga Besar Produsen Beras Nasional
Bahasa (di) Indonesia

Bandung Mawardi
Tukang kliping, bapak rumah tangga
Baca Lainnya :
- Premanisme Oknum Ormas Hambat Investasi, Kadin Desak Reformasi Sistem dan Penindakan Tegas0
- Selain Makan Siang Gratis, Prabowo Hadirkan Cek Kesehatan Gratis0
- Peluang Besar Tembus SNBP 2025, Ini 10 Jurusan Kedokteran PTN Sepi Peminat0
- KIP Kuliah 2025 Resmi Dibuka, Simak Cara dan Syarat Daftarnya!0
- Mengintip Cara Anak Mengakrabi Kaki Seribu di Pemakaman0
PADA 1958, terbit Konstituante
Republik Indonesia: Risalah Perundingan. Buku memuat dokumentasi perdebatan
beragam tema. Bahasa Indonesia turut diperdebatkan secara sengit. Kaum politik
sibuk dalam pilihan diksi, menata argumentasi, dan bernafsu untuk membantah.
Bahasa Indonesia dalam peristiwa politik agar menghasilkan keputusan-keputusan
bermasa depan.
Di sidang, Soedjono Djojoprajitno mengatakan: “Jang mendjadi
soal ialah antara istilah ‘nasional’ dan ‘resmi’. Kalau kita ambil bahasa
Indonesia adalah ‘bahasa nasional’, ada kemungkinan di kemudian hari ada jang
mengatakan bahwa jang bukan bahasa Indonesia bukan bahasa nasional. Bahasa
Sunda, bahasa Minangkabau, bahasa Djawa umpamanja bukan bahasa nasional.”
Segala dampak dipikirkan demi Indonesia mulia, bukan Indonesia lelah akibat
pertikaian bahasa-bahasa.
Perdebatan itu lanjutan dari peristiwa Sumpah Pemuda (1928),
Kongres Bahasa Indonesia I (1938), dan Kongres Bahasa Indonesia II (1954).
Peristiwa berpijak konstitusi tentu tak terlupa: 18 Agustus 1945. Tahun-tahun
berlalu, bahasa Indonesia tetap menjadi masalah (makin) besar tanpa
keputusan-keputusan bisa diterima semua pihak. Pada masa 1950-an, bahasa
Indonesia bertumbuh dalam arus revolusi tapi tak ada janji benderang dan
berkibar di ketinggian.
Perdebatan dalam sidang tak cuma bahasa Indonesia. Mereka
pun ribut dalam menentukan kedudukan bahasa-bahasa lain. Debat bahasa tak kalah
seru dengan debat politik meski pengetahuan orang-orang dalam sidang terbaca
belum memadai. Mereka memiliki keberanian bicara tapi ketangguhan dalam
pengetahuan bahasa patut diragukan.
Mereka sulit sejajar atau bersaing dengan Sutan Takdir
Alisjahbana, Sutan Mohammad Zain, Madong Lubis, Slamet Muljana, dan lain-lain.
Perdebatan demi menghasilkan konstitusi terjadi saat nasib bahasa Indonesia
belum seterang matahari. Kita simak omongan AS Dharta. Pada masa lalu, ia
terkenal sebagai sosok berani memberi kritik dan gugatan secara lisan atau
tulisan di kancah sastra. Di sidang, ia bicara atas nama Fraksi Partai Komunis
Indonesia.
Hal-hal patut kita ingat dari perkataan AS Dharta: “Istilah
bahasa daerah mendjadi bahasa suku bangsa.” Usulan tak pernah terwujud.
Pergantian rezim-rezim di Indonesia tetap mementingkan sebutan bahasa daerah,
bukan bahasa suku bangsa. Usulan itu tentu bisa menimbulkan debat puluhan tahun
bagi orang-orang sibuk dalam politik, linguistik, antropologi, atau sejarah.
AS Dharta pun berharap: “… usul ini bisa mentjerminkan djiwa
bhinneka tunggal ika jang artinja berkebangsaan berbagai-bagai suku bangsa
dengan satu bahasa persatuan, bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional dan
resmi negara.” Kita mungkin telat mengetahui debat bahasa-bahasa berlatar
bahasa 1950-an. Sidang menguak perdebatan alot. Kita pun kaget mengetahui
usulan “bahasa suku bangsa” gagal bergulir.
Penjelasan berbeda disampaikan Karkono Partokusumo. Kita
mengenali sebagai jurnalis, pengarang sastra, penerbit, dan penerjemah Serat
Senthini. Ia menjadi saksi perkembangan bahasa Indonesia dan bahasa daerah,
sejak masa kolonial sampai abad XXI. Karkono menerangkan: “Maka bahasa daerah
mempunjai arti tegas, memadjukan sesuatu suku bangsa dan membawa suku bangsa
itu kealam kemadjuan pikiran dan perbuatan jang lebih luas.” Ia tetap memberi
sebutan bahasa daerah, tak mengikuti usulan menamakan bahasa suku bangsa.
Di peristiwa bersejarah, para anggota sempat tertawa dalam
menanti hasil sidang. Debat itu diselingi tawa memicu sindiran dari Asmara
Hadi. Dulu, ia dalam asuhan Soekarno. Di kalangan sastra, Asmara Hadi moncer
dengan gubahan puisi-puisi. Asmara Hadi berkata: “Saja mendengar
saudara-saudara tertawa atas gagalnja kompromi. Sebetulnja ini bukan soal untuk
ditertawakan, tetapi soal ini adalah soal jang tragis.”
Pada masa 1950-an, Pramoedya Ananta Toer keranjingan menulis
cerita-cerita. Ia bersastra dengan bahasa Indonesia. Di tatapan politik, ia
memastikan bahasa Indonesia wajib dalam arus revolusi. Pram (1954) ikut
bersuara: “Kita bisa dan mempunjai hak untuk merevolusikan bahasa kita sendiri,
baik bersifat asasi maupun aksional.” Ia marah saat kaum intelektual menuduh
bahasa Indonesia itu “impoten”. Bahasa Indonesia tak mampu digunakan dalam
perkembangan atau pemajuan keilmuan.
Pram ingin bahasa Indonesia mulai. Bahasa tak boleh lembek,
kalah, dan impoten. Pram terlalu mementingkan bahasa bila Indonesia ingin
terhormat. Ia serius membicarakan nasib bahasa Indonesia tanpa melupakan bahasa
“suku bangsa” dan bahasa asing berkembang di Indonesia.
Pram berseru: “Masalah bahasa adalah masalah jang harus
didahulukan pemetjahannja daripada masalah mana pun. Melalaikan ini adalah
melalaikan ‘permulaan’ dari penggunaan kemerdekaan, djuga dari pendidikan,
pengadjaran, kedjuruan, kesusastraan, pembentukan dunia pikiran dan perasaan.
Pendeknja, segala-segalanja.”
Pada 1954, Pram masih menggunakan sebutan bahasa daerah. Ia
belum kompak bareng AS Dharta (1958) mengusulkan sebutan “bahasa suku bangsa.”
Pram mengingatkan: “Tiap panitia istilah dapat dikatakan tidak berarti apabila
keputusan-keputusannja akan mengakibatkan lenjapnja kata-kata daerah jang
djustru hidup dan penggantian jang dipaksakan oleh panitia akan melenjapkan
pengertian, sedjarah dan emosi daerah.” Pram tentu tak sekadar memikirkan atau
memberi contoh sejarah dan perkembangan bahasa Jawa. Ia berpikiran
bahasa-bahasa di Indonesia.
Pram bukan pembicara atau peserta Kongres Bahasa Indonesia
II masih mendapat pengaruh M Yamin dan menampilkan ketokohan Madong Lubis. Di
luar hajatan buatan pemerintah, Pram bertanggung jawab atas nasib bahasa
Indonesia meski Indonesia dilanda krisis dan lesu.
Di peringatan 100 tahun Pramoedya Ananta Toer (1925-2025),
kita boleh memikirkan lagi “kemarahan” Pram masa lalu: “Anggapan bahwa masalah
bahasa Indonesia ini adalah ketjil, adalah anggapan jang primitif, mengingat
kedudukan bahasa ini sendiri, jang bukan sadja mendjadi bahasa resmi, tapi
djuga bahasa pergaulan dan bahasa nasional. Pabila dulu bahasa dan politik bisa
bergandengan tangan menentang pendjadjahan, kini ia berdjalan sendirian, tidak
djarang terpaksa merangkak-rangkak, sedang politik banjak kala lebih senang
membiarkan kawan sedjawatnja dan bergenitlah ia dengan bahasa asing.”
Kalimat-kalimat Pram menanti perdebatan berlatar masa 1950-an dan abad XXI.
Begitu.
