Bahasa (di) Indonesia

By PorosBumi 11 Feb 2025, 11:40:09 WIB Tilikan
Bahasa (di) Indonesia

Bandung Mawardi

Tukang kliping, bapak rumah tangga

 

Baca Lainnya :

PADA 1958, terbit Konstituante Republik Indonesia: Risalah Perundingan. Buku memuat dokumentasi perdebatan beragam tema. Bahasa Indonesia turut diperdebatkan secara sengit. Kaum politik sibuk dalam pilihan diksi, menata argumentasi, dan bernafsu untuk membantah. Bahasa Indonesia dalam peristiwa politik agar menghasilkan keputusan-keputusan bermasa depan.

Di sidang, Soedjono Djojoprajitno mengatakan: “Jang mendjadi soal ialah antara istilah ‘nasional’ dan ‘resmi’. Kalau kita ambil bahasa Indonesia adalah ‘bahasa nasional’, ada kemungkinan di kemudian hari ada jang mengatakan bahwa jang bukan bahasa Indonesia bukan bahasa nasional. Bahasa Sunda, bahasa Minangkabau, bahasa Djawa umpamanja bukan bahasa nasional.” Segala dampak dipikirkan demi Indonesia mulia, bukan Indonesia lelah akibat pertikaian bahasa-bahasa.

Perdebatan itu lanjutan dari peristiwa Sumpah Pemuda (1928), Kongres Bahasa Indonesia I (1938), dan Kongres Bahasa Indonesia II (1954). Peristiwa berpijak konstitusi tentu tak terlupa: 18 Agustus 1945. Tahun-tahun berlalu, bahasa Indonesia tetap menjadi masalah (makin) besar tanpa keputusan-keputusan bisa diterima semua pihak. Pada masa 1950-an, bahasa Indonesia bertumbuh dalam arus revolusi tapi tak ada janji benderang dan berkibar di ketinggian.

Perdebatan dalam sidang tak cuma bahasa Indonesia. Mereka pun ribut dalam menentukan kedudukan bahasa-bahasa lain. Debat bahasa tak kalah seru dengan debat politik meski pengetahuan orang-orang dalam sidang terbaca belum memadai. Mereka memiliki keberanian bicara tapi ketangguhan dalam pengetahuan bahasa patut diragukan.

Mereka sulit sejajar atau bersaing dengan Sutan Takdir Alisjahbana, Sutan Mohammad Zain, Madong Lubis, Slamet Muljana, dan lain-lain. Perdebatan demi menghasilkan konstitusi terjadi saat nasib bahasa Indonesia belum seterang matahari. Kita simak omongan AS Dharta. Pada masa lalu, ia terkenal sebagai sosok berani memberi kritik dan gugatan secara lisan atau tulisan di kancah sastra. Di sidang, ia bicara atas nama Fraksi Partai Komunis Indonesia.

Hal-hal patut kita ingat dari perkataan AS Dharta: “Istilah bahasa daerah mendjadi bahasa suku bangsa.” Usulan tak pernah terwujud. Pergantian rezim-rezim di Indonesia tetap mementingkan sebutan bahasa daerah, bukan bahasa suku bangsa. Usulan itu tentu bisa menimbulkan debat puluhan tahun bagi orang-orang sibuk dalam politik, linguistik, antropologi, atau sejarah.

AS Dharta pun berharap: “… usul ini bisa mentjerminkan djiwa bhinneka tunggal ika jang artinja berkebangsaan berbagai-bagai suku bangsa dengan satu bahasa persatuan, bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional dan resmi negara.” Kita mungkin telat mengetahui debat bahasa-bahasa berlatar bahasa 1950-an. Sidang menguak perdebatan alot. Kita pun kaget mengetahui usulan “bahasa suku bangsa” gagal bergulir.

Penjelasan berbeda disampaikan Karkono Partokusumo. Kita mengenali sebagai jurnalis, pengarang sastra, penerbit, dan penerjemah Serat Senthini. Ia menjadi saksi perkembangan bahasa Indonesia dan bahasa daerah, sejak masa kolonial sampai abad XXI. Karkono menerangkan: “Maka bahasa daerah mempunjai arti tegas, memadjukan sesuatu suku bangsa dan membawa suku bangsa itu kealam kemadjuan pikiran dan perbuatan jang lebih luas.” Ia tetap memberi sebutan bahasa daerah, tak mengikuti usulan menamakan bahasa suku bangsa.

Di peristiwa bersejarah, para anggota sempat tertawa dalam menanti hasil sidang. Debat itu diselingi tawa memicu sindiran dari Asmara Hadi. Dulu, ia dalam asuhan Soekarno. Di kalangan sastra, Asmara Hadi moncer dengan gubahan puisi-puisi. Asmara Hadi berkata: “Saja mendengar saudara-saudara tertawa atas gagalnja kompromi. Sebetulnja ini bukan soal untuk ditertawakan, tetapi soal ini adalah soal jang tragis.”

Pada masa 1950-an, Pramoedya Ananta Toer keranjingan menulis cerita-cerita. Ia bersastra dengan bahasa Indonesia. Di tatapan politik, ia memastikan bahasa Indonesia wajib dalam arus revolusi. Pram (1954) ikut bersuara: “Kita bisa dan mempunjai hak untuk merevolusikan bahasa kita sendiri, baik bersifat asasi maupun aksional.” Ia marah saat kaum intelektual menuduh bahasa Indonesia itu “impoten”. Bahasa Indonesia tak mampu digunakan dalam perkembangan atau pemajuan keilmuan.

Pram ingin bahasa Indonesia mulai. Bahasa tak boleh lembek, kalah, dan impoten. Pram terlalu mementingkan bahasa bila Indonesia ingin terhormat. Ia serius membicarakan nasib bahasa Indonesia tanpa melupakan bahasa “suku bangsa” dan bahasa asing berkembang di Indonesia.

Pram berseru: “Masalah bahasa adalah masalah jang harus didahulukan pemetjahannja daripada masalah mana pun. Melalaikan ini adalah melalaikan ‘permulaan’ dari penggunaan kemerdekaan, djuga dari pendidikan, pengadjaran, kedjuruan, kesusastraan, pembentukan dunia pikiran dan perasaan. Pendeknja, segala-segalanja.”

Pada 1954, Pram masih menggunakan sebutan bahasa daerah. Ia belum kompak bareng AS Dharta (1958) mengusulkan sebutan “bahasa suku bangsa.” Pram mengingatkan: “Tiap panitia istilah dapat dikatakan tidak berarti apabila keputusan-keputusannja akan mengakibatkan lenjapnja kata-kata daerah jang djustru hidup dan penggantian jang dipaksakan oleh panitia akan melenjapkan pengertian, sedjarah dan emosi daerah.” Pram tentu tak sekadar memikirkan atau memberi contoh sejarah dan perkembangan bahasa Jawa. Ia berpikiran bahasa-bahasa di Indonesia.

Pram bukan pembicara atau peserta Kongres Bahasa Indonesia II masih mendapat pengaruh M Yamin dan menampilkan ketokohan Madong Lubis. Di luar hajatan buatan pemerintah, Pram bertanggung jawab atas nasib bahasa Indonesia meski Indonesia dilanda krisis dan lesu.

Di peringatan 100 tahun Pramoedya Ananta Toer (1925-2025), kita boleh memikirkan lagi “kemarahan” Pram masa lalu: “Anggapan bahwa masalah bahasa Indonesia ini adalah ketjil, adalah anggapan jang primitif, mengingat kedudukan bahasa ini sendiri, jang bukan sadja mendjadi bahasa resmi, tapi djuga bahasa pergaulan dan bahasa nasional. Pabila dulu bahasa dan politik bisa bergandengan tangan menentang pendjadjahan, kini ia berdjalan sendirian, tidak djarang terpaksa merangkak-rangkak, sedang politik banjak kala lebih senang membiarkan kawan sedjawatnja dan bergenitlah ia dengan bahasa asing.” Kalimat-kalimat Pram menanti perdebatan berlatar masa 1950-an dan abad XXI. Begitu.




Write a Facebook Comment

Tuliskan Komentar anda dari account Facebook

View all comments

Write a comment