- Mendes Buka Serentak 1.000 Musdesus, Susun Proposal Bisnis Untuk Pengajuan Modal ke Himbara
- Indonesia Lumbung Pangan Dunia: Bukan Hanya Beras, Bahan Pokok Lainnya Juga Sudah Tercukupi
- Masyarakat Adat Suku Taa Mendesak Perusahaan Sawit Tinggalkan Wilayah Adat di Sulawesi Tengah
- Seminar Nasional di UNY Bahas Pembaruan Hukum Acara Pidana
- Menteri Kehutanan Bahas Konservasi Badak dan Ekowisata dengan Edge Group dan Dr Niall McCann
- Strategi Bijak Berinvestasi Emas
- LindungiHutan Perkuat Peran Petani dalam Program Penghijauan dan Ketahanan Iklim
- Dari Binus International ke Brisbane: Perjalanan Fannisa Widya Puteri Kuliah Double Degree
- Tonggak Sejarah Medis Tanah Air: Robot Bedah Otak Pertama di Indonesia Hadir di Siloam Hospitals
- 5 Dampak Tak Terduga yang Datang Kalau Konten Kamu Viral
Hari Tani Nasional: 25 Ribu Petani Akan Turun ke Jalan, Tagih Reformasi Agraria
.jpg)
JAKARTA - Bertepatan dengan Hari Tani
24 September 2025, sekitar 25 ribu petani akan berdemonstrasi ke Jakarta dan
berbagai daerah di Indonesia, menuntut pemerintah menuntaskan 24 masalah
struktural agraria dan sembilan langkah perbaikan sebagai dukungan terhadap
tuntutan reformasi agraria sejati.
“Melalui aksi ini, para petani akan menyampaikan sembilan
tuntutan perbaikan atas 24 masalah struktural (krisis) agraria akibat 65 tahun
UUPA 1960 dan agenda reforma agraria yang tidak dijalankan lintas rezim
pemerintahan,” kata Dewi Kartika, Sekjen Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA)
yang mewakili 139 organisasi petani dan nelayan, pada konferensi pers, 21
September 2025 di Jakarta.
Di ibukota, para petani bersama gerakan buruh, mahasiswa dan
gerakan masyarakat sipil lainnya akan menuju Gedung DPR RI untuk menuntut
perbaikan. Para petani tersebut berasal dari Jawa Barat dan Banten, yakni
Serikat Petani Pasundan dari lima Kabupaten (Garut, Tasikmalaya, Ciamis, Banjar
dan Pangandaran), Serikat Petani Majalengka, Serikat Pekerja Tani Karawang,
Pemersatu Petani Cianjur, Paguyuban Petani Suryakencana Sukabumi, Pergerakan
Petani Banten dan Serikat Tani Mandiri Cilacap.
Baca Lainnya :
- Menko AHY dan Bendungan Jatigede0
- Mulai September 2025, Petani Tebu Bisa Tebus Pupuk ZA Bersubsidi0
- Gerakan Koeksistensi Manusia-Gajah: Hari Gajah Sedunia 2025 di Distrik Tongod, Sabah0
- Kolaborasi YGSN dan BP Taskin Salurkan Bantuan Seragam hingga Bedah Rumah di Kuningan0
- Menyibak Wajah Arsitektur Pesantren Tradisional Indonesia Timur0
Selain di Jakarta, berbagai lokasi aksi peringatan Hari Tani
Nasional 2025 secara serentak adalah di Aceh Utara, Medan, Palembang, Jambi,
Bandar Lampung, Semarang, Blitar, Jember, Makassar, Palu, Sikka, Kupang, dan
Manado.
Abay Haetami, Ketua Pergerakan Petani Banten (P2B) yang
turut hadir dalam konferensi pers tersebut mengatakan, para petani Banten akan
ikut serta dalam aksi Hari Tani 2025 ini karena di wilayah Banten banyak
terjadi konflik antara petani dan aparat militer yang atas nama ketahanan
pangan mengambil alih tanah rakyat, menghancurkan pohon dan tanaman yang telah
bertahun-tahun menjadi tulang punggung ekonomi keluarga dan menggantinya dengan
jagung.
“Konflik di pesisir Ujung Kulon juga banyak terjadi ketika
nelayan tak boleh menghampiri pulau untuk berlindung dari cuaca buruk di laut,
malah dituduh sebagai pencuri,” katanya.
Sementara, May Putri Evitasari dari Paguyuban Petani Aryo
Blitar, generasi petani muda seperti dirinya akan ikut aksi sebagai bentuk
dukungan pada perjuangan para orangtua mereka yang menuntut redistribusi lahan
pertanian dan penetapan status kepemilikan tanah agar generasi mereka punya
pekerjaan.
“Kami di desa sangat kesulitan mengakses pendidikan yang
layak, tapi di sisi lain tanah orangtua kami tidak ada lagi, jadi kami terpaksa
bekerja ke kota atau keluar negeri jadi tenaga kerja wanita, sesuatu yang
sesungguhnya tidak kami inginkan,” katanya.
Menurut Rangga Wijaya, Serikat Pekerja Tani Karawang
(Sepetak), para petani Karawang – yang dulu terkenal sebagai kota lumbung padi
– akan turut dalam aksi karena prihatin banyak lahan di Karawang kini telah
menjadi lahan investasi yang menyingkirkan kaum tani dari tanah sumber
kehidupannya.
Dhio Dhani Shineba, anggota Dewan Nasional KPA menambahkan
bahwa di berbagai wilayah organisasi anggota KPA terdapat tren yang sama, yakni
semakin brutalnya perlakuan aparat polisi dan militer di lapangan menghadapi
aksi dan tuntutan petani dan nelayan dalam mempertahankan haknya. “Sudah 31
tahun KPA melakukan hal ini dan kami akan terus melakukannya setiap tahun untuk
menagih janji reforma agraria yang berulang kali diabaikan,” katanya.
Ia juga mengkritisi beberapa Kementerian/Lembaga seperti
Kementerian ATR/BPN, Kementerian Kehutanan, Kementerian Desa PDTT, dan
Kementerian Pertanian tidak serius menjalankan reforma agraria. Kementerian-kementerian
tersebut telah gagal menerjemahkan Reforma Agraria pada Nawa cita Jokowi dan
parahnya dilanjutkan pada pemerintahan Prabowo saat ini.
Gugus Tugas Reforma Agraria Gagal
Dewi menambahkan, gelombang protes rakyat yang terjadi
secara serentak di Jakarta dan berbagai daerah sejak 25 Agustus 2025 lalu.
Gelombang aksi protes dan demonstrasi ini adalah sinyal darurat terhadap rezim
pemerintahan. Ini adalah manifestasi dari puncak kemuakan rakyat terhadap
kinerja penyelenggara negara yang tidak bekerja untuk kepentingan rakyat.
Dari sektor agraria, Gugus Tugas Reforma Agraria (GTRA) yang
dibentuk selama sepuluh tahun pemerintahan Jokowi terbukti telah gagal
menjalankan reforma agraria, sebab ketimpangan penguasaan tanah semakin parah,
petani semakin gurem bahkan kehilangan tanah.
“Gugus tugas ini hanya menghabiskan uang rakyat dari rapat
ke rapat, rakyat tetap tak punya kanal penyelesaian konflik agraria.
Kementerian Agraria, Kehutanan, BUMN, Pertanian, Kementerian Desa PDTT dan
Kementerian Koperasi, TNI-Polri dan lembaga negara lainnya masih abai pada
masalah kronis agraria,” katanya.
Dewi mengutip indeks ketimpangan penguasaan tanah di
Indonesia yang menyebut bahwa satu persen kelompok elit di Indonesia menguasai
58% tanah, kekayaan alam dan sumber produksi, sementara 99% penduduk berebut
sisanya.
“Akibatnya, selama sepuluh tahun terakhir (2015-2024),
sedikitnya terjadi 3.234 letusan konflik agraria dengan luas mencapai 7,4 juta
hektare. Dampaknya, 1,8 juta keluarga kehilangan tanah, kehilangan mata
pencaharian dan masa depan,” katanya.
Konflik agraria terjadi, tambah Dewi, bukan saja karena
gagalnya pemerintah menjalankan reforma agraria, namun juga karena
proyek-proyek investasi dan bisnis ekstraktif skala besar yang terus
dipaksakan. Padahal kaum tani, buruh tani, masyarakat adat, nelayan dan
perempuan harus dilindungi dan diakui hak konstitusionalnya oleh UU Reforma
Agraria.
“Proyek Strategis Nasional (PSN), food estate, Badan Otorita
Kawasan Strategis Pariwisata Nasional atau Kawasan Ekonomi Khusus, bank tanah
dan militerisasi pangan terus meluas ke kampung-kampung dan desa, merampas
tanah petani dan wilayah adat, menutup akses ke laut dan wilayah tangkapnya
akibat sudah dikapling-kapling para pengusaha,” katanya.
“Baik pemerintahan Jokowi maupun pemerintahan Prabowo
sekarang telah gagal melaksanakan reforma agraria yang telah diamanatkan
Undang-Undang Pokok Agraria 1960 (UUPA 1960), sebagai perwujudan Pasal 33 UUD
1945,” tambah Dewi.
“Berkaca ada kegagalan GTRA selama 10 tahun terakhir, kami
mendesak Presiden Prabowo untuk segera membentuk Badan Pelaksana Reforma
Agraria Nasional yang lebih otoritatif, langsung di bawah kendali Presiden,”
tutup Dewi.
