- Mendes Buka Serentak 1.000 Musdesus, Susun Proposal Bisnis Untuk Pengajuan Modal ke Himbara
- Indonesia Lumbung Pangan Dunia: Bukan Hanya Beras, Bahan Pokok Lainnya Juga Sudah Tercukupi
- Masyarakat Adat Suku Taa Mendesak Perusahaan Sawit Tinggalkan Wilayah Adat di Sulawesi Tengah
- Seminar Nasional di UNY Bahas Pembaruan Hukum Acara Pidana
- Menteri Kehutanan Bahas Konservasi Badak dan Ekowisata dengan Edge Group dan Dr Niall McCann
- Strategi Bijak Berinvestasi Emas
- LindungiHutan Perkuat Peran Petani dalam Program Penghijauan dan Ketahanan Iklim
- Dari Binus International ke Brisbane: Perjalanan Fannisa Widya Puteri Kuliah Double Degree
- Tonggak Sejarah Medis Tanah Air: Robot Bedah Otak Pertama di Indonesia Hadir di Siloam Hospitals
- 5 Dampak Tak Terduga yang Datang Kalau Konten Kamu Viral
Menko AHY dan Bendungan Jatigede
.jpg)
Taufan Rahmadi
Patani Club
Baca Lainnya :
- Gerakan Koeksistensi Manusia-Gajah: Hari Gajah Sedunia 2025 di Distrik Tongod, Sabah0
- Kolaborasi YGSN dan BP Taskin Salurkan Bantuan Seragam hingga Bedah Rumah di Kuningan0
- Menyibak Wajah Arsitektur Pesantren Tradisional Indonesia Timur0
- Phantom Followers: Saat Angka Besar Tidak Menghasilkan Apa-Apa0
- Kecukupan Dalam Melihat Bukti 0
BENDUNGAN Jatigede itu besar sekali. 4.800 hektare air yang
tenang, menghampar seperti samudera kecil di jantung Sumedang. Beton dan baja
berdiri kokoh, turbin berputar menghasilkan listrik, pintu air mengatur debit
untuk sawah ribuan hektare di Cirebon, Indramayu, Majalengka. Semua itu memang
monumental.
Tapi yang menarik
kemarin, bukan hanya bendungannya. Melainkan cara Menko Bidang Infrastruktur
dan Pembangunan Kewilayahan, Agus Harimurti Yudhoyono (AHY), menuturkan makna
bendungan ini.
AHY tidak berhenti di
angka. Tidak hanya soal 87 ribu hektare sawah yang terairi. Tidak hanya soal
PLTA 110 MW yang sudah jalan, atau rencana PLTS terapung yang bisa menggandakan
suplai listrik. AHY bicara manusia.
“Alamnya sudah atraktif.
Tinggal diperkuat akses dan amenities. Bisa ada hotel, glamping, area camping
keluarga,” katanya. Sederhana, tapi terasa dekat. Seolah AHY ingin mengingatkan
bahwa pembangunan infrastruktur sebesar apa pun harus kembali ke rakyat. Bahwa
air yang tertampung di sini, listrik yang dihasilkan di sini, juga harus jadi
sumber kehidupan bagi masyarakat sekitar.
AHY menyebut soal event
olahraga. Lari 10K. Paragliding dunia. Bukan untuk gaya-gayaan, tapi untuk
menghidupkan ekonomi lokal. Bayangkan, pedagang kecil, tukang parkir, hingga
anak muda desa bisa ikut merasakan rezeki dari sebuah acara internasional. Dan
bukankah memang begitu seharusnya?
Bendungan bukan hanya
dinding raksasa yang menahan air. Tapi juga penahan resah masyarakat hilir yang
sering kebanjiran. Bendungan bukan sekadar turbin yang menghasilkan megawatt.
Tapi juga mesin yang menyalakan dapur warung nasi di sekitarnya.
AHY kemarin hadir dengan
bahasa yang mudah dipahami. Tidak berjarak. Ia datang bukan untuk memberi
kuliah teknis, melainkan untuk memastikan bahwa proyek raksasa ini benar-benar
dirasakan manfaatnya oleh rakyat.
Kadang, yang kita
butuhkan dari pejabat tinggi bukan sekadar laporan angka atau program besar.
Tapi cara ia menegaskan: pembangunan ini untuk siapa. Di Jatigede, jawabannya
jelas untuk rakyat yang sawahnya bisa panen, untuk anak-anak yang bisa berlari
di tepi waduk, untuk keluarga yang bisa piknik menikmati sunset. Di situlah
letak pengabdian itu.
