Menyibak Wajah Arsitektur Pesantren Tradisional Indonesia Timur

By PorosBumi 18 Sep 2025, 17:20:40 WIB Humaniora
Menyibak Wajah Arsitektur Pesantren Tradisional Indonesia Timur

JAKARTA - Arsitektur pesantren tradisional di Indonesia Timur menyimpan wajah khas yang berbeda dengan gambaran umum pesantren di Jawa atau Sumatra. Di balik kesederhanaannya, bangunan pesantren di kawasan ini merekam jejak panjang interaksi antara Islam, budaya lokal, dan lingkungan alam.

Sebagian besar pesantren dibangun dengan memanfaatkan material yang tersedia di sekitar, seperti kayu, bambu, dan atap rumbia. Kesederhanaan itu bukan sekadar keterbatasan, melainkan wujud kearifan dalam membaca situasi geografis sekaligus menjaga harmoni dengan alam.

Hal tersebut menjadi bahan diskusi dalam webinar tentang arsitektur pesantren tradisional Indonesia Timur yang diselenggarakan Pusat Riset Khazanah Keagamaan dan Peradaban (PR KKP) BRIN, Rabu (17/9).

Baca Lainnya :

Kepala Organisasi Riset Arkeologi, Bahasa, dan Sastra (OR Arbastra) BRIN, Herry Yogaswara menyoroti bahwa selama ini pesantren tradisional cenderung berfokus pada Jawa. Membahas Indonesia Timur, menurutnya, berarti menyingkap sisi yang kerap berada di luar arus utama.

“Diskusi ini berbasis riset, yang tidak hanya memperkaya pengetahuan, tetapi juga bisa menginspirasi kajian serupa di masa depan. Penelitian semacam ini bahkan dapat meluas ke lembaga keagamaan lain, misalnya arsitektur gereja dengan inkulturasi budaya lokal, atau sekolah adat berbasis agama lokal seperti Marapu di Sumba Timur,” ujarnya.

Satu hal yang ia cermati, benarkah arus utama itu selalu di Jawa? Atau justru persepsi yang terbentuk selama ini yang membuatnya demikian? Maka, baginya, dengan riset, peluang untuk menemukan variasi dan temuan baru yang lebih kaya terbuka lebar.

“Diskusi seperti hari ini penting sebagai bagian dari upaya memperluas wawasan dan memperkaya pengetahuan sejarah. Selain itu, saya ingin menekankan pentingnya ekspedisi. Dari ekspedisi, kita mendapatkan data baru yang bisa diperdalam melalui riset etnografis. Karena itu, saya berharap webinar ini tidak hanya berhenti pada diskusi, melainkan juga menginspirasi penelitian yang lebih intens dan mendalam,” pungkasnya.

Menambahkan itu, Wuri Handoko, Kepala Pusat Riset Khazanah Keagamaan dan Peradaban (PR KKP) BRIN menegaskan bahwa pusat risetnya berkomitmen membangun ekosistem riset yang sistematis, berkerangka jelas, serta menghasilkan narasi valid bagi masyarakat. Fokus lembaga ini bukan pada isu konflik, melainkan pada nilai-nilai keagamaan sebagai warisan budaya, baik kebendaan (tangible) maupun non-kebendaan (intangible).

“Arsitektur pesantren misalnya, bisa dilihat sebagai bangunan fisik, namun yang kami gali adalah nilai simbolik di balik kesederhanaannya: budaya, nilai sosial, sejarah, hingga filosofi lokal,” jelasnya. (Sur/ed: And, mfs)

 




Write a Facebook Comment

Tuliskan Komentar anda dari account Facebook

View all comments

Write a comment