Rumah: Kekuasaan dan Kenangan

By PorosBumi 06 Okt 2025, 20:00:48 WIB Tilikan
Rumah: Kekuasaan dan Kenangan

Bandung Mawardi

Tukang kliping, bapak rumah tangga

 

Baca Lainnya :

POLITIK dimulai dari rumah. Kita mengingat rumah-rumah masa lalu menjadi tempat untuk obrolan mengenai beragam gagasan dalam arus politik. Di rumah, para tokoh berpikir dan membuat tulisan-tulisan. Rumah memang berurusan keluarga. Berdiam di rumah masih memungkinkan membadaikan ide-ide dalam menanggapi politik-kolonial atau angan pembentukan (negara) Indonesia.

Kita mengingat rumah-rumah (bersejarah) dihuni HOS Tjokroaminoto, MH Thamrin, Tjipto Mangoenkoesoemo, Radjiman Wediodiningrat, dan lain-lain. Rumah itu kadang-kadang kedatangan tamu, Para tokoh berkumpul dalam kepentingan mencari mufakat atau debat disempurnakan minum teh atau kopi dengan selingan makanan.

Rumah-rumah belum ingin dibakukan sebagai “institusi politik” tapi kesadaran atas nasionalisme, modernitas, “kemadjoean”, sebaran iman, atau pencerahan pendidikan bertumbuh dan bergulir diberkati oleh matahari, bulan, dan bintang. Di setiap hari, rumah-rumah dalam putaran waktu pun menimbulkan putaran gagasan.

Sekian hari lalu, 29 September 2025, Prabowo Subianto berpidato tentang rumah. Kita menganggap itu tema kecil, tapi Prabowo Subianto lantang menggunakan diksi-diksi besar. Pidato mengakibatkan rumah menjadi penentuan derajat penguasa dan “pembenaran” atas politik memihak kaum miskin. Kita tak mengira Prabowo Subianto menggebu saat memasalahkan rumah setelah “malapetaka” rumah bersumber kebijakan di DPR dan gugatan publik. Konon, Prabowo Subianto ingin membuktikan komitmen: negara memastikan jutaan orang tak mampu dapat menggapai sejahtera dan memenuhi kebutuhan papan (rumah).

Pihak pemerintah mengabarkan telah berhasil mengadakan 26 ribu rumah bersubsidi. Kerja besar tapi berlangsung cepat dan “mendesak”. Kita boleh kagum atau “merem” memikirkan kesaktian para menteri dan pejabat dalam mewujudkan rumah. Mereka tak mencipta dongeng tapi melaksanakan pekerjaaan mendapat pujian Prabowo Subianto dan tepuk tangan ribuan orang.

Prabowo Subianto tampak semringah. Rumah telah memberi “kepastian” atas perwujudan segala misi dalam janji-janji awal saat menjadi penguasa. Acara besar diselenggarakan agar tercipta narasi sejarah mengenai Prabowo Subianto dalam menunaikan politik-rumah. Kunci-kunci rumah telah diberikan kepada ribuan orang. Kita menanti rumah-rumah mengabarkan dan mengisahkan bahagia, bukan tumpukan keluhan dan kebingungan atas nasib pada babak-babak lanjutan.

Sejak dulu, legitimasi penguasa memang dipengaruhi rumah. Pada 1951, Kementerian Penerangan menerbitkan buku kecil berjudul Perumahan Rakjat. Buku itu dapat kita baca lagi untuk mengetahui kebijakan pemerintah mengenai rumah dalam ruwet demokrasi dan galak revolusi.

Kita membaca keterangan: “Di zaman negara kita merdeka ini perumahan rakjat seharusnja disesuaikan dengan suasana rakjat jang merdeka. Direntjanakan bahwa rumah-rumah jang akan dibuat itu semua adalah pasangan batu, jang dengan mudah dapat dibersihkan. Dalam rumah pasangan batu itu rakjat kita akan terpaksa mempunjai perasaan untuk menjesuaikan nafkahnja dengan keadaan. Hal ini dapat dimengerti.”

Pada masa 1950-an, Indonesia masih sering bercerita tentang rumah-rumah penduduk dibuat dari bambu atau papan. Pertumbuhan kota dengan kedatangan orang-orang dari desa ikut mencipta permukiman kumuh atau semrawut. Rumah-batu menjadi pemandangan “menakjubkan” saat Indonesia masih terseok-seok.

Latar sejarah menjadi dalil atas pembuatan kebijakan perumahan: “Akibat dari pertempuran-pertempuran karena Perang Dunia II dan revolusi di negara kita, banjak rumah jang hantjur. Hal ini mengurangkan adanja tempat tinggal, jang menambah pada sangat penuhnja penggunaan rumah.” Di Indonesia masa 1950-an, orang atau keluarga mengimpikan rumah. Mereka mengerti situasi politik terus rumit.

Kemampuan mencari nafkah tak menjanjikan bisa dikumpulkan untuk membangun atau membeli rumah (sederhana). Tanggung jawab pemerintah dinantikan agar merdeka mendapatkan makna. Buku itu menggoda kita membuat perbandingan politik-rumah di Indonesia, sejak masa kekuasaan Soekarno sampai Prabowo Subianto. Kita pun memerlukan mengetahui kemunculan dan perkembangan tugas-tugas dalam kementerian perumahan, dari masa ke masa.

Lelah menggurui kekuasaan dan rumah, kita di pinggiran dulu untuk menikmati imajinasi rumah melalui lagu-lagu. Pilihan mendengar lagu merdu diniatkan “tandingan” atas pidato-pidato Prabowo Subianto. Kita kadang memilih menikmati merdu ketimbang omongan menggebu.

Lagu bermutu pantas mendapat telinga saat Indonesia makin berisik dibawakan oleh Sal Priadi berjudul “Kita Usahakan Rumah Itu”. Pendengar mendapat imajinasi sederhana tapi sadar harga tanah makin mahal. Ongkos membuat rumah juga besar. Konon, kaum muda masa sekarang sedang takut dan rela tak menikah. Mereka dibuat bingung oleh keterbatasan anggaran demi menghuni rumah. Pernikahan, anak, dan perunaham kadang jadi paket pemicu pusing kuadrat.

Kata-kata terdengar di telinga: Kita usahakan rumah itu/ Dari depan akan tampak sederhana/ tapi kebunnya luas/ Tanamannya mewah, megah// Kita usahakan rumah itu/ Dari depan akan tampak sederhana/ tapi dibuat kuat, lega. Penampilan rumah telah terimajinaskan. Pencantuman “sederhana” bisa berarti kejujuran atau kegagalan mengerti gagasan sederhana pernah disampaikan pada masa kekuasaan Soekarno dan Soeharto. Pada masa Orde Baru, kita teringat kebijakan rumah sederhana atau rumah sangat sederhana.

Rumah bukan sekadar urusan anggaran. Sal Priadi bersenandung: Urusan perabot dan wangi-wangian/ kuserahkan pada seleramu yang lebih maju/ Tapi tata ruang, aku ikut pertimbangkan/ karena kalau nanti kita punya kesibukan// Malam tetap kumpul di meja panjang/ ruang makan kita/ berbincang tentang hari yang panjang. Di rumah, ada peristiwa-peristiwa. Kita berimajinasi penghuni rumah memiliki peristiwa dan membuat arti secara bersama. Rumah bukan selesai sebagai tempat untuk makan dan tidur. Imajinasi tak tersampaikan oleh Prabowo Subianto atau para menteri. Mereka melaksanakan kebijakan, bukan pencipta cerita.

Kita mengandaikan orang-orang menghuni rumah atas tanggung jawab pemerintah. Mereka berharap betah dan mampu mencipta makna-makna selama berada di rumah. Jalinan pemerintah dan rumah tak membuat mereka harus selalu setuju dengan langkah dan arah pemerintah. Di rumah, mereka boleh “berpolitik” mengacu tokoh, kejadian, dan situasi terus berkembang di Indonesia. Rumah tetap saja politis.

Rumah pun puitis saat kita agak melupakan pemerintah. Kita mengingat Rendra saja. Pada masa Orde Baru, Rendra sering menggubah puisi-puisi menggugat pemerintah atau menanggapi renik-renik kekuasaan. Ia pun sering sodorkan puisi romantis agar para pembaca kerasan hidup di Indonesia. Kita mendingan mengingat puisi-puisi lawas, sebelum rezim Orde Baru tegak mengusung gagasan rumah sederhana dan keluarga bahagia.

Kita membuka buku berjudul Empat Kumpulan Sadjak (1961). Para pembaca silam ingat ada masalah kawin, iman, kota, dan rumah dalam sekian puisi Rendra. Kita membaca puisi berjudul “Kenangan dan Kesepian”. Puisi menjauh dari urusan dan dikte pemerintah. Pembaca boleh terlena dan cemburu: Rumah tua/ dan pagar batu/ Langit di desa/ sawah dan bambu// Berkenalan dengan sepi/ pada kejemuan disandarkan dirinya/ Jalanan berdebu tak berhati/ lewat nasib menatapnya. Kita berimajinasi rumah dalam kenangan itu dihuni keluarga berlatar masa kolonial atau 1950-an.

Rumah tak bercerita perang. Rumah tanpa panji dan pekik demi revolusi. Rumah itu perasaan-perasaan, Rendra menulis: Cinta yang datang/ burung tak tergenggam/ Batang baja waktu lengang/ dari belakang menikam// Rumah tua/ dan pagar batu/ Kenangan lama/ dan sepi yang syahdu. Orang tinggal di rumah membuat kenangan-kenangan. Orang meninggalkan rumah membawa kenangan-kenangan. Orang kembali ke rumah berarti membenarkan kenangan-kenangan. Rendra menganggap rumah itu dunia penuh kemungkinan dalam mengadakan album sendiri dan bersama. Begitu.




Write a Facebook Comment

Tuliskan Komentar anda dari account Facebook

View all comments

Write a comment