- Hilirisasi Grup MIND ID, Transformasi Pertambangan Berbasis Nilai Tambah
- Cerita Eks Wartawan Jualan Cabai yang Diborong Mentan Amran dari Daerah Bencana Aceh
- Kepungan Bencana Ekologis dan Keharusan Reformasi Fiskal Sektor Ekstraktif
- Pertumbuhan Ekonomi 2026 Ditaksir 5 Persen, WP Badan Harus Siap Diperiksa
- Ikhtiar Nyata SDG Academy Indonesia: Konektivitas Data, Kebijakan, dan Kepemimpinan
- Kembangkan Potensi Anak, LPAM Mirabel dan Ilmu Politik UNY Gelar Peringatan Hari Ibu
- Sambut Nataru dan HAB Kemenag ke-80, PD IPARI Karanganyar Bersih-Bersih Rumah Ibadah Lintas Agama
- Penguatan Sektor Riil Kunci Capai Target Pertumbuhan Ekonomi 5,4 Persen di 2026
- Musim Mas Dukung Pemkab Deli Serdang Hadirkan Ruang Publik Bersama melalui Pembangunan Alun-Alun
- Sidang Pengeroyokan di Tanjungpinang, Korban Soroti Terdakwa Tak Ditahan
Pengasaman Laut di Perairan Paparan Sunda Dua Kali Lebih Cepat dari Rata-Rata Global
.jpg)
JAKARTA – Laut sering kita bayangkan
sebagai bentangan biru yang dipenuhi ikan dan terumbu karang. Namun, ada
perubahan kimiawi senyap yang kini berlangsung di bawah permukaannya, yaitu
pengasaman laut (ocean acidification).
Fenomena global ini juga terjadi dengan sangat cepat di
perairan Indonesia, terutama di kawasan Paparan Sunda, yang mencakup perairan
barat Indonesia, Selat Malaka, Selat Singapura, Laut Natuna, Selat Karimata,
dan Laut Jawa. Penelitian terbaru Profesor Riset Biogeokimia Laut – Badan Riset
dan Inovasi Nasional (BRIN), A’an Johan Wahyudi, menunjukkan bahwa laju
penurunan pH di wilayah ini bahkan dua kali lebih cepat dibandingkan rata-rata
global.
Dalam wawancara Selasa (9/12), A’an menjelaskan, pengasaman
laut terjadi ketika karbon dioksida (CO₂) dari atmosfer larut ke laut. Ketika
CO₂ larut dalam air laut, sebagian kecil berubah menjadi asam karbonat, yang
kemudian terdisosiasi menjadi bikarbonat dan ion hidrogen (H⁺). Peningkatan H⁺
inilah yang menyebabkan pH laut menurun.
Baca Lainnya :
- Tiga Pakar Ungkap Bahaya Megathrust dan Strategi Mitigasinya di Indonesia0
- Nyamuk Ditemukan di Islandia: Pertanda Iklim Global Semakin Menghangat0
- BRIN Kembangkan Platform GEOMIMO untuk Ketahanan Pangan hingga Perdagangan Karbon0
- Menyingkap Rahasia Langit: Jejak Arkeoastronomi di Indonesia0
- Jejak Megalitik Pasemah: Ruang Sakral dan Warisan Leluhur0
Ia menerangkan, pH laut secara alami berada di kisaran 8,1. Penurunan kecil sekalipun dapat berdampak
signifikan pada organisme berkalsium. “Penurunan pH laut sebesar 0,1–0,2 unit (misalnya dari
8,1 menjadi 7,9–7,8) dapat menurunkan ketersediaan ion karbonat secara
signifikan dan berdampak pada organisme seperti karang dan kerang, yang artinya
bisa sangat
berdampak pada ekosistem laut,”
terangnya.
Kondisi yang lebih ‘asam’ akan melarutkan kalsium karbonat,
sehingga organisme seperti terumbu karang, kerang, siput, dan plankton yang
membutuhkan cangkang kapur sulit tumbuh optimal.
Di kondisi alami, sistem karbonat laut stabil. Namun kini,
CO₂ atmosfer terus meningkat, dan di kawasan Paparan Sunda terdapat tekanan
tambahan berupa aliran karbon organik dari lahan gambut Sumatra dan Kalimantan.
Bahan organik tersebut terbawa ke laut melalui sungai, kemudian terurai dan
mempercepat penurunan pH.
“Di kawasan tropis seperti kita, proses biogeokimia lokal
membuat pengasaman laut berlangsung lebih cepat,” tambah A’an.
Paparan Sunda juga dipengaruhi oleh monsun, arus sungai
besar, serta aktivitas manusia. Penelitian selama tujuh tahun yang dilakukan
BRIN bersama Nanyang Technological University (NTU) dan National University of
Singapore (NUS) memotret kondisi kimia laut secara detail di Selat Singapura
sebagai lokasi representatif.
Hasilnya menunjukkan bahwa pH laut sering berada di bawah
angka 8, lebih rendah dari kondisi ‘aman’ bagi organisme berkalsium.
Kemudian, kejenuhan aragonit—parameter penting bagi
pertumbuhan terumbu karang—sering jatuh di bawah 2,5. Padahal, karang
membutuhkan nilai 2,5–4 untuk tumbuh optimal.
Fluktuasi pH juga tergolong tinggi, mencapai 0,11–0,19 unit
per tahun, dipengaruhi oleh pergantian musim monsun.
Temuan yang paling menonjol adalah tren penurunan pH
mencapai –0.043 unit per dekade, dua kali lebih cepat daripada rata-rata global
(–0.019). Penurunan ini terjadi karena laut menyerap CO₂ dari udara serta
akibat penguraian bahan organik dari kawasan gambut. Kombinasi keduanya membuat
kondisi di perairan ini berbeda dibandingkan wilayah lain.
“Jika kondisi menjadi lebih ‘asam’, kalsium karbonat akan
terlarut. Artinya, karang dan organisme berkalsium tidak bisa tumbuh optimal,”
kata A’an.
Ketika karang melemah, seluruh ekosistem ikut terpengaruh.
Keanekaragaman hayati menurun, produktivitas perikanan merosot, rantai makanan
terganggu, dan pariwisata bahari pun terdampak. Ini bukan masalah kecil,
mengingat, sekitar 60 persen penduduk Indonesia bergantung pada sumber daya
pesisir untuk pangan dan penghidupan.
Waktu Deteksi Tren: 5 Tahun
Dengan rentang data tujuh tahun, penelitian ini juga
menghitung Trend Detection Time (TDT), yaitu waktu minimal
untuk mendeteksi perubahan jangka panjang. Hasilnya menunjukkan masa
deteksi minimum sekitar
lima tahun.
“Artinya, dengan pemantauan rutin selama lima tahun saja,
Indonesia dapat mengetahui arah perubahan kimia laut dengan akurasi tinggi,
baik untuk rekonstruksi masa lalu (hindcast) maupun proyeksi masa depan
(forecast),” jelas A’an.
Dengan tren penurunan sekitar 0,04 unit per dekade,
jika pH saat ini berada di 8, maka dalam 10 tahun bisa turun menjadi sekitar
7,96. Secara kasat mata, angka ini tampak kecil. Tetapi bagi karang, pergeseran
tersebut sangat signifikan.
Pengasaman laut bukan proses yang bisa dihentikan secara
instan. Namun, A’an menyampaikan beberapa langkah untuk memperlambatnya.
Pertama, mengurangi emisi karbon. Program penyerapan karbon
berbasis alam, pelestarian hutan, dan pengurangan emisi industri akan sangat
berpengaruh.
Kedua, Indonesia perlu membangun sistem observasi laut
nasional yang tidak hanya memantau aspek fisik, tetapi juga parameter kimia
penting seperti pH, tekanan CO₂, oksigen, dan nutrien. Pemantauan ini
dibutuhkan karena kawasan seperti Paparan Sunda dipengaruhi tidak hanya oleh
CO₂ atmosfer, tetapi juga oleh masukan bahan organik dari lahan gambut.
“Pemantauan jangka panjang menjadi dasar mitigasi. Tanpa
data yang lengkap dan konsisten, Indonesia tidak akan mengetahui kondisi laut
secara akurat, sehingga kebijakan sulit disusun berdasarkan bukti,” tegas A’an.
Saat ini, sistem observasi yang berjalan—umumnya oleh BMKG
dan BIG—baru mencakup parameter fisik seperti gelombang, arus, pasang surut,
dan angin. Sementara pemantauan kimia dan biologi laut masih sporadis.
A’an menekankan perlunya integrasi pemantauan fisik, kimia,
dan biologi dalam satu sistem sesuai standar Global Ocean Observing System
(GOOS). Menurutnya, komitmen untuk membangun sistem observasi laut yang utuh
menjadi langkah penting agar Indonesia mampu merespons perubahan laut dengan
lebih baik.
Dengan meningkatkan pemantauan dan menekan emisi karbon,
Indonesia masih memiliki peluang memperlambat laju pengasaman laut. “Kepedulian
terhadap ancaman pengasaman laut ini perlu ditingkatkan. Karena hanya dengan
memahami ancamannya, kita bisa mengambil langkah untuk melindungi laut kita,”
pungkas A’an. (tnt)
.jpg)
1.jpg)

.jpg)

6.jpg)
.jpg)
1.jpg)
.jpg)

.jpg)

